Nasional Terkini
Masyarakat Sudah Gerah Bising Sirine dan Silau Lampu Strobo
Djoko Setijowarno menilai penolakan masyarakat terhadap penggunaan sirine dan Rotator bukan tanpa alasan.
POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai penolakan masyarakat terhadap penggunaan sirine dan Rotator yang dikenal sebagai strobo bukan tanpa alasan.
Menurutnya, alat yang seharusnya menjadi tanda peringatan darurat itu justru sering disalahgunakan hingga memicu keresahan di jalan raya.
Beberapa pekan terakhir, muncul gerakan menolak penggunaan sirine dan strobo di jalan raya. Penolakan itu dituangkan dalam stiker 'tolak tot tot wuk wuk’. Djoko melihat gerakan itu muncul karena masyarakat sudah gerah dengan kebisingan.
“Masyarakat sudah cukup gerah dengan kebisingan di jalanan,” kata Djoko dikutip, Minggu (21/9).
Djoko menjelaskan, setidaknya ada empat faktor penyebab penolakan masyarakat. Pertama, penyalahgunaan hak istimewa. Kendaraan pribadi atau pejabat kerap menggunakan strobo hanya untuk menerobos kemacetan, meski tidak dalam keadaan darurat.
“Hal ini menimbulkan persepsi bahwa strobo adalah simbol hak istimewa dan bukan alat untuk keselamatan publik,” ujarnya.
Kedua, gangguan dan kebisingan. Suara sirene yang nyaring, terutama di lingkungan padat penduduk atau tengah malam, dapat mengganggu kenyamanan warga, menimbulkan stres, hingga kecemasan.
Ketiga, lemahnya regulasi dan penegakan hukum. Padahal, aturan sudah jelas mengatur siapa yang berhak menggunakan sirene dan rotator, seperti ambulans, pemadam kebakaran, dan polisi. Keempat, berkurangnya kepercayaan publik.
“Ketika sirene dan strobo digunakan sembarangan, masyarakat tidak lagi yakin apakah itu benar-benar situasi darurat atau hanya kendaraan yang ingin mencari jalan pintas,” kata Djoko.
Djoko menekankan bahwa penggunaan jalan merupakan hak asasi setiap orang. “Tidak ada seorang pun mempunyai hak untuk diutamakan, kecuali didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujarnya.
Ia juga menilai langkah Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Irjen Pol Agus Suryonugroho yang menertibkan penggunaan sirene dan rotator layak diapresiasi. Namun, kebijakan itu tidak boleh hanya bersifat sementara.
“Penggunaan sirene dan rotator di luar peruntukannya sudah menjadi masalah kronis yang memicu ketidakadilan dan kekacauan di jalan,” kata Djoko.
Menurutnya, dalam keseharian dengan hiruk-pikuk kemacetan di Jakarta, pengawalan sebaiknya hanya diberikan untuk Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan pejabat negara yang lain tidak perlu dikawal seperti halnya Presiden dan Wakil Presiden.
Penggunaan sirene dan rotator diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 134 menetapkan urutan kendaraan yang mendapat hak utama di jalan, mulai dari mobil pemadam kebakaran, ambulans, hingga iring-iringan pengantar jenazah.
Sementara itu, Pasal 135 menyebutkan kendaraan yang mendapat hak utama harus dikawal petugas Polri dan/atau menggunakan lampu isyarat merah atau biru serta bunyi sirine.
Bagi pelanggar, Pasal 287 ayat 4 mengatur pidana kurungan maksimal satu bulan atau denda Rp250 ribu. Namun, Djoko menilai sanksi tersebut terlalu ringan. “Sanksi pidana dan denda harus ditingkatkan agar ada efek jera,” katanya.
Selain itu, Pasal 59 menyebut lampu isyarat merah atau biru serta sirene diperuntukkan bagi kendaraan yang memiliki hak utama, sementara lampu isyarat kuning digunakan sebagai tanda peringatan bagi pengguna jalan lain.
Sebelumnya, Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Irjen Agus Suryonugroho memastikan pihaknya akan melakukan pembekuan sementara penggunaan sirine dan rotator di jalan raya.
Kendati begitu, pengawalan terhadap kendaraan pejabat tertentu akan tetap dilakukan. Tapi, anggota pengawalan tidak akan menggunakan sirine dan strobo demi menjaga lalu lintas yang tetap aman dan nyaman.
"Kami menghentikan sementara penggunaan suara-suara itu, sembari dievaluasi secara menyeluruh. Pengawalan tetap bisa berjalan, hanya saja untuk penggunaan sirine dan strobo sifatnya dievaluasi. Kalau memang tidak prioritas, sebaiknya tidak dibunyikan," kata Agus dalam keterangan resmi.
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar, Soedeson Tandra, meminta pejabat negara tak lagi menggunakan sirine dan lampu strobo di jalan raya. "Kalau alasannya karena pejabat sibuk, apakah masyarakat juga tidak sibuk? Semua juga punya kesibukan," kata Soedeson.
Soedeson mempertanyakan logika di balik penggunaan sirene dan strobo oleh sejumlah pejabat yang ingin cepat sampai di lokasi tujuan. Menurut Wakil Ketua Umum DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) ini, prinsip kesetaraan di jalan raya harus tetap dijunjung.
“Pertanyaannya, apakah pejabat perlu cepat, lalu masyarakat tidak? Kalau ingin cepat, ya berangkat lebih awal. Jangan ‘wuk wuk wuk’ begitu. Itu bukan hanya melukai perasaan rakyat, tapi juga menunjukkan seolah-olah pejabat punya hak istimewa,” ujarnya.
Soedeson juga menyoroti potensi bahaya dari penggunaan strobo dan sirene yang tidak semestinya. Ia menegaskan bahwa perilaku tersebut bisa menyebabkan pelanggaran lalu lintas hingga kecelakaan.
“Penggunaan seperti itu seringkali diikuti manuver berbahaya, seperti zig-zag di jalan. Itu bisa menimbulkan kecelakaan,” ucapnya.
Soedeson mendesak agar penggunaan strobo dan sirine dibatasi hanya untuk pihak-pihak tertentu, seperti Presiden atau tamu negara.
"Sehingga kebiasaan-kebiasaan itu menurut saya tidak perlulah. Kecuali presiden atau tamu negara, silakan. Kalau yang lain itu, nggak perlulah,” tuturnya.
Ia juga mencontohkan dirinya yang memilih datang lebih awal apabila ada acara penting, alih-alih meminta prioritas di jalan.
"Saya tidak pernah menggunakan kayak begitu-begitu. Kalau acaranya saya melihat bahwa acaranya itu macet, saya datang lebih awal saja ke sana ya kan," imbuhnya.
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto buka suara terkait adanya gerakan 'Stop Tot Tot Wuk Wuk'. Adapun gerakan ini terkait bentuk protes atas penggunaan sirine dan strobo yang berlebihan. Nyatanya, Agus mengaku juga merasa terganggu jika mendengar sirene, strobo, maupun rotator saat melintasi jalan umum.
Alhasil, dia mengatakan kerap meminta pengawalnya untuk tidak menyalakannya ketika mengawalnya. Selain itu, Agus juga meminta agar pengawalnya turut tidak menghidupkan sirine, strobo, atau rotator saat mengendarai kendaraan di jalan umum.
"Saya juga mengarah(kan) kepada pengawal saya untuk tidak bunyikan strobo karena ganggu kita juga. Ganggu saya juga. Saya kan pengen nyaman juga. Kendaraan juga tidak menghargai pengendara yang lain," katanya.
Di sisi lain, Agus juga meminta jajarannya untuk tetap mendahulukan kendaraan seperti ambulans maupun pemadam kebakaran yang kerap harus berkejaran dengan waktu ketika menolong masyarakat.
"Kecuali ada hal yang memang membutuhkan kita urgensi cepat, kita harus ada di suatu tempat. Membutuhkan bantuan atau mungkin kita juga seperti ambulans. Ambulans kita dahulukan, kemudian pemadam kebakaran," tegas Agus.
Dia pun mendorong agar aparat menertibkan pengendara yang menggunakan sirine maupun strobo jika memang tidak sesuai aturan.
Gerakan 'Stop Tot Tot Wuk Wuk' ini pertama kali muncul di media sosial sebagai bentuk protes terkait fenomena penggunaan sirene atau strobo yang dinilai berlebihan dan mengganggu pengendara lain.
Warga net pun melakukan protes dengan berbagai cara seperti mengunggah poster digital hingga foto yang memperlihatkan sebuah mobil yang memasang stiker bertuliskan 'Pajak Kami Ada di Kendaraanmu. Stop berisik di jalan Tot Tot Wuk Wuk'. (Tribun Network/abd/fer/fik/wly/nis)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM lain di GOOGLE NEWS
Listrik PLN Masuk 24 Jam, Ratusan Siswa di Maluku Utara Bisa Rasakan Digitalisasi Pendidikan |
![]() |
---|
Presiden Prabowo Teken Perpres Tetapkan IKN Ibu Kota Politik 2028 |
![]() |
---|
Telkomsel Gelar IndonesiaNEXT Summit 2025, Pertajam Kepiawaian Generasi Muda Manfaatkan Teknologi AI |
![]() |
---|
Cerita WNI Terjebak Kerusuhan di Nepal: Suasana Mencekam, Terdengar Suara Tembakan |
![]() |
---|
Cek Kesehatan Gratis Sudah Menjangkau Hampir 30 Juta Penerima Manfaat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.