Oleh Maria Matildis Banda

Tarian Laut

"KAPANKAH kita kan merapat. Di pantai yang kita impikan. Untuk menangis sepuas hati. Untuk menenangkan derita ini." Demikian salah satu penggalan lagu Ebiet yang terkenal. "Akan ke manakah kita ini, terlempar jauh teramat jauh. Sampai di manakah kita ini, tak tampak lagi kaki langit. Bahtera ini kecil, gampang terbawa angin.

"KAPANKAH kita kan merapat. Di pantai yang kita impikan. Untuk menangis sepuas hati. Untuk menenangkan derita ini." Demikian salah satu penggalan lagu Ebiet yang terkenal. "Akan ke manakah kita ini, terlempar jauh teramat jauh. Sampai di manakah kita ini, tak tampak lagi kaki langit. Bahtera ini kecil, gampang terbawa angin. Sekelompok batu karang. Siap meremukkan" penggalan yang indah. Jika saja dilantunkan pada saat yang tepat. Bukan pada saat tsunami melanda dan dunia terhenyak menyaksikan badai laut yang tak seorang pun mampu menghentikannya, setinggi apa pun kecanggihan teknologi dan sekuasa apa pun manusia.

Silahkan menyanyi terus, kamu menyanyi pada saat yang tepat. Bukan badai bukan tsunami, tetapi lautan sedang menari mengekspresikan gelora cintanya pada dunia.

                    ***
Benarkah lautan sedang menari? Bencana alam berupa gempa 8,9 Skala Richter (SR) dan tsunami hingga 10 meter itu telah meninggalkan duka yang mendalam bagi warga Jepang dan warga dunia pun gemetaran menyaksikan apa yang telah terjadi.  Sebagaimana disampaikan Rini Harjanti melalui Okezone.com.

Selain porak poranda, hal yang paling memilukan adalah mengetahui keluarga atau kerabat yang harus meregang nyawa.   Jepang berduka. Jumlah korban masih simpang siur. Seperti Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Jepang menyatakan korban tewas mencapai 612 orang meninggal dunia dan 700 orang hilang. Associated Press (AP) mencatat data terkini  236 orang tewas, 725 hilang dan 1.028 terluka. Lalu, jumlah korban tewas bertambah menjadi 414 jiwa.

Kepolisian di daerah bencana menyatakan, 200-300 mayat masih ditemukan di sepanjang pantai di Sendai, kota terbesar di daerah tersebut. Bahkan, 300 orang diperkirakan masih terjebak di sebuah pusat perbelanjaan. Mereka menunggu dievakuasi.  
"Apalagi yang kamu baca? Begitu dahsyatkah tarian laut di Jepang itu? Apakah  guncangannya lebih dahsyat dari apa yang ditulis kembali oleh Ismoko Widjaya, Suryanta Bakti Susila, Elin Yunita Kristanti, Arfi Bambani Amri, Fadila Fikriani Armadita dalam Vivanews Nasional Jatim?" tanya Jaki.

"Soal apa lagi?" Tanya Rara tidak mengerti.

"Soal Istana yang diguncang WikiLeaks. Yudhoyono 'Abused Power' atau Yudhoyono Telah Menyalahgunakan Kekuasaan. Begitulah judul yang tertera besar-besar di salah satu koran ternama di Australia, The Age, edisi Jumat 11 Maret 2011. Tajuk koran kedua yang masih satu grup perusahaan, Sydney Morning Herald, setali tiga uang nadanya: Corruption Allegations Against Yudhoyono atau Tuduhan Korupsi Terhadap Yudhoyono. Begitulah kira-kira yang kubaca," demikian Benza memberi penjelasan.

"Syukurlah ada tsunami Jepang. Jadi perhatian kita bisa segera beralih dari tsunami tanah air yang mengguncang istana," kata Nona Mia. "Sebaiknya kita jangan gampang percaya pada berbagai berita dari luar. Coba kita beri waktu kepada SBY dan para pemimpin bangsa ini untuk mengatakan yang sebenarnya."

                    ***
"Ya! Kepalaku sampai pusing tujuh keliling memahami apa sebenarnya yang sedang diurus oleh para pemimpin bangsa ini. Apa sebenarnya yang menjadi fokus media televisi kita. Lagi-lagi bencana nasional dengan berbagai kemasan, pusing aku," Jaki menepuk testa.

"Bukankah lebih baik sekarang kita sedikit belajar tentang Jepang?" Rara mengarahkan perhatiannya pada Nona Mia. "Bagaimana Nona Mia? Apalagi yang kamu baca?"

"Ini dia kulanjutkan. Ini gempa terbesar Jepang, 8,9 skala richter. Lebih besar dari  gempa Great Kanto pada 1 September 1923 yang berkekuatan 7,9 SR. Ketika itu gempa menewaskan lebih dari 140 ribu orang di Tokyo. Gempa bumi memang sering terjadi di Jepang, salah satu wilayah paling aktif di dunia.

Negara itu mengalami 20 persen gempa bumi di dunia dengan kekuatan 6 SR atau lebih besar. Pada 1933, gempa 8,1 SR di Pantai Pasifik Jepang, Sanriku, menewaskan lebih dari 3.000 orang. Sedangkan gempa Kobe pada 1995 mengakibatkan kerugian USD 100 miliar dan menjadi bencana alam paling mahal dalam sejarah. Kerugian ekonomi dari tsunami Samudera India 2004 diperkirakan mencapai USD 10 miliar. Warga Jepang yang terkejut akibat gempa bumi kemarin semakin panik akibat tsunami. Entah berapa kerugian lahir batin yang terjadi akibat gempa 11 Maret 2011 ini," Nona Mia tertunduk. "Kita perlu berdoa untuk sesama saudara kita di sana."


                    ***
"Ternyata kita tak berdaya apa-apa menghadapi kuasa alam, kuasa dari Yang Empunya kuasa." Kata Benza dengan lesu. "Mari kita berdoa." Keempat sekawan pun khusuk dalam renungannya masing-masing. "Sampai di manakah kita ini, tak tampak lagi kaki langit. Bahtera ini kecil, gampang terbawa
angin."  *

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved