Opini

Opini: Menjaga Tata Kelola dan Keberlanjutan Bank NTT di Tengah Masa Transisi 

Total ekuitas Bank NTT baru mencapai sekitar Rp2,7 triliun, masih terdapat selisih sekitar Rp300 miliar dari ketentuan minimal yang dipersyaratkan.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI WILHELMUS M ADAM
Wilhelmus Mustari Adam 

Oleh: Wilhelmus Mustari Adam
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Unwira Kupang & Mahasiswa Program Doktor Ilmu Akuntansi Sektor Publik  Universitas Brawijaya, Malang.

POS-KUPANG.COM - Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) Bank NTT pada tanggal 8 Mei 2025 telah menetapkan Bapak Yohanes Landu Praing, SE., MM sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama. 

Keputusan ini diambil untuk mengisi kekosongan jabatan Direktur Utama dan memastikan kelangsungan operasional bank daerah milik masyarakat Nusa Tenggara Timur ini tetap berjalan normal. 

Langkah tersebut sejatinya merupakan keputusan strategis yang dapat dipahami, mengingat setiap lembaga keuangan harus memiliki figur pimpinan yang sah dan aktif untuk menjamin kelancaran proses bisnis dan hubungan dