Oleh Servatinus Mammilianus

Nagekeo: Dari Dua Menjadi Satu

NAGEKEO kini sudah menjadi daerah otonom. Daerah hasil pemekaran dari Kabupaten Ngada itu, awalnya adalah dua kerajaan yang hidup berdampingan secara damai dan harmonis. Nage dan Keo adalah dua kerajaan yang memiliki rajanya tersendiri. Dan, secara sendiri pula melawan penjajahan Belanda sebelum Indonesia merdeka.

NAGEKEO kini sudah menjadi daerah otonom. Daerah hasil pemekaran dari Kabupaten Ngada itu, awalnya adalah dua kerajaan yang hidup berdampingan secara damai dan harmonis. Nage dan Keo adalah dua kerajaan yang memiliki rajanya tersendiri. Dan,  secara sendiri pula melawan penjajahan Belanda sebelum Indonesia merdeka.

Hermanus Ngebu (71), salah satu tokoh masyarakat Nagekeo yang ditemui FloresStar di rumahnya di Mbay, Jumat (24/4/2010) mengatakan, wilayah Kerajaan Nage tempo dulu berada di Boawae, ke arah utara sampai di Mbay. Sedangkan Kerajaan Keo, berada di bagian selatan Boawae, dari Maukeli, Mauponggo sampai Nangaroro.

Hermanus menuturkan, sekitar tahun 1916 sampai 1917, Kerajaan Nage perang melawan Belanda, kecuali yang berada di daerah Boawae tidak ikut melawan Belanda saat itu. Tidak lama berselang, Kerajaan Keo juga melawan Belanda. Tetapi, tidak tahu persis tahun berapa. Saat melawan Belanda, Kerajaan Nage dipimpin oleh tiga orang, yakni Nipa Do, Rae Sape, dan Muka Teang.

Sedangkan Kerajaan Keo salah satu pemimpinnya adalah Baje Nage. Pusat perang melawan Belanda oleh Kerajaan Nage di daerah Kota Keo dan Lejo. Raja pertama Keo bernama Muwa. Dalam perjalanannya, kedua kerajaan ini sepakat menjadi satu kerajaan, yang diberi nama Kerajaan Nagekeo. Pusat kerajaan terletak di Boawae. Raja  pertama Nagekeo bernama Roga Ngole. Setelah itu dia diganti oleh putra kandungnya Yosep Juwa Dobe Ngole, yang memimpin Kerajaan Nagekeo sampai tahun 1959. Pada tahun itu sudah ada keputusan dari pemerintah pusat tentang pembagian daerah administrasi negara. Setelah diambil alih oleh pemerintah, nama Nagekeo nyaris hilang. Namun, nama tersebut akhirnya dikenal kembali menjadi nama kabupaten yang saat ini ibu kotanya di Mbay.

Tokoh masyarakat Nagekeo lainnya, Yakobus Koru (76), mengatakan, dari arti kata, Nagekeo memiliki arti tersendiri. Nage artinya asam, dan Keo artinya jagung. Dia mengisahkan, pada masa kedua kerajaan tersebut, di Kerajaan Nage terdapat banyak pohon asam. Saat itu buah dan daun asam menjadi bahan makanan ternak, seperti kerbau, kuda, kambing dan domba. Jenis ternak tersebut banyak dipelihara oleh warga Kerajaan Nage.


Sedangkan di Kerajaan Keo, sangat cocok tanaman pertanian. Sehingga jagung dan padi banyak terdapat di sana. "Ketika itu warga kedua kerajaan saling menukar kebutuhan atau barter. Mereka saling menukar hewan peliharaan dengan jagung atau padi, sehingga hubungan kekerabatannya sangat akrab dan harmonis," tutur Yakobus.

Piet Bari, tokoh masyarakat yang juga  ditemui FloresStar  mengatakan, keharmonisan pada zaman kedua kerajaan itu  dipengaruhi oleh kawin mawin antara warga dua kerajaan. "Saat itu warga dua kerajaan ada hubungan kekeluargaan karena kawin mawin, sehingga tidak pernah terjadi baku perang antara warga kedua kerajaan itu," kata Piet.

Keharmonisan kedua kerajaan tersebut harus menjadi teladan bagi generasi di Nagekeo saat ini. Dengan begitu, kedamaian dan ketenangan membangun Nagekeo tetap terpelihara dan dilestarikan. Harapan itu disampaikan oleh Philipus Aloysius Bisara, yang juga Ketua Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI) Cabang Nagekeo.
"Keharmonisan antara Kerajaan Nage dan Keo sampai sepakat menjadi satu Kerajaan Nagekeo, sekitar tahun 1924 sampai 1925 silam. Patut diteladani oleh generasi baru saat ini. Yang mudah harus menghormati yang tua, begitu sebaliknya. Saat ini kadang banyak anak muda karena merasa diri berpendidikan tinggi, menganggap orang tua bodoh. Ini yang sebenarnya tidak boleh dilanjutkan. Kita harus saling menghormati dan menghargai di dalam perbedaan," harap Philipus.

Dia juga menjelaskan, Kerajaan Nagekeo dulu terdiri dari 18 hamente. Tetapi, 18 hamente yang dipimpin oleh seorang Kepala Mere itu, saling mendukung dalam melaksanakan tugas pemerintahan. Sehingga tidak pernah terjadi konlfik serius. Semoga kedamaian dan keharmonisan yang tersirat dalam hubungan Nage dan Keo dahulu kala, tetap abadi terpelihara oleh masyarakat Ngekeo saat ini dan selamanya. (*)


 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved