Opini

Opini: Menyibak Minuman Produk Lokal Khas NTT di Balik Instruksi Sitaan Kapolda NTT

Merupakan suatu ironi bagi hukum, apabila intervensinya tidak menyasar secara tepat pada substansi penyebab

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI YUDEL NENO
Yudel Neno 

Dengan demikian, selain inovasi produk lokal dalam hal ekonomi, juga terdapat nilai sosial dan terbina semangat kerja sama entah dalam proses memulainya maupun dalam proses memanfaatkannya. 

Tak dapat dipungkiri dampaknya bahwa meningkatnya fenomena kriminal turut disebabkan karena konsumsi miras lokal. 

Tetapi sejauh ditelusuri, hal seperti itu dapat saja terjadi, karena  aktivitas konsumsi melebihi kemampuan atau berlebihan, alhasil; dampaknya tidak terkontrol entah oleh konsumen itu sendiri maupun oleh orang lain. 

Itu artinya selama masih dalam batas yang wajar, konsumsi alkohol dipandang sebagai normal dan bahkan dalam tradisi kultur NTT, merupakan sarana untuk mempererat persaudaraan dan merajut perdamaian. 

Nilai kebersamaan, persaudaraan dan bahkan perdamaian inilah yang sesungguhnya memberi perspektif bahwa yang perlu disikapi ialah lebih kepada tindakan krinimal oknum yang bercorak kasuistik dan bukan pertama-tama pada produk lokal. 

Merupakan suatu ironi bagi hukum, apabila intervensinya tidak menyasar secara tepat pada substansi penyebab.  

Secara filosofis dapat dipahami bahwa manusia sebagai subjek, ia berkesadaran, dan karena itu, edukasi yang tepat sasar seharusnya menyasar pada manusia dalam segala kesadarannya bukan malah mengkriminalisasi produk lokal tradisional. 

Hukum seharusnya menemukan cara edukasinya tanpa harus mengorbankan produk lokal. 

Kebijakan yang bersifat instruksional tanpa peduli pada azas tradisional sebetulnya merupakan suatu model kekerasan yang pertama-tama melukai setiap upaya masyarakat lokal yang telah berupaya sekuat tenaga untuk mendongkrak hidup ekonominya. 

Sebagai cara untuk menjembatani ketegangan antara moral publik dan produk lokal masyarakat, seharusnya diupayakan dan dibangun komunikasi lintas sektor dalam semangat kolaborasi yang kritikal. 

Kebijakan tanpa kolaborasi justru mencirikan tipical pemimpin bertangan besi, yang terkesan menunjukkan arogansinya di hadapan masyarakat, tatkala masyarakat sedang berjuang untuk mempertahankan tradisi dalam praktek dan produk sembari mendongkrak hidup ekonomi. 

Mengapa langkah strategis kolaborasi itu harus diambil? 

Mengingat bahwa aktivitas produksi sebagaimana dilakukan oleh sebagian masyarakat bukan untuk mencari suatu popularitas atau viralitas semata, melainkan pada hakekatnya merupakan sebuah mata pencaharian, yang selama ini belum diakomodir secara normatif melalui pendekatan yuridis oleh pemerintah entah melalui perda atau sejenis aturan lainnya, yang kiranya dapat dijadikan sebagai payung hukum dalam mendistribusikan apa yang telah diproduksi. 

Pada akhirnya, kita semua diajak untuk berbenah. Secara prinsipil; setiap kebijakan yuridis harus prokultur dan bukan sebaliknya menenggelamkan atau mengkriminalisasi produk kultur. 

Hukum di manapun, ia menjunjung tinggal kultur. Itulah sebabnya dikatakan bahwa hukum; sama sekali tidak dimaksudkan untuk merendahkan apalagi mengabaikan martabat manusia, melainkan untuk menjunjung tinggi martabat manusia. 

Termasuk di dalamnya ialah segala aktivitas yang dipandang bermartabat karena bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved