Opini

Paradoksial MBG: Antara Peningkatan Status Gizi Masyarakat dan Fenomena Keracunan 

Dalam konteks MBG, institusi pemerintah dirancang untuk menjalankan fungsi pemenuhan gizi masyarakat. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI ADI RIANGHEPAT
Adi Rianghepat 

Untuk memahami paradoks ini secara lebih komprehensif, kita dapat menggunakan tiga perspektif teori sosial besar, masing-masing Teori Konflik (Karl Marx), Fakta Sosial (Emile Durkheim), dan Konstruksi Sosial (Peter L. Berger & Thomas Luckmann).

Pertama: Teori Konflik (Karl Marx): Pertarungan Kepentingan di Balik Kebijakan Publik

Karl Marx memandang masyarakat sebagai arena pertarungan antara kelompok yang memiliki dan menguasai sumber daya dengan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan ekonomi maupun politik. 

Dalam kerangka ini, kebijakan publik seperti MBG tidak berdiri di ruang hampa, melainkan menjadi bagian dari relasi kekuasaan dan distribusi sumber daya yang tidak merata.

Program MBG, dengan anggaran puluhan triliun rupiah dan jaringan pelaksana yang kompleks, membuka ruang bagi berbagai aktor: kementerian, lembaga penyedia pangan, pemerintah daerah, penyedia jasa katering, dan pengawas di lapangan. 

Di titik inilah ketimpangan kepentingan muncul. Alih-alih seluruh pihak bekerja demi kualitas gizi penerima, sebagian mungkin terdorong oleh motif ekonomi dan politis, seperti proyek pengadaan bahan makanan, kontrak distribusi, atau kepentingan citra pemerintah. 

Dalam kondisi seperti ini, pengawasan terhadap mutu pangan sering terpinggirkan karena perhatian lebih banyak tersedot pada aspek administrasi dan serapan anggaran.

Paradoks MBG menurut perspektif konflik muncul karena tujuan ideal (peningkatan gizi) berhadapan langsung dengan logika kapitalistik (keuntungan, efisiensi biaya, dan proyek politik). 

Akibatnya, risiko seperti penurunan standar kualitas makanan dan terjadinya keracunan massal bukan semata kecelakaan, tetapi konsekuensi dari struktur relasi kekuasaan yang timpang di balik pelaksanaan program.

Kedua: Fakta Sosial (Emile Durkheim): Disfungsi Institusi dalam Kebijakan Publik

Durkheim memperkenalkan konsep fakta sosial sebagai norma, nilai, dan struktur yang memengaruhi individu dari luar dirinya. 

Ia menegaskan bahwa setiap institusi sosial memiliki fungsi tertentu untuk menjaga keseimbangan masyarakat. 

Namun, ketika fungsi itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, yang muncul adalah disfungsi sosial.

Dalam konteks MBG, institusi pemerintah dirancang untuk menjalankan fungsi pemenuhan gizi masyarakat. 

Tetapi, ketika rantai implementasi—mulai dari dapur penyedia, distribusi, hingga pengawasan higienitas—tidak bekerja dengan baik, maka institusi tersebut kehilangan fungsinya dan justru menimbulkan gejala disfungsi.

Fenomena keracunan massal yang terjadi di banyak daerah adalah contoh konkret disfungsi institusi negara dalam menjaga kesehatan masyarakat. 

Durkheim menyebut hal ini sebagai bentuk “anomi institusional”, yaitu ketika aturan dan sistem pengawasan tidak lagi mampu menuntun perilaku kolektif menuju tujuan sosial yang diharapkan.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved