Berita NTT Terkini
Ini Penilaian Marianus Kleden Soal Miras Lokal di NTT
Miras tradisional atau arak di NTT sudah dikenal sebagai salah satu produk home industry local yang harus mendapatkan perhatian pemerintah.
Penulis: Oby Lewanmeru | Editor: Kanis Jehola
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Oby Lewanmeru
POS-KUPANG.COM | KUPANG - Minuman keras (miras) tradisional atau arak di NTT sudah dikenal sebagai salah satu produk home industry local yang harus mendapatkan perhatian pemerintah. Arak di luar negeri diberi tempat terhormat.
Hal ini disampaikan Dosen Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Marianus Kleden, Sabtu (1/12/2018).
Menurut Marianus, arak atau miras tradisional harus diberi tempat yang layak dan harus dihormati.
• Pemuda Katolik Komcab Kota Kupang Siap Sukseskan Kongres ke-17
"Miras tradisional ini harus dibela dan coba kita lihat, mengapa sake dari Jepang dan brem dari Bali diberi tempat terhormat, sementara arak dari NTT mesti ditumpah, " katanya.
Dia mengakui ada berbagai jenis wine dan liquor seperti Red Label atau Black Label yang harganya sangat mahal dan diberi posisi yang amat elitis.
• Pembangunan Gedung Bertangga Mendiskriminasi Kaum Disabilitas
"Kita harus proporsional dalam menilai arak, yaitu pertama, arak adalah minuman adat yang dalam ritual tertentu hadir sebagai unsur konstitutif. Itulah sebabnya dalam Ekaristi anggur selalu dipakai. Kebudayaan dipakai Tuhan sebagai sarana untuk menurunkan rahmat. Gratia Suppoinit Naturam. Posisi minuman keras itu seperti pisau, mau dipakai untuk mengiris sayur atau membunuh orang," katanya.
Dia mengakui, jika mau maka suasana atau dl takaran tertentu memelihara kesehatan. Perlu regulasi untuk mengatur legalitas dari arak ini.
"Aturan itu bisa berupa perda atau aturan yang lebih tinggi. Bila belajar dari negara lain, ada izin usaha untidistiler, consudsst yang diatur dalam mekanisme tertentu. Di AS misalnya pembeli liquor harua menunjukkan ID," ujarnya.
Lebih lanjut dikatakan, arak merupakan produk home industry yang bisa meningkatkan ekonomi warga.
"Terlalu banyak masyarakat yang membayar uang sekolah anaknya denganmenjual arak. Saatnya kita duduk bersama untuk membicarakan arak dan memberinya tempat yang proporsional," ujarnya. (*)