Media dalam Jaring Kekuasaan

FENOMENA empiris menunjukkan terjadinya reformasi pada pemilu legislatif tahun 2004 yang merupakan momentum sejarah baru dalam kehidupan politik bangsa Indonesia di mana rakyat secara langsung memilih anggota legislatif.

Oleh Dr. Eduardus Dosi, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat,  Dosen  Ilmu Komunikasi FISIP Unwira


FENOMENA empiris menunjukkan terjadinya reformasi pada pemilu legislatif tahun 2004 yang merupakan momentum sejarah baru dalam kehidupan politik bangsa Indonesia di mana rakyat secara langsung memilih anggota legislatif.

Sementara itu fenomena politik lokal khususnya NTT menunjukkan dominasi kekuasaan elit partai politik dan elit keagamaan dalam menentukan wacana politik. Dan media massa lokal NTT pun telah bertumbuh sebagai industri imaji yang menjadi arena pertarungan berbagai kekuasaan.

Dalam tulisan ini kekuasaan dipahami dalam terang pemikiran Michel Foucault, yakni relasi kekuasaan. Michel Foucault salah seorang filsuf dekonstruksi melihat bahwa kekuasaan merupakan sebuah praktek, sehingga suatu kekuasaan merupakan relasi tertentu yang mapan dan terorganisasi di antara sejumlah elemen, termasuk lembaga, pengaturan dan hubungan sosial (Foucault dalam Foss, 1985).

Kuasa menurut Foucault pertama-tama harus dimengerti sebagai multiplisitas relasi sosial yang terus menerus berpengaruh dalam lingkungan sosial dan organisasi yang dialami manusia. Kuasa juga dilihat sebagai proses perjuangan yang mengalami banyak benturan atau konfrontasi secara terus menerus dan menghasilkan transformasi yang bersifat lebih membangun/kreatif ketimbang destruktif. Karena itu relasi kuasa bagi Foucault merupakan suatu strategi perubahan sistem sosial, hukum, dominasi dalam masyarakat (Foucault, 1984).

Bagi Foucault  kekuasaan tidak terpusat pada aparatus, tapi menyebar pada seluruh komponen yang memberi kemungkinan bagi masyarakat untuk mengeksplorasi keberadaannya. Maka bagi Indonesia, khususnya NTT, konsep Foucault tentang relasi kekuasaan dan diskursus dapat menjadi pemicu kebangkitan kesadaran akan demokrasi, kolektivitas, toleransi. Konsep itu dapat menjadi daya dorong bagi daerah-daerah/lokal menafsir kebenaran dengan berpijak pada local wisdom.

Karenanya lebih lanjut diharapkan konsep ini dapat memberikan sumbangan kepada perkembangan dan pertumbuhan kehidupan media massa cetak lokal, terutama menjadikan media massa cetak lokal sebagai wadah diskursus bagi masyarakat daerah demi perkembangan demokrasi yang bertumbuh dari kesadaran kolektif masyarakat daerah.

Pemilihan anggota legislatif tahun 2004 merupakan arena kontestasi di mana berbagai kelompok masyarakat turut bermain di dalamnya untuk tetap mengendalikan realitas sosial yang terdapat di NTT. Dalam kontestasi itu, kelompok-kelompok masyarakat menggunakan berbagai kapital yang mereka miliki. Entah kapital material ekonomi, sosial maupun politik.  

Komponen-komponen strategis dalam relasi kekuasaan berusaha mengerahkan seluruh kapital agar dirinya bisa merupakan representasi dari masyarakat luas. Apabila dalam realitas sosial, mereka berkontestasi untuk merebut kedudukan sosial dan juga politik untuk mengendalikan realitas sosial dalam media, mereka merepresentasi melalui wacana. Wacana media merupakan kelanjutan dari kontestasi sosial untuk menguasai ruang berpikir atau ruang pengetahuan publik.

Dengan bertarung di wacana media, setiap pihak mencoba mengarahkan pengetahuan publik agar setuju dengan pengetahuan yang mereka presentasikan. Wacana pencalonan anggota legislatif lokal NTT yang dipresentasikan dalam media massa cetak lokal NTT merupakan ekspresi pertarungan kepentingan di antara pihak-pihak yang terlibat.

Pencalonan anggota legislatif lokal pada Pemilu 2004 merupakan proses sejarah yang melibatkan kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi, politik. Kekuatan-kekuatan tersebut bertarung untuk mereposisi diri dan menegaskan lagi kekuasaan mereka atas masyarakat. Pertarungan itu terjadi dengan motivasi yang berbeda-beda, antara lain kekuasaan politik, ekonomi, sosial keagamaan. Dengan merebut kekuasaan pada aras itu, kelompok-kelompok tersebut menjadi pemain-pemain yang terus melanggengkan pengaruh mereka atas masyarakat.

Secara tekstual pertarungan itu diproduksi, diakumulasi dan disentralisasi dalam surat kabar lokal NTT. Isi komunikasi sebagai komoditas terbentuk melalui proses produksi, di mana nilai komoditas tersebut tidak saja hanya memiliki nilai pakai, tetapi juga nilai pertukaran. Dalam konteks ini, pertarungan nyata antarkomponen masyarakat dan antara anggota masyarakat dengan elit partai dan pemuka agama telah menjadi komoditas ekonomi dan politik. Peristiwa pemilu dalam teks media dikembangkan oleh presentasi media yang menyiratkan gambaran pertarungan antarkekuasaan. Presentasi media mengungkapkan suatu common sense yang menarik perhatian  masyarakat.


Dari common sense yang diproduksi dan dijual oleh media massa cetak lokal NTT kepada pembaca tersirat bahwa media menjadi bagian dari jaringan dalam pertarungan kekuasaan dengan mengkomodifikasi pertarungan kekuasaan politik, kekuasaan keagamaan untuk memperoleh keuntungan kapital ekonomi, kapital politik dan kapital keagamaan.

Keterlibatan media massa dengan kegiatan politik, mencerminkan perhatian media terhadap politik dan menyiratkan adanya keterikatan atas dasar suatu kepentingan antara sebuah media dan kekuatan politik yang diberitakannya, entah itu kepentingan ekonomi, politik, atau pun ideologis. Dengan kata lain, media tidak bisa melepaskan dirinya dari jaring kekuasaan.

Sisi komersial media berjalin dengan kepentingan pihak lain untuk merepresentasikan diri melalui media. Pihak ini adalah kalangan yang memiliki beragam kepentingan komersial dan non-komersial. Para pemasang iklan membutuhkan representasi demi kepentingan komersial. Para politisi membutuhkan media demi kepentingan politiknya. Para pendukung ideologi keagamaan melakukannya demi kepentingannya. Pembaca media, pada sisi lain, merupakan campuran dari berbagai kepentingan itu. Para pengelola media tidak bisa mengelola media dengan mengabaikan kepentingan masyarakat yang menjadi ruang hidupnya.

Karena itu, banyak partai politik berusaha menguasai media (pers) untuk berbagai kepentingan: menyampaikan suara partai dan mempengaruhi massa partai; menjaga nama baik partai dan menyerang partai lain. Mereka memanfaatkan media dalam percaturan politik untuk memenangkan wacana yang diintroduksinya. Wacana politik itulah yang kelak menentukan persepsi dan opini publik terhadap sebuah partai atau penguasa, terutama berkenaan dengan soal legitimasi dan delegitimasi kekuasaan. Karena pertimbangan inilah dalam konteks Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda dan Jepang hingga masa Orde Lama dan Orde Baru serta era Reformasi, setiap pemerintahan berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan pers.

Dalam dimensi kapital politik, sosial dan keagamaan, peristiwa pencalonan anggota legislatif lokal diproduksi sebagai isu yang melegitimasi suatu posisi strategis kekuasaan elit partai dan elit keagamaan. Media dan wartawan terbawa dalam penciptaan atau pengukuhan kekuasaan dominasi elit partai dan pemuka agama. Isu itu dikemas menjadi tidak pasti, tidak bening, tapi menarik bagi publik dan karena itu dibeli. Dengan itu, media mau tak mau memberi kesan yang keliru. Media atau pun wartawan sering terhanyut dalam praktik pemberian kesan keliru kepada khalayak dengan pemberitaan yang mengarah kepada penciptaan atau pengukuhan stereotipe. Media secara hampir tak terhindarkan mengukuhkan atau memperkuat kepercayaan, sikap, nilai, dan opini itu. Komunikasi yang dikira mengubah sikap, seringkali hanya merupakan pengukuhan terhadap sikap yang sudah ada (Joseph A. DeVito, 196). Media massa cetak lokal NTT berperan sebagai  pengukuh kekuasaan dominasi dari elit  politik lokal, elit keagamaan.  

Media massa cetak lokal ini tunduk pada kepentingan pasar dan tunduk pada kekuasaan partai serta kekuasaan tokoh agama. Sebab itu, media massa cetak lokal NTT menyajikan berita pencalonan anggota legislatif lokal dalam metafor pertarungan. Dalam mempertimbangkan perlu tidaknya memuat berita, jika berkaitan dengan elit keagamaan tertentu yang memiliki kekuasaan yang besar, misalnya Uskup Gereja Katolik dalam kaitan dengan larangan berpolitik praktis bagi romo/pastor Katolik, maka media berusaha hati-hati dalam merepresentasikan informasi yang disajikan.

Dalam semangat kapitalisme, dominasi kekuasaan elit politik direpresentasikan dalam pencitraan media sehingga media massa cetak lokal NTT merepresentasikan peristiwa pencalonan anggota legislatif lokal NTT dalam bingkai  elit politik dan elit keagamaan. Maka media massa cetak lokal NTT berusaha menjaga hubungan  yang baik dengan pasar sambil tetap dalam format dominasi kekuasaan elit politik dan elit keagamaan. Semuanya itu memberikan manfaat pada sisi komersial dari media. Bentuk-bentuk kekuasaan, dominasi dalam pemberitaan surat kabar NTT juga terlihat dalam berbagai pemberitaan, baik berita politik, ekonomi, sosial maupun budaya yang ada. Misalnya persoalan pengungsi, suksesi walikota, kasus-kasus penyimpangan dana oleh sejumlah pejabat daerah, dan lain-lain. Berita yang mengandung fakta tidak banyak dicari dan disajikan. Maka banyak penerbit pers jadi corong kepentingan pihak tertentu, bukan kepada kepentingan rakyat. Dari wacana media yang ada, tampaknya bahwa orang atau institusi lebih sensitif dengan kekuasaan yang terganggu ketimbang isu-isu korupsi yang sebetulnya lebih menyentuh hajat hidup banyak orang.

 
Kuasa dan Resistensi

Wacana media dalam bahasan  ini tampil dalam dua wajah yang bertentangan satu sama lain. Yang satu dominan-diskriminatif, yang lain resisten. Wacana yang dominan-diskriminatif tampil unggul, menentukan, mengarahkan, dan berhasil membentuk realitas. Wacana dominan berjaya karena mereka menguasai modal dan jaringan. Sementara yang resisten mencoba mengurangi dominasi tersebut. Upaya mengurangi dominasi itu bukan karena perasaan tidak suka belaka, tetapi karena memang banyak isu sosial tidak tampil di media jika dominasi wacana itu tetap berjalan seperti sekarang ini.

Dalam pandangan Foucault kekuasaan sering mendapat perlawanan atau resistensi. Di mana ada kuasa di sana ada resistensi. Kekuasaan mendapat resistensi pada saat kekuasaan itu sendiri menekankan aspek represif atau dominatif dan bukannya kreatif dan strategis. Misalnya perempuan melakukan resistensi terhadap kondisi dominasi diskriminatif yang menyebabkan perempuan jadi korban. Pastor dan umat pun melakukan perlawanan dengan menyatakan bahwa menjadi caleg adalah hak individu warga negara. UU Negara tidak melarang.  

Foucault membangkitkan sikap kritis terhadap bentuk dominasi kekuasaan. Kekuasaan dilaksanakan selalu dalam kaitan dengan  rezim wacana dan setiap wacana mempunyai klaim kebenaran. Strategi kekuasaan diterapkan secara tersamar. Wacana elit partai politik, wacana elit agama menjadi contoh yang menggambarkan hubungan kekuasaan-pengetahuan dan rezim kebenaran.
Pembenaran atas resistensi tidak selalu harus didasarkan pada kebenaran epistemologisnya, yaitu kebenaran yang diterima setelah diperiksa melalui suatu proses pemeriksaan yang mengikuti hukum-hukum berpikir yang valid.

Pembenarannya terletak pada suatu upaya untuk memberikan wacana tandingan agar kita memeriksa kembali dasar-dasar berpikir kita bersama. Wacana tandingan itu pun tidak selalu merupakan prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan kebersamaan. Wacana dominasi dan wacana tandingan itu juga hanya merupakan cara-cara lain, cara-cara baru untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut. Kita bersikap kritis terhadap manfaat suatu institusi, mempertanyakan relevansinya terhadap persoalan sosial yang ada. Jika suatu institusi masih mau membuat dirinya bermanfaat, ia harus mengubah prinsip kerjanya, cara kerjanya, dan terbuka pada upaya-upaya kreatif. Tanpa sikap-sikap terakhir ini, institusi sungguh menjadi panggung  kuasa dan tidak fungsional.

Literasi Politik
Surat kabar lokal merupakan media yang turut menumbuhkan suasana kondusif bagi perubahan masyarakat daerah. Surat kabar lokal pun telah terkondisi dalam konteks pers yang mengalami perubahan ke arah ekspansi dan akumulasi modal.
Kebebasan pers harus dipahami juga dalam cakupan kebebasan organisasi media dari tekanan pasar. Sementara itu di sisi lain pekerja media harus bebas dari tekanan ekonomi politik para pemilik modal untuk mempraktikkan aturan-aturan dan etika profesinya. Sementara dari sisi publik media, kebebasan pers adalah kebebasan publik untuk mendapat informasi  untuk berekspresi dan berpartisipasi dalam wacana demokrasi.

Seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh media yang membuat opini publik untuk menyokong proses demokratisasi di berbagai daerah? Pertanyaan ini akan terus relevan diajukan kepada pers lokal yang sekarang berkembang demikian pesat di Indonesia. Ada tantangan besar bagi media massa cetak lokal  dalam melaksanakan fungsinya yang prinsipil sebagai agen demokratisasi, terutama sekali di era transisi politik Indonesia seperti sekarang Ini.

Para pengelola media berusaha menjadi agen demokratisasi di lingkup lokal, terutama di tengah pusaran pertarungan elit politik lokal.  Oleh karena itu media massa cetak lokal  dapat melakukan literasi politik sehingga  masyarakat memiliki kemampuan untuk mendefinisikan  kebutuhan mereka akan substansi politik terutama perihal pemilihan umum. Masyarakat pun dapat mengetahui strategi pencarian informasi apa, siapa, dan mengapa mereka harus memilih?  *

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved