Opini
Opini: Paradoks Inersia Fiskal, Efisiensi TKD sebagai Wajah Baru Resentralisasi
Paradoks pun muncul: ketika pusat mengklaim efisiensi, yang sebenarnya terjadi adalah pemusatan kendali fiskal.
Oleh: I Putu Yoga Bumi Pradana
Dosen Pada Program Doktor Ilmu Administrasi, FISIP Undana Kupang, Koordinator Program Studi Magister Studi Pembangunan Undana dan alumni Program Doktor Ilmu Administrasi Publik FISIPOL UGM.
POS-KUPANG.COM - Efisiensi sering dijanjikan sebagai obat mujarab bagi borosnya fiskal daerah.
Namun di balik jargon itu, kita menyaksikan pergeseran yang diam-diam terjadi: resentralisasi yang menjelma dalam wajah baru bernama efisiensi Transfer ke Daerah (TKD).
Pemangkasan TKD sebesar lebih dari Rp200 triliun dalam RAPBN 2026 bukanlah sekadar keputusan fiskal, melainkan langkah politik yang mengubah keseimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah.
Baca juga: LIPSUS: OPD Kelola Dana Rp 15 Juta Setahun, Efek Pemangkasan Dana TKD
Bagi provinsi dengan ketergantungan fiskal tinggi seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana lebih dari 85 persen APBD bersumber dari TKD, kebijakan ini ibarat menyusutkan oksigen pembangunan.
Proyek infrastruktur terhenti, pembayaran gaji ASN terancam, sementara pelayanan dasar seperti air bersih dan kesehatan harus berhemat di tengah kenaikan belanja pusat sebesar 17,7 persen.
Paradoks pun muncul: ketika pusat mengklaim efisiensi, yang sebenarnya terjadi adalah pemusatan kendali fiskal.
Kepala daerah kehilangan ruang menentukan prioritas, menjadi operator teknis program nasional. Dalam istilah Guy Peters (2018), inilah “the death of genuine decentralization” - kematian otonomi yang berlangsung tanpa upacara, tapi menggerogoti makna desentralisasi dari dalam.
Inersia Fiskal dan Viskositas Daerah
Masalah utama desentralisasi di Indonesia bukan kekurangan dana, melainkan inersia fiscal, ketidakmampuan daerah beradaptasi dengan dinamika fiskal baru.
Birokrasi lokal ibarat mesin tua, berisik tapi lamban. Dana transfer tersangkut di simpul administratif tanpa menetes menjadi manfaat nyata.
Dalam fisika, inersia berarti kecenderungan benda mempertahankan keadaan hingga ada gaya luar yang memaksanya bergerak.
Dalam fiskal publik, ia menggambarkan birokrasi yang kaku dan enggan berubah, meski tekanan anggaran dan tuntutan publik mendesak adaptasi.
Akibatnya muncul viskositas fiskal, aliran anggaran yang mengental akibat resistensi birokrasi.
Courant et al. (1979) menyebutnya flypaper effect, di mana uang publik menempel di dinding birokrasi tanpa menggerakkan ekonomi riil.
Data Kementerian Keuangan (2024) memperlihatkan rata-rata Pendapatan Asli Daerah (PAD) nasional hanya 24 persen dari APBD, sementara di NTT bahkan di bawah 12 persen. Ini menandakan rendahnya kapasitas daerah untuk menghasilkan energi fiskal sendiri.
Rata-rata PAD nasional hanya 24 persen dari APBD, sementara di NTT di bawah 12 persen, menandakan ketergantungan tinggi.
Padahal, menurut Musgrave & Musgrave (1989), transfer fiskal seharusnya menjadi equalization grant, bukan dependency trap, yaitu semakin besar transfer, semakin kecil inovasi. Negara memberi dana, tetapi membunuh kemandirian.
Sebaliknya, Brasil, Korea Selatan, dan Estonia memperlihatkan arah yang berbeda. Brasil menegakkan Fiscal Responsibility Law (2000) untuk menumbuhkan disiplin fiskal tanpa mengorbankan otonomi.
Estonia melawan viskositas fiskalnya lewat digitalisasi penuh birokrasi publik, menjadikan anggaran lebih cepat, transparan, dan partisipatif.
Pelajarannya jelas adalah efisiensi tidak lahir dari pemangkasan, tetapi dari inovasi yang melancarkan aliran nilai publik.
Efisiensi yang Salah Tafsir
Di tangan birokrasi yang inersial, efisiensi sering kali menjelma menjadi mantra kosong yang membenarkan penghematan tanpa arah. Ia menjadi justifikasi rasional bagi pemotongan yang melumpuhkan imajinasi publik.
Dalam paradigma modern, efisiensi dipuja sebagai rasionalitas teknokratis yang menjanjikan output maksimal dari input minimal. Namun di balik kalkulasi itu tersembunyi paradoks yang mengkhianati makna pelayanan publik.
Semakin efisien birokrasi di atas kertas, semakin tumpul sensitivitas sosialnya terhadap realitas di lapangan.
Jika efisiensi hanya dimaknai sebagai pemotongan anggaran, maka ia berubah menjadi administrative austerity - penghematan yang melemahkan kemampuan negara dalam melayani warga.
Osborne dan Gaebler (1992) menyebut birokrasi demikian bukan entrepreneurial government, melainkan maintenance bureaucracy yang hemat namun kehilangan daya cipta.
Efisiensi sejati, seperti ditegaskan Mark H. Moore (1995), terletak pada penciptaan nilai publik berupa kesejahteraan, keadilan, dan kepercayaan sosial yang dibangun melalui co-creation (Benington, 2009).
Ia dapat dirumuskan sederhana:
E = V ÷ R
(= Nilai Publik ÷ Sumber Daya yang Digunakan)
Ketika sumber daya (R) menurun, pemerintah harus meningkatkan nilai publik (V) agar efisiensi (E) tetap tumbuh.
Maka efisiensi bukan spending less, tetapi meaning more, kecerdasan moral untuk mengubah keterbatasan fiskal menjadi makna sosial yang adil, partisipatif, dan manusiawi.
Jalan Adaptasi: Dari Makro ke Mikro
Jika efisiensi TKD adalah badai fiskal, maka kepala daerah harus menjadi navigator, bukan korban. Adaptasi fiskal perlu dijalankan pada tiga level—makro, meso, dan mikro—agar krisis menjadi ruang inovasi, bukan kepanikan.
Pada level makro, perencanaan harus bergeser dari input-based budgeting ke outcome-based planning, dengan setiap rupiah diarahkan pada hasil sosial yang terukur.
Dana Insentif Fiskal berbasis kinerja perlu diperluas bagi daerah yang mampu menekan kemiskinan dan meningkatkan PAD. Birokrasi pun harus berevolusi menjadi value-based bureaucracy yang menempatkan inovasi di atas prosedur.
Pada level meso, pemerintah daerah perlu membangun Fiscal Innovation Hub di universitas lokal seperti Universitas Nusa Cendana, sebagai wadah kolaborasi hexa-helix antara pemerintah, akademisi, bisnis, media, masyarakat sipil, dan komunitas digital untuk mengembangkan inovasi fiscal, dari digitalisasi pajak hingga pengelolaan aset tidur.
Pada level mikro, logika nilai publik perlu ditanamkan dalam kinerja setiap OPD.
Semua strategi ini bermuara pada rumus sederhana:
Rumus sederhana dapat menggambarkan arah adaptasi fiskal ini
KD = (KF × KDg) + (KL × KP)
(Kemandirian Daerah = Kreativitas Fiskal dikalikan Kapasitas Digital, lalu ditambah Kemitraan Lokal dikalikan Kepercayaan Publik)
Kemandirian sejati tumbuh dari kepercayaan dan inovasi yang hidup di tengah keterbatasan fiskal.
Dari Efisiensi ke Kepercayaan
Kita tidak menolak efisiensi, tetapi menolak ketika efisiensi dijadikan alasan untuk mengekang otonomi. Pemangkasan TKD adalah ujian kedewasaan fiskal bagi negara dan daerah.
Ia bisa menyeret kita kembali ke sentralisasi, atau justru melahirkan generasi pemerintahan daerah yang cerdas dan bernilai publik.
Bagi NTT dan daerah miskin fiskal lainnya, masa depan tidak bergantung pada besarnya transfer pusat, melainkan pada kemampuan menciptakan nilai di tengah kelangkaan.
Saat pusat menarik kekuasaan ke atas, daerah harus menanam akar ekonomi ke bawah.
Dari Timur yang kerap dianggap pinggiran, mungkin akan lahir desentralisasi baru yang tumbuh bukan dari kelimpahan dana, melainkan dari kecerdasan fiskal dan kepercayaan sosial.
Sebab efisiensi tanpa nilai hanyalah penghematan yang hampa, dan otonomi tanpa kepercayaan hanyalah desentralisasi tanpa jiwa. (*)
Simak terus artikel POS-KUPANG.COM di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Yoga-Bumi-Pradana.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.