Oleh Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo

Gereja Masa Kini dan Masa Depan

APA itu masa kini dan masa depan? Secara filosofis-sosiologis masa kini menunjuk pada rentang waktu di mana kita hidup, secara lebih khusus masa kini (present) menunjuk pada waktu yang sedang diisi dengan sebuah aktivitas.

APA itu masa kini dan masa depan? Secara filosofis-sosiologis masa kini menunjuk pada rentang waktu di mana kita hidup, secara lebih khusus masa kini (present) menunjuk pada waktu yang sedang diisi dengan sebuah aktivitas. Bagi seorang mahasiswa masa kininya adalah rentang waktu yang diisi dengan kegiatan perkuliahan. Sementara masa depan menunjuk pada rentang waktu yang masih ada di depan, yang akan dimasuki setelah aktivitas masa kini berakhir. Kembali ke contoh mahasiswa, masa depannya adalah rentang waktu yang akan dimasukinya sesusai kegiatan perkuliahan. Mungkin dia akan menjadi seorang praktisi hukum, guru atau juga musikus.

Persepsi Kristen tentang masa kini dan masa depan berbeda dengan definisi filosofis tadi. Menurut gereja masa kini adalah waktu yang terbentang antara kenaikan Yesus Kristus ke Sorga (secara khusus Pentakosta) sampai kedatangan kembali kembali Yesus Kristus dari Sorga. Dengan demikian rentang waktu yang dalam pengertian filosofis disebut masa depan, dalam pandangan gereja itu justru adalah bagian dari masa kini. Sementara itu masa depan dalam pandangan gereja menunjuk pada peristiwa ke datangan kembali Yesus Kristus.

Dua persepsi ini perlu kita pegang dalam perbincangan ini dengan maksud agar percakapan kita tentang masa kini dan masa depan gereja tidak terperangkap dalam bahaya: pertama terlalu menduniawikan gereja atau menganggap gereja sebagai semata-mata sebagai sebuah paguyuban sosial dan karena itu perlu tunduk bahkan beradaptasi begitu rupa dengan perkembangan dan roh zaman sehingga menjadi serupa dengan paguyuban sosial lainnya sambil kehilangan karakter eskatologis dari dirinya. Kedua, terlalu merohanikan atau menspiritualkan gereja sehingga mengabaikan peran sosial dan mandat budaya yang digariskan Kristus dalam metafora garam dan terang bagi dunia.

Masa Kini dan Masa Depan Gereja Dalam Persepsi Kristen
Salah seorang teolog yang pikirannya banyak dikutip tentang masa kini dan masa depan gereja dalam persepsi ini adalah Augustinus. Uskup dari Karthago ini berpendapat bahwa pada dasarnya gereja adalah realitas sorgawi. Benar bahwa gereja ada di bumi dan bergumul dalam sejarah, tetapi hakikat terdalam dari gereja adalah sorga. Persekutuan yang bernama gereja itu meliputi baik manusia maupun para malaikat. Apa yang kita temui di bumi yang kita namakan gereja dengan segala kekurangan dan keterbatasannya adalah antisipasi dari keberadaannya di sorga yang merupakan realitas final dari gereja. Gereja yang di bumi memang bukanlah the city of God. Tetapi keberadaan gereja membuka mata kita untuk melihat the city of God, yang merupakan tujuan dari ziarah yang sedang gereja jalani saat ini di bumi. Di kota Allah ini gereja yang di bumi mendapat wujud yang baru.

Jelas bahwa ada dua modus keberadaan gereja dalam pikiran Augustinus tentang gereja, betapapun esensi dari gereja itu hanya satu. Esensi gereja adalah Yesus Kristus, sedangkan wujudnya dua: gereja yang di bumi (masa kini) dan gereja yang di sorga (masa depan). Bertolak dari Yohanes 21:22 dst Augustinus menggambarkan dua bentuk (duae vitae) dari gereja itu sebagai berikut:

Bentuk yang pertama hidup dalam iman, bentuk yang lain telah berhadapan muka dengan muka; yang satu masih sebagai peziarah di negeri asing, yang lain sudah menetap di rumah yang kekal; yang satu berada dalam perjuangan, yang lain menikmati perhentian; yang satu adalah kaum musafir, yang lain telah berada di kampung halaman; yang satu masih menjalankan tugas yang lain telah menerima upah atas pekerjaannya; yang satu terus berperang melawan yang jahat dan melakukan yang baik, yang lain tidak perlu lagi berperang karena tidak lagi berjumpa dengan kejahatan; yang satu mengalami tekanan dengan adanya keinginan daging, yang lain telah bebas dan menikmati kehidupan dalam roh; yang satu berada dalam kebutuhan akan pertolongan karena kekurangan yang dimilikinya, yang lain tidak lagi membutuhkan pertolongan karena telah hidup dalam kelimpahan; yang satu terus berdoa memohon pengampunan dosa sebagaimana mereka mengampuni dosa sesamanya, yang lain tidak perlu lagi memohon pengampunan karena dosa sudah tidak lagi dikenal."

