Opini
Paradoksial MBG: Antara Peningkatan Status Gizi Masyarakat dan Fenomena Keracunan
Dalam konteks MBG, institusi pemerintah dirancang untuk menjalankan fungsi pemenuhan gizi masyarakat.
Paradoks MBG, dalam kacamata Durkheimian, adalah paradoks fungsional: kebijakan yang seharusnya menyehatkan masyarakat justru menimbulkan penyakit.
Ini bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi indikasi lemahnya solidaritas organik antar lembaga negara yang seharusnya bekerja saling melengkapi — bukan berjalan sendiri-sendiri.
Ketiga: Konstruksi Sosial (Berger dan Luckmann): Krisis Makna dalam Ruang Publik
Berger dan Luckmann menekankan bahwa realitas sosial tidak bersifat objektif, melainkan hasil proses konstruksi sosial melalui interaksi dan pengalaman bersama.
Artinya, program MBG tidak hanya dinilai dari keberhasilannya secara administratif, tetapi juga dari bagaimana masyarakat memaknai dan mengalaminya.
Pada awal peluncurannya, MBG dipersepsikan sebagai simbol kepedulian negara terhadap kesehatan rakyat.
Namun, ketika berulang kali muncul kasus keracunan, makna itu mulai bergeser.
Di banyak daerah, masyarakat mulai memandang MBG bukan sebagai program penyelamat gizi, melainkan program berisiko, bahkan menjadi bahan sindiran sosial di media dan ruang publik.
Inilah bentuk krisis legitimasi simbolik. Sebuah kebijakan yang awalnya dianggap bermakna positif kini kehilangan kredibilitas karena pengalaman empiris masyarakat berlawanan dengan pesan yang dikampanyekan pemerintah.
Dalam perspektif konstruksionis, paradoks MBG terjadi karena realitas yang dikonstruksi secara politis (“makan bergizi untuk semua”) tidak sejalan dengan realitas yang dialami masyarakat (“makan bergizi yang malah menimbulkan sakit”).
Krisis makna ini berpotensi melemahkan partisipasi publik dan kepercayaan sosial terhadap program lain dari negara di masa depan, terutama yang berkaitan dengan pelayanan sosial atau pangan.
Sintesis
Membaca ketiga teori tadi, maka akan memberi pemahaman yang setidaknya utuh, bahwa Teori Konflik menyoroti akar struktural paradoks, yakni perebutan kepentingan dan kekuasaan di balik kebijakan.
Teori Fakta Sosial menjelaskan bagaimana disfungsi lembaga dan lemahnya pengawasan menciptakan kegagalan sistemik.
Sementara Teori Konstruksi Sosial menyoroti konsekuensi simbolik dan kulturalnya — hilangnya kepercayaan masyarakat akibat realitas yang berlawanan dengan narasi resmi.
Paradoks MBG bukan sekadar persoalan gizi dan sanitasi, tetapi cermin dari kompleksitas sosial-politik kebijakan publik di Indonesia: ketika idealisme bertemu dengan birokrasi, dan janji kesejahteraan berbenturan dengan praktik di lapangan.
Dari Paradoks ke Perbaikan
Paradoksial MBG harus menjadi bahan refleksi nasional. Program sebesar ini tidak boleh berhenti pada niat baik, tetapi harus terus dikawal pada aspek mutu, pengawasan dan tanggung jawab sosial.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Adi-Rianghepat.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.