Breaking News

Laporan Jumal Hauteas

Roko Molas Poco Simbol Kedamaian

RUTENG, Pos-Kupang.Com -- Roko Molas Poco atau pengusungan kayu induk rumah adat dari hutan ke lokasi pembangunan rumah adat menjadi simbol perdamaian bagi seluruh anggota suku pemilik rumah adat.

RUTENG, Pos-Kupang.Com -- Roko Molas Poco atau pengusungan kayu induk rumah adat dari hutan ke lokasi pembangunan rumah adat menjadi simbol perdamaian bagi seluruh anggota suku pemilik rumah adat.

Demikian koordinator panitia pembangunan rumah Gendang Tuke, Herman Som, saat ditemui usai upacara adat Roko Molas Poco di Kelurahan Wali, Kecamatan Langke Rembong, Senin (4/4/2011).

Som menjelaskan, secara harfiah roko molas poco berarti pengusungan seorang gadis cantik dari hutan. Namun dalam konteks ini, sebutan molas poco dikenakan pada kayu dari hutan yang kemudian dipasang menjadi tiang utama (siri bongkok) rumah adat.

Kayu untuk tiang induk sebuah rumah adat, menurut Som, harus kayu pilihan yang ditentukan berdasarkan seremoni adat, dan tidak boleh mendapat gangguan apa pun selama proses penebangannya hingga selesai.

Karena itu, kayu itu harus benar-benar kayu pilihan yang kemudian menjadi penengah untuk setiap masalah yang terjadi dalam suku bersangkutan.

"Kayu itu disebut molas karena  harus benar-benar kayu pilihan. Jika saat tebang ada burung berkicau atau cecak ataupun ular melata melintasi wilayah sekitar pohon, pemotongan harus dihentikan dan dicari kayu lain. Menurut kepercayaan orang Manggarai, kicau burung, cecak dan ular melata pertanda tidak baik," urai Som.

Salah seorang pelaku budaya, Nikolaus Sama (73),  mengatakan, proses pembangunan sebuah rumah adat di Manggarai harus melalui seremoni adat untuk setiap tahapannya. Karena itu, jika ketersediaan bahan bangunan lengkap, maka pembangunan sebuah rumah adat bisa selesai dalam kurun waktu tiga bulan. Tetapi kalau tidak, maka proses pembangunan rumah adat bisa memakan waktu satu tahun.

"Semua tahapan proses pembangunan rumah adat harus melalui seremoni sehingga terkadang bisa sampai satu tahun baru selesai. Untuk memasang tiang induk harus menunggu bulan terbit baru yang dihitung sampai malam ketiga, kelima atau ketujuh. Jadi tidak  sembarangan dipasang," jelas Sama.

Alasan tiang induk dipasang pada hitungan angka ganjil, jelas Sama, karena tiang induk melambangkan kedamaian dan dapat menjadi penengah untuk semua masalah yang terjadi.
Bupati Manggarai, Drs. Christian Rotok, yang hadir pada kesempatan itu, menyampaikan proficiat kepada masyarakat Tuke yang masih memelihara dan melestarikan adat Manggarai di tengah gempuran kehidupan modern saat ini.

"Budaya  tidak seperti bantal, rumah, gendang atau apa pun yang berwujud, sehingga dapat diwariskan kepada generasi berikutnya hanya dengan menyerahkan bantal, rumah atau gendang itu. Budaya adalah nilai yang memiliki harga sehingga tidak mudah diserahkan kepada generasi berikutnya. Karena itu, ketika masyarakat Tuke masih memelihara adat-istiadat kita sebagai orang Manggarai, saya pikir ini sesuatu yang luar biasa, yang harus diberi penghargaan. Ini merupakan kepedulian masyarakat adat untuk tetap memelihara budaya yang ada dan kita semua termasuk pemerintah wajib  mengambil bagian dalam melestarikan budaya yang ada," tegas Chris  Rotok.

Turut hadir, Wakil Bupati Manggarai, Dr. Deno Kamelus, S.H, M. H, Ketua dan Wakil Ketua TP  PKK Manggarai, Muspida, pimpinan SKPD dan ratusan warga Tuke. (bb)
 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved