Penyair Muda NTT Lahirkan Ontologi "Di Jakarta Tuhan Diburu dan Dibunuh"
Buku antologi tersebut ditulis oleh penyair muda Indonesia, Yogen Sogen.
Penulis: Ryan Nong | Editor: Rosalina Woso
Penyair Muda NTT Lahirkan Ontologi "Di Jakarta Tuhan Diburu dan Dibunuh"
POS-KUPANG.COM | KUPANG -- Panggung kepenyairan Indonesia kembali ramai dengan kehadiran buku berjudul “Di Jakarta Tuhan Diburu dan Dibunuh”. Buku antologi tersebut ditulis oleh penyair muda Indonesia, Yogen Sogen.
Buku yang ditulis oleh pria kelahiran Flores Timur tersebut dibedah pada Senin (15/7/2019) di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Bedah buku menghadirkan Fanny J. Poyk, seorang sastrawati NTT dan budayawan Lamaholot sekaligus pengamat seni pertunjukan, Silvester Petara Hurit dengan moderator Dewi Kharisma Michellia.
Yogen Sogen dalam pandangan terkait buku antologi miliknya tersebut mengatakan bahwa refleksinya atas kompleksitas kehidupan menghadirkan permasalahan hidup dalam wajah wajah yang menakutkan. Dan karenanya, puisi baginya telah menjadi candu sama seperti agama adalah candu bagi Marx.
"Dengan serangkaian refleksi atas kompleksitas kehidupan, saya seperti diserang amuk gelombang permasalahan hidup yang kian menampakkan wajah yang menakutkan. Ketika melipat kembali waktu dan persoalan yang saya alami selama proses penciptaan buku Di Jakarta Tuhan Diburu dan Dibunuh, sepertinya apa yang dikatakan oleh Marx sedikit banyak ada kemiripan. Jika Marx mengatakan agama adalah candu, bagi saya “puisi adalah candu”.
Mengilhami kata dalam rahim puisi itu hal yang sangat tidak seksi bagi saya. Di sana ada ketakutan, kesakitan, dan ada tuntutan untuk menumpas segala yang membelenggu dalam batin puisi," ungkapnya.
Lanjutnya, “Namun menjadi candu adalah sebuah kewajiban seorang penyair, ia harus menjadi biasa dengan segala realitas yang memungkinkan dirinya berkaca pada setiap sendi persoalan. Kesetiaan menawar kata adalah keharusan bagi saya. Puisi harus saya tuntaskan dan lahir ke permukaan sebagai ekspresi intelektual yang membelenggu keresahan pun segala kecamuk perasaan lain yang membelenggu."
Puisi-puisi yang terjerat dalam buku ini, lanjut Yogen yang juga menjabat ketua Lembaga Pers PP PMKRI,
ia amanatkan sebagai “hantu dan Tuhan” dimana proses penciptaan puisi yang ia alami. Selalu ada godaan, benturan ekspresi jiwa: berimbas pada antara mau menutupi karakter penciptaan puisi yang menjadi batu loncatan akan kehidupan puisi atau bertahan dengan suara hati di dasar alir kesunyian.
"Di situ saya rasakan ada suara Tuhan berbisik di batin puisi. Saya kemudian sadar bahwa segala sesuatu penciptaan yang lahir dari kedalaman jiwa selalu ada namanya benturan ekspresi puitik yang kemudian direkayasa oleh imajinasi hingga terbentuknya sebuah karya yang maha puitik. Tan Malaka mungkin maha benar dalam proses penciptaan ini, bahwa “terbentur terbentur terbentuk” itulah yang saya alami," katanya.
Di Jakarta Tuhan Diburu dan Dibunuh baginya menjadi serangkaian interupsi sosiologis kultural politik dan bahari pun refleksi intelektual yang merupakan keterwakilan dari apa yang ia rasakan dan alami selama pengembaraan saya sebagai seorang manusia dan sebagai anak bangsa Indonesia.
Sementara itu, Fanny J. Poyk mengatakan, sebagai penyair muda, beberapa puisi yang ditulis sarat dengan perenungan jiwa akan keadaan alam, politik, manusia juga agama.
"Yogen menuangkannya dengan pemilihan metafora dan diksi yang memikat, permainan kata yang berasal dari metafora yang dikuasainya, menggiring diksi yang ada di tiap kalimat demi kalimat yang pada akhirnya bermuara di satu titik yang menyatakan bahwa kehidupan ini demikian absurd," akunya.
Dari sekitar 53 puisi yang dibuatnya, lanjut Fanny J. Poyk, Yogen menampilkan teknik penulisan yang kuat dengan data dibarengi juga penguasaan dengan perbendaharaan kata yang beragam.
"Metafora yang kemudian menjadi diksi dalam rangkaian larik demi larik itu, mengingatkan saya akan Pablo Neruda pada puisinya yang berjudul “kata”. Di puisi-puisi Yogen saya menyimak bahwa kata bisa dibentuk sesuai sang pemilik kata itu sendiri. Saya tidak bisa menentukan Yogen berada dalam penyair dengan jenis-jenis puisi yang mana. Karena buat saya puisi adalah gambaran dari resahnya jiwa kala melihat beragam hal yang terjadi di dunia," ungkap Fanny.