Augustinus menggambarkan dua bentuk dari gereja ini dengan mengangkat Petrus dan Yohanes; Marta dan Maria sebagai ilustrasi. Gereja yang sejati haruslah menampilkan diri sebagai Gereja Petrus dan Gereja Yohanes atau Gereja Marta dan Gereja Maria. Petrus dan Marta menggambarkan keberadaan gereja dalam wujud yang pertama, gereja dalam dunia. Gereja Petrus mewartakan Yesus kepada orang lain dengan perkataaan, sementara Gereja Marta melayani Yesus dengan perbuatan. Ini realita masa kini Gereja. Pada sisi lain, Yohanes dan Maria mencerminkan wujud kedua dari gereja sebagai umat yang sudah masuk dalam kehidupan masa depan, di sorga. Yohanes menjadi murid yang dikasihi Yesus sedangkan Maria dipuji-puji oleh Yesus.

Menjawab pertanyaan: "Seperti apakah gereja pada kini dan masa depan? Keyakinan iman klasik sebagaimana yang disuarakan oleh Augustinus memberi jawaban demikian: Gereja di mana kini harus menampilkan diri sebagai komunitas yang bekerja dalam kata dan perbuatan untuk memperlihatkan kemanusiaan baru yang telah terwujud pada paskah dan pentakosta, sedangkan Gereja di masa depan adalah beristrahat dari semua kepenatan, duduk di kaki Yesus untuk memperoleh penghiburan dan ambil bagian dalam persekutuan kasih dalam Allah. Dari keadaan seperti Petrus dan Marta yang bekerja dan sibuk melayani selama di bumi, Gereja akan menjadi seperti Yohanes dan Maria yang duduk mendengarkan Yesus dan menerima penghargaan atas jerih lelahnya.

Masa Kini Gereja Dalam Persepsi Filosofis-Sosiologi
Masa kini dalam persepsi filosofis-sosiologis mengandaikan keberadaan dalam satu rentang waktu dalam melaksanakan satu aktivitas. Manakala pengandaian ini diterapkan pada gereja, maka masa kini Gereja di Indonesia dapat digambarkan sebagai rentang waktu di mana gereja melakukan tugas kesaksian. Konteks Indonesia di mana Gereja menjalankan mandat kerasulannya bersifat sangat kompleks. Dalam kompleksitas konteks itu ada satu hal yang mudah terdeteksi; yakni perubahan.

Perubahan yang sedang terjadi dalam konteks kita adalah: Berkembangnya iptek, dunia politik dicirikan oleh kemerdekaan demokrasi dan hak azasi manusia, dunia ekonomi ditandai dengan persaingan global dan eksploitasi SDA. Dunia sosial menjadi makin sempit oleh globalisasi tetapi serentak juga dibangunnya  tembok-tembok kesukuan, dunia hukum membuat kaburnya batas antara yang benar dan salah. Dunia keagamaan mulai bercorak individualistis dan seremonil - liturgis.

Dalam konteks yang serba berubah ini, gereja tetap harus mengerjakan tugas memberitakan injil yang tidak berubah. Demi mendaratkan Injil yang tidak berubah dalam dunia yang terus berubah ini, gereja perlu melakukan apa yang saya sebut: meng-hari-ini-kan dirinya. Bukan maksud kita mendorong gereja untuk menyesuaikan diri dengan zeitsgeist, melainkan membuat gereja peka terhadap persoalan-persoalan manusia masa kini, supaya injil yang diberitakan gereja kepada dunia merupakan berita tentang keselamatan masa kini.

Upaya gereja untuk meng-hari-ini-kan dirinya dimulai dengan keseriusan gereja untuk melakukan gerakan kembar (rangkap dua), yakni: gereja perlu memahami diri secara lain, sekaligus menampilkan diri secara lain. Berbeda dengan Israel, gereja tidak lagi hidup dalam mono cultural society. Pentas kehidupan gereja dicirikan oleh kehidupan yang berkarakter multy culture. Gereja harus selalu membaharui dirinya dalam dunia yang terus berubah supaya ia tetap ada sebagai gereja. Mengatakan ini kami teringat seruan Paulus yang cukup terkenal itu: "Berubahlah oleh pembaharuan budimu" (Rm. 12:2).

Gerakan yang pertama berkaitan dengan pemahaman diri gereja secara baru. Dunia di mana gereja berada mengalami perubahan dalam skala yang cepat dan masif. Dalam upaya ke arah itu Gereja  perlu meninggalkan paham lama tentang dirinya sebagai institusi keselamatan dan mulai melihat dirinya sakramen keselamatan. Gereja bukan lagi sekedar sebuah lembaga dengan organisasi, struktur dan aturan-aturan. Gereja harus lebih menampilkan diri sebagai tanda yang menghadirikan citra rasa kehidupan yang baru dan memancarkan terang sukacita di dalam masyarakat. Artinya, gereja bukan pemilik atau sumber keselamatan. Ia adalah tanda yang menujuk kepada keselamatan. Ia juga bukan satu-satunya tanda, melainkan hanya salah satu tanda keselamatan. Gereja bukan sekedar sebuah domain yang terpisah dari bidang hidup manusia. Ia harus lebih menampilkan diri sebagai cara hidup yang baru di dalam dunia yang lama. Gereja juga bukan biro perjalanan ke sorga, tetapi adalah laboratorium di mana keselamatan itu ditumbuh-kembangkan, untuk kemudian diteruskan kepada sesama. Dalam arti ini gereja juga merupakan penerima keselamatan dan karena itu Gereja merupakan bentuk yang kelihatan dari keselamatan itu.

Gereja juga patut melakukan reorientasi pengharapan dan pemberitaannya. Tidak cukup gereja hanya berbicara mengenai the salvation history. Ia juga harus berbicara tentang salvation in history. Keselamatan bukan realitas yang berdampingan atau berada bersama-sama dengan dunia, tetapi merupakan realita yang mendunia atau berada di dalam dunia. KeseIamatan berinkarnasi dalam kehidupan dunia dan realitas manusia dalam segala pergumulan dan harapannya. Keselamatan (salvation) mengambil rupa  duniawi. Dalam proses pengambilan rupa itu, wajah religius dan ilahi dari keselamatan tidak lagi nampak. Yang terlihat hanyalah wajah sosial.

Adalah penting bagi gereja dalam rangka memberitakan injil yang tidak berubah mencermati berbagai ritus, mitos, simbol, keyakinan, spiritualitas, institusi, organisasi serta management, peluang usaha dan kesempatan kerja dalam masyarakat sambil mengembangkan sikap kepekaan hermeneutik atas semua itu; jangan-jangan keselamatan yang disediakan Allah juga menjelma dalam ritus, mitos, simbol, keyakinan, spiritualitas, institusi, organisasi serta management, peluang usaha dan kesempatan kerja itu. Gereja harus melihat perangkat-perangkat ini bukan semata-mata sebagai sebuah pranata sosial-anthropologis. Pranata-pranata tadi patut juga diperlakukan sebagai referensi religius-teologis yang mengandung sejumlah nilai yang berguna sebagai point of contact, tapi juga sebagai salah satu sumber otentik dalam upaya gereja untuk memberitakan keselamatan kepada dunia. Inilah yang saya maksudkan dengan salvation in history.

Ini mengandaikan bahwa gereja perlu meninggalkan pandangan dan sikap pengkafiran terhadap budaya dan berbagai pranata sosial dan religius masyarakat di mana berita paskah dan pentakosta hendak diberitakan. Sebagai ganti gereja perlu mengembangkan pendekatan transformatif terhadap budaya dan berbagai pemahaman dan keyakinan religius masyarakat. Pendekatan terhadap budaya dari sudut pandang penebusan, yang berangkat dari asumsi bahwa semua yang terdapat dalam sejarah membutuhkan sesuatu dari luar sejarah  untuk dapat menjadi medium bagi pewartaan keselamatan, harus dilengkapi dengan pendekatan terhadap budaya dari sudut pandang penciptaan. Asumsi pokok dari pendekatan ini ialah penciptaan, penyelamatan dan penebusan bukan pekerjaan-pekerjaan yang berdiri sendiri, terpisah satu sama lain. Allah melakukan karya penciptaan dengan tujuan penyelamatan. Itu berarti keselamatan sudah mulai diantisipasi dalam karya penciptaan. Gereja perlu mengembangkan kewaspadaan sosial dalam menyikapi seluruh realitas ciptaan untuk menangkap sinyal-sinyal keselamatan dari Allah yang dipancarkan di dalamnya dan karena itu mengambil langkah-langkah konkret untuk mendayagunakan sinyal itu bagi keselamatan manusia di dalam dunia.

