Ini Klarifikasi Kadis PU NTT Terkait Gedung Kantor Gubernur Pertama
Sebagai Kepala Dinas PU Provinsi NTT dan sebagai SKPD yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan
POS KUPANG.COM, KUPANG -- Sebagai Kepala Dinas PU Provinsi NTT dan sebagai SKPD yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembangunan Kantor Gubernur Pertama, Andre mengklarifikasi.
pertama, penggunaan bahan yang tidak sesuai ketentuan pada pekerjaan pembangunan Kantor Gubernur Pertama sebagaimana diberitakan adalah sesuai LHP BPK RI (yang secara resmi LHP tersebut belum kami terima), yaitu tidak digunakannya salah satu bahan pada pekerjaan bekesting yang mengakibatkan nilai pekerjaan beton terpasang tidak sesuai dengan yang diperhitungkan dalam RAB total senilai Rp 1.773.244.144.
Kedua, menurut kami, demikian Andre, telah terjadi perbedaan persepsi antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan BPK terkait dengan kontrak yang digunakan, dimana BPK menghitung bahan pada pekerjaan beton menggunakan asumsi kontrak harga satuan atau unit price kontrac, yaitu semua bahan penunjang termasuk kayu meranti membentuk harga satuan per meter persegi beton terpasang. Padahal pembangunan Kantor Gubernur Pertama ini dan semua pembangunan gedung pada umumnya menggunakan kontrak lump sum yang berorientasi kepada keluaran (output based), bukan pada proses.
Penggunaan sistem kontrak lump sum tersebut, diakui Andre, dipertegas sebagaimana tertuang pada Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) No. 33/BA/PAN-PLL/DPU/VIII/2013, tanggal 4 Agustus 2012, poin B angka 4, yang berbunyi sebagai berikut: Koreksi aritmatik dilakukan hanya untuk mengecek hasil perkalian dengan TIDAK mengubah nilai penawaran karena menganut sistem lump sum kontrak.
Ketiga, kontrak lump sum adalah salah satu jenis kontrak dari lima jenis kontrak yang ada, yaitu kontrak harga satuan, kontrak gabungan lump sum dan harga satuan, kontrak umur ekonomis dan kontrak terima jadi). Kontrak lump sum merupakan kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu sebagaimana ditetapkan dalam kontrak, dengan ketentuan, antara lain sifat pekerjaan berorientasi kepada keluaran (output based), sebagaimana diatur dalam Perpres No. 54 tahun 2010 pasal 51 ayat (1).
Andre menyebut bunyi Perpres 54/2010 pasal 51 ayat (1), yakni, kontrak lump sum merupakan kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu sebagaimana ditetapkan dalam kontrak, dengan ketentuan sebagai berikut, (a) jumlah harga pasti dan tetap serta tidak dimungkinkan penyesuaian harga; (b)semua risiko sepenuhnya ditanggung oleh penyedia barang/jasa; (c) pembayaran didasarkan pada tahapan produk/keluaran yang dihasilkan sesuai dengan isi kontrak; (d) sifat pekerjaan berorientasi kepada keluaran (output based); (e) total harga penawaran bersifat mengikat; dan (f) tidak diperbolehkan adanya pekerjaan tambah/kurang.
Sementara Perpres No. 54 tahun 2010, Lampiran III Pekerjaan Konstruksi, huruf f angka 3), dinyatakan bahwa koreksi aritmatik untuk penawaran kontrak lump sum yang melampirkan daftar kuantitas dan harga hanya dilakukan untuk menyesuaikan volume pekerjaan yang tercantum dalam daftar kuantitas dan harga dengan yang tercantum dalam Dokumen Pemilihan tanpa mengubah nilai penawaran.
Keempat, berdasarkan ketentuan tersebut, dengan kontrak lump sum dimana sifat pekerjaan berorientasi kepada keluaran (output based), maka dengan tidak digunakannya kayu meranti pada pekerjaan bekesting sebagaimana yang dinyatakan oleh BPK sehingga terindikasi kerugian negara kurang tepat karena fungsi papan meranti telah digantikan dengan balok/usuk dan kontrak yang digunakan adalah kontrak lump sum yang berorientasi pada output.
"Perlu dijelaskan bahwa bekesting adalah struktur sementara yang membentuk eleman struktur kolom, balok, lisplang, dan sebagainya sesuai dimensi rencana, dengan kata lain bekesting merupakan bahan penunjang (bahan habis pakai) dan bukan bahan yang terpasang," tulis Andre.
Kelima, sehingga dengan kontrak lump sum, maka memeriksa keberadaan/penggunaan papan kayu meranti sebagai bahan penunjang (bekesting) untuk menghasilkan beton seyogyanya tidak perlu dilakukan sebagaimana BPK tidak melakukan pemeriksaan terhadap bahan-bahan lain seperti berapa sak semen, berapa ret pasir, berapa kubik batu, berapa kubik air, dan sebagainya yang dipakai untuk membentuk beton dengan kuantitas dan kualitas yang ditetapkan dalam kontrak karena, sifat pekerjaan berorientasi out-put (kontrak lump sum).
Andre juga menjelaskan bahwa tidak digunakannya papan kayu meranti untuk bekesting, karena (a) pada saat pelaksanaan pekerjaan, ketersediaan papan kayu meranti di pasaran tidak cukup tersedia, mengingat kebutuhan yang cukup besar. (b) di samping itu Perpres No. 54 tahun 2010 pasal 105 ayat (1), mengatur tentang konsep ramah lingkungan, yakni (1) Konsep ramah lingkungan merupakan suatu proses pemenuhan kebutuhan Barang/Jasa K/L/D/I, sehingga keseluruhan tahapan proses Pengadaan dapat memberikan manfaat untuk K/L/D/I dan masyarakat serta perekonomian, dengan meminimalkan dampak kerusakan lingkungan.
(2) Konsep pengadaan ramah lingkungan dapat diterapkan dalam dokumen pemilihan berupa persyaratan-persyaratan tertentu, yang mengarah pada pemanfaatan sumber daya alam secara arif dan mendukung pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai dengan karakteristik pekerjaan.
(3) Pengadaan barang/jasa yang ramah lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, dilakukan dengan memperhatikan efisiensi dan efektifitas pengadaan (valueformoney). (c) Memperhatikan konsep ramah lingkungan dan fungsi papan meranti pada bekesting yang telah digantikan dengan balok/usuk, maka hal tersebut tidak mengurangi fungsi bekesting dalam menghasilkan beton terpasang sebagaimana yang dipersyaratkan dalam kontrak.
Andre juga menginformasikan bahwa harga satuan per meter persegi gedung kantor gubernur pertama adalah sebesar Rp.4.464.103. Harga tersebut masih dibawah harga satuan tertinggi yang diatur dalam Peraturan Gubernur NTT No. 31 Tahun 2011 tentang Standar Harga Barang/Jasa Pemerintah Provinsi NTT TA 2011, di mana standar harga satuan tertinggi bangunan gedung untuk Kota Kupang pada saat pekerjaan tersebut dilelang adalah sebesar Rp 5.160.000 per meter persegi. Dengan demikian harga satuan per meter persegi gedung kantor gubernur pertama masih jauh lebih rendah dari harga per meter persegi yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur NTT. (*/fen)