Opini
Paradoksial MBG: Antara Peningkatan Status Gizi Masyarakat dan Fenomena Keracunan
Dalam konteks MBG, institusi pemerintah dirancang untuk menjalankan fungsi pemenuhan gizi masyarakat.
Oleh: Adi Rianghepat
Warga Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Tulisan ini tidak bermaksud “membumihanguskan” semangat dan upaya pemerintah, menjalankan salah satu program prioritasnya itu.
Namun sebagai warga negara, dimaknai sebagai bagian penting menakar reaksi sosial terhadap pelaksanaannya.
Sekadar menggugah kesadaran kita semua, Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mulai bergulir pada Januari 2025 silam.
MBG menyasar anak sekolah mulai level PAUD hingga siswa SMA/SMK, ibu hamil dan menyusui dengan tujuan meningkatkan status gizi masyarakat, mengurangi stunting, serta meningkatkan kualitas pendidikan dengan memastikan anak mendapatkan nutrisi yang cukup.
Baca juga: BREAKING NEWS: 80 Anak SMA Manda Elu Sumba Barat Daya Dilarikan ke RS, Diduga Keracunan MBG
Meskipun belum disebut gagal, namun fakta lapangan menunjukan gambaran paradoksialnya. Ini tentu menimbulkan sejumlah narasi pesimistis sebagian kalangan.
Apakah program yang tujuannya indah dan luhur itu bisa terwujud di tengah kasus keracunan makanan yang terus terjadi?
Penting saya jelaskan, secara etimologis, kata paradoksial berasal dari bahasa Yunani para-doxos. Kata para berarti “berlawanan” atau “menyimpang dari”, sedangkan doxos berarti “pendapat” atau “keyakinan”.
Dengan demikian, paradoksial berarti “bertentangan dengan harapan umum” — suatu keadaan di mana dua hal yang saling bertolak belakang muncul secara bersamaan.
Dalam konteks kebijakan publik, istilah paradoksial menggambarkan situasi ketika sebuah program yang dirancang untuk memperbaiki keadaan justru menimbulkan masalah baru. Inilah yang kini tampak pada pelaksanaan program MBG.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyebut terdapat 11.640 orang telah menjadi korban keracunan MBG (versi BGN).
Sedangkan versi Kementerian Kesehatan korban keracunan akibat MBG berjumlah 13.371 orang. Memang jumlah ini belum sebanyak jumlah penerima manfaat yang telah mencapai 41,6 juta orang (hingga 11 November 2025).
Namun begitu, nyata timbul kondisi yang disebut discrepantia: terdapat ketidaksesuaian antara harapan atau tujuan dan kenyataan.
Pada konteksnya, MBG menjadi instrumen sosial yang memerangi kekurangan gizi, namun pada sisi lain, ia malah menjadi sumber penyakit baru. Inilah wujud paradoksial yang sesungguhnya.
Paradoks Sosial dalam Teori dan Realitas
Fenomena paradoksial dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak hanya dapat dilihat sebagai kegagalan teknis atau administratif, tetapi juga merupakan gejala sosial yang mencerminkan ketegangan antara idealisme kebijakan dan realitas sosial di lapangan.
Untuk memahami paradoks ini secara lebih komprehensif, kita dapat menggunakan tiga perspektif teori sosial besar, masing-masing Teori Konflik (Karl Marx), Fakta Sosial (Emile Durkheim), dan Konstruksi Sosial (Peter L. Berger & Thomas Luckmann).
Pertama: Teori Konflik (Karl Marx): Pertarungan Kepentingan di Balik Kebijakan Publik
Karl Marx memandang masyarakat sebagai arena pertarungan antara kelompok yang memiliki dan menguasai sumber daya dengan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan ekonomi maupun politik.
Dalam kerangka ini, kebijakan publik seperti MBG tidak berdiri di ruang hampa, melainkan menjadi bagian dari relasi kekuasaan dan distribusi sumber daya yang tidak merata.
Program MBG, dengan anggaran puluhan triliun rupiah dan jaringan pelaksana yang kompleks, membuka ruang bagi berbagai aktor: kementerian, lembaga penyedia pangan, pemerintah daerah, penyedia jasa katering, dan pengawas di lapangan.
Di titik inilah ketimpangan kepentingan muncul. Alih-alih seluruh pihak bekerja demi kualitas gizi penerima, sebagian mungkin terdorong oleh motif ekonomi dan politis, seperti proyek pengadaan bahan makanan, kontrak distribusi, atau kepentingan citra pemerintah.
Dalam kondisi seperti ini, pengawasan terhadap mutu pangan sering terpinggirkan karena perhatian lebih banyak tersedot pada aspek administrasi dan serapan anggaran.
Paradoks MBG menurut perspektif konflik muncul karena tujuan ideal (peningkatan gizi) berhadapan langsung dengan logika kapitalistik (keuntungan, efisiensi biaya, dan proyek politik).
Akibatnya, risiko seperti penurunan standar kualitas makanan dan terjadinya keracunan massal bukan semata kecelakaan, tetapi konsekuensi dari struktur relasi kekuasaan yang timpang di balik pelaksanaan program.
Kedua: Fakta Sosial (Emile Durkheim): Disfungsi Institusi dalam Kebijakan Publik
Durkheim memperkenalkan konsep fakta sosial sebagai norma, nilai, dan struktur yang memengaruhi individu dari luar dirinya.
Ia menegaskan bahwa setiap institusi sosial memiliki fungsi tertentu untuk menjaga keseimbangan masyarakat.
Namun, ketika fungsi itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, yang muncul adalah disfungsi sosial.
Dalam konteks MBG, institusi pemerintah dirancang untuk menjalankan fungsi pemenuhan gizi masyarakat.
Tetapi, ketika rantai implementasi—mulai dari dapur penyedia, distribusi, hingga pengawasan higienitas—tidak bekerja dengan baik, maka institusi tersebut kehilangan fungsinya dan justru menimbulkan gejala disfungsi.
Fenomena keracunan massal yang terjadi di banyak daerah adalah contoh konkret disfungsi institusi negara dalam menjaga kesehatan masyarakat.
Durkheim menyebut hal ini sebagai bentuk “anomi institusional”, yaitu ketika aturan dan sistem pengawasan tidak lagi mampu menuntun perilaku kolektif menuju tujuan sosial yang diharapkan.
Paradoks MBG, dalam kacamata Durkheimian, adalah paradoks fungsional: kebijakan yang seharusnya menyehatkan masyarakat justru menimbulkan penyakit.
Ini bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi indikasi lemahnya solidaritas organik antar lembaga negara yang seharusnya bekerja saling melengkapi — bukan berjalan sendiri-sendiri.
Ketiga: Konstruksi Sosial (Berger dan Luckmann): Krisis Makna dalam Ruang Publik
Berger dan Luckmann menekankan bahwa realitas sosial tidak bersifat objektif, melainkan hasil proses konstruksi sosial melalui interaksi dan pengalaman bersama.
Artinya, program MBG tidak hanya dinilai dari keberhasilannya secara administratif, tetapi juga dari bagaimana masyarakat memaknai dan mengalaminya.
Pada awal peluncurannya, MBG dipersepsikan sebagai simbol kepedulian negara terhadap kesehatan rakyat.
Namun, ketika berulang kali muncul kasus keracunan, makna itu mulai bergeser.
Di banyak daerah, masyarakat mulai memandang MBG bukan sebagai program penyelamat gizi, melainkan program berisiko, bahkan menjadi bahan sindiran sosial di media dan ruang publik.
Inilah bentuk krisis legitimasi simbolik. Sebuah kebijakan yang awalnya dianggap bermakna positif kini kehilangan kredibilitas karena pengalaman empiris masyarakat berlawanan dengan pesan yang dikampanyekan pemerintah.
Dalam perspektif konstruksionis, paradoks MBG terjadi karena realitas yang dikonstruksi secara politis (“makan bergizi untuk semua”) tidak sejalan dengan realitas yang dialami masyarakat (“makan bergizi yang malah menimbulkan sakit”).
Krisis makna ini berpotensi melemahkan partisipasi publik dan kepercayaan sosial terhadap program lain dari negara di masa depan, terutama yang berkaitan dengan pelayanan sosial atau pangan.
Sintesis
Membaca ketiga teori tadi, maka akan memberi pemahaman yang setidaknya utuh, bahwa Teori Konflik menyoroti akar struktural paradoks, yakni perebutan kepentingan dan kekuasaan di balik kebijakan.
Teori Fakta Sosial menjelaskan bagaimana disfungsi lembaga dan lemahnya pengawasan menciptakan kegagalan sistemik.
Sementara Teori Konstruksi Sosial menyoroti konsekuensi simbolik dan kulturalnya — hilangnya kepercayaan masyarakat akibat realitas yang berlawanan dengan narasi resmi.
Paradoks MBG bukan sekadar persoalan gizi dan sanitasi, tetapi cermin dari kompleksitas sosial-politik kebijakan publik di Indonesia: ketika idealisme bertemu dengan birokrasi, dan janji kesejahteraan berbenturan dengan praktik di lapangan.
Dari Paradoks ke Perbaikan
Paradoksial MBG harus menjadi bahan refleksi nasional. Program sebesar ini tidak boleh berhenti pada niat baik, tetapi harus terus dikawal pada aspek mutu, pengawasan dan tanggung jawab sosial.
Setidaknya, penulis mencoba menyajikan beberapa langkah perbaikan yang dapat dipertimbangkan.
Pertama, harus dilakukan penguatan sistem keamanan pangan di setiap dapur dan penyedia MBG, termasuk sertifikasi dan audit higienitas.
Kedua, transparansi data kasus keracunan agar masyarakat mendapatkan informasi yang jujur dan dapat menilai objektivitas pemerintah.
Ketiga, reformasi sistem pengawasan lintas sektor, melibatkan dinas kesehatan, lembaga pendidikan, dan lembaga independen.
Keempat, pendidikan gizi dan keamanan pangan kepada masyarakat agar penerima juga menjadi pengawas sosial.
Program MBG adalah kebijakan besar yang mengandung nilai kemanusiaan tinggi.
Namun, tanpa evaluasi dan tanggung jawab yang berkelanjutan akan terus menjadi paradoks antara “makanan bergizi” dan “makanan berisiko”.
Seperti dikatakan Durkheim, “Masyarakat tidak akan sehat bila institusinya sakit.” Maka, memperbaiki paradoks MBG berarti memperbaiki cara kita mengelola kebijakan publik itu sendiri. (*)
Simak terus artikel POS-KUPANG.COM di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Adi-Rianghepat.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.