Ada banyak pengangguran di kalangan pemuda warga gereja, sementara lapangan kerja di sektor informal seperti bisnis cukur rambut dan kuliner di kota-kota cukup menjanjikan keselamatan bagi warga masyarakat. Peluang ini justru diisi oleh angkatan kerja yang datang dari luar daerah. Gereja mempunyai mata tetapi tidak dapat melihat peluang kerja ini sehingga persembahan jemaat dibiarkan menganggur di bank-bank. Pelatihan ketrampilan mencukur dan tata boga yang bisa saja dilakukan gereja terhadap angkatan mudanya untuk dapat merebut peluang usaha ini terlewatkan begitu saja. Mengapa ini terjadi. Karena gereja masih menyibukkan diri berbicara tentang  the salvation history. Salvation in history yang disediakan Allah melalui peluang-peluang usaha ini belum terpikirkan oleh Gereja.

Dalam upaya ini Gereja perlu melakukan gerakan pembaharuan dalam pemberitaannya. Maksudnya, gereja perlu mewartakan injil sebagai berita tentang keselamatan masa kini, bukan melulu bersaksi tentang injil sebagai berita tentang keselamatan masa depan. Yang dipersoalkan di sini bukan bentuk gereja, melainkan arti fungsional dari bentuk itu. Bukan bentuknya melainkan keselamatanlah yang harus dinampakkan lewat semua bentuk pelayanan, persekutuan dan kesaksian gereja. Masalahnya bukanlah mati-matian mempertahankan bentuk-bentuk tertentu (ibadah, penggunaan mimbar, modus pelayanan baptisan, tata cara pembagian roti dan anggur dalam perjamuan kudus) tetapi sejauh mana dalam bentuk yang konkret itu orang dapat menghayati imannya secara otentik, dan membantu orang untuk menghayati imannya sebagai realitas yang hidup, atau menghayati agama tangan pertama bukan tangan kedua. Jadi bukan sekedar membangun persahabatan seluas-luasnya tetapi persahabatan yang berfungsi memperlihatkan keselamatan dan damai sejahtera kepada warga gereja dan juga warga masyarakat.

Gerakan ini patut ditindak-lanjuti dengan kesediaan gereja untuk membangun persahabatan dan kerja sama dengan institusi-institusi sosial kemasyarakatan yang ada dalam rangka mewartakan paskah dan pentaksota kedapa dunia. Bukankah institusi-institusi non gerejawi itu juga dapat berperan sebagai instrument yang dipakai Allah untuk mengerjakan keselamatan bagi dunia? Gereja yang meng-hari-ini-kan dirinya haruslah juga menjadi gereja yang berjuang dalam dunia untuk mengembangkan apa kerja sama kolaboratif" di antara semua saudara. Orang-orang yang disapa "saudara-saudara" dinasehati oleh Paulus untuk "Bertolong-tolonglah kamu menanggung bebanmu, demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus" (Gal 6:2).

Gereja juga perlu membaharui sikapnya terhadap lingkungan (ekologi). Dalam masyarakat yang bergumul dengan krisis ekologi, misalnya gereja harus membuat pemberitaannya menjadi energi pembaharu dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Kita katakan tadi bahwa gereja bukan lagi institusi keselamatan, tetapi bentuk yang kelihatan (sakramen / tanda) keselamatan. Jadi penting gereja menampilkan diri secara lain, sehingga meskipun ia hanya tanda yang kecil dan redup, tetapi menjadi penentu arah bagi manusia yang sedang berarak memasuki tapal batas kehidupan yang baru itu.

Gerakan kembar dari gereja dalam upayanya meng-hari-ini-kan dirinya sejalan dengan prinsip para pembaharu gereja mengenai ecclesia reformata yang semper reformanda. Pembaharuan cara pandang gereja mengenai dirinya yang berdampak pada gereja menampilkan dirinya haruslah dilakukan dengan berguru pada Yesus Kristus. Paulus juga yang menunjukkan kepada kita dasar kristologi untuk agenda eklesiologi ini. Dia menulis begini: "Hendaklah kami dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus, yang walaupun dalam rupa Allah, dst" (Fil. 2:5-11).

Masa Depan Gereja dalam Persepsi Filosofis-Sosiologi
Konsekwensi dari gerakan pembaharuan kembar diri Gereja pada masa kini adalah bahwa di masa depan, yakni rentang waktu sesudah generasi orang kristen saat ini berlalu, gereja di Indonesia mengalami metamorfosa. Ia bukan lagi menjadi Gereja yang kuat melainkan menjadi Gereja yang memperkuat civil society, warga gereja dan memperkuat pemerintah untuk menjalankan pemerintahan dan pembagunan yang pro rakyat dan bukan pro pegusaha seperti yang sedang menggejala di Indonesia saat ini. Gereja harus berani memperkuat pemerintah untuk komitmen dengan persoalan pendamaian. Butuh kebijakan-kebijakan publik pemerintah dan berpihak kepada mereka yang tercecer dan kepada kemiskinan bangsa. Kalau itu tidak ada kita tidak hanya gagal sebagai negara, tetapi juga gagal sebagai gereja.

Kecenderungan masa kini gereja di Indonesia untuk memperkuat diri adalah sebuah penyimpangan teologis sekaligus menciderai rasa keadilan masyarakat. Tidak heran jika Gereja menjadi sasaran kekerasan dari sesama warga negara. Sementara itu di dalam lingkungan gereja sendiri kita gontok-gontokan, seperti kucing dan tikus.

Memperkuat gereja itu penting. Tetapi bukan memperkuat aspek organisasi dan birokrasi gereja. Sebab selalu ada bahaya ketika kita memperkuat gereja secara organisatoris, yakni bukan hanya masyarakat yang menjadi lemah, tapi Yesus pun ikut diperkecil. Gereja menjadi sangat besar dan Yesus menjadi sangat kecil. Karena Gereja menjadi besar dan Kristus makin kecil, maka kita tidak lagi peduli pesan-pesan Kristus. Kita merebut kedudukan, memperebutkan warga, dll.

Menjadi Gereja yang memperkuat Kristus artinya berpihak pad orang-orang miskin, gereja yang berpihak pada orang-orang yang tercecer. Dengan cara itu kita mendemonstrasikan kasih Kristus. Kristus datang melepaskan orang dari penindasan. Ia juga membebaskan orang dari kemiskinan. Oleh karena itu memperkuat gereja sebagai pembawa damai artinya menjadi gereja yang mentransformasi manusia, mentransformasi struktur. Kalau struktur masyarakat yang menindas, kalau system peradilannya korup, manusia tidak damai, manusia tertekan, manusia tercecer.

Penutup

Untuk menjadi gereja yang memperkuat rakyat atau manusia dan bukan memperkuat diri sendiri dibutuhkan spiritualitas kenosis, pengosongan diri. Sepertinya aspek ini mulai hilang dalam gereja-gereja mainstream. Untuk hal ini kelompok karismatik dan patekostal memperoleh jalan masuk besar untuk menghantam gereja-gereja mainstream. Mereka berkata bahwa kita sudah kehilangan Roh. Kita perlu membudayakan sebuah perspektif bergereja yang betul-betul menolong supaya terbangun spiritualitas yang lebih berpihak kepada persoalan-persoalan kemiskinan, persoalan-persoalan penderitaan rakyat dan pluralitas.

Spiritualitas itu tidak harus melulu barang import. Ada banyak pranata sosial dalam masyarakat kita yang telah terbukti ampuh dalam membentuk spiritualitas pelayanan. Soalnya adalah bagaimana gereja memberdayakan potensi-potensi kearifan local dalam kerangka membangun perdamaian. Kita bergereja sebagai orang-orang Timor, kita bergereja sebagai orang Ambon, kita bergereja sebagai orang-orang Halmahera, orang Paupua, Jawa, Bali, dst. Saya rasa itu adalah sesuatu yang sangat Kristiani sekali, tetapi itu saja tidak. Di dalam potensi-potensi kultural itu di dalam potensi sosial kita ada, kandungan nilai. Modal-modal kultural, modal-modal sosial yang bisa kita faedahkan sebagai kekuatan untuk kita membangun format perdamaian yang lebih menyeluruh. Ini yang sering kita abaikan.  (Rohaniwan, Tinggal di Salatiga)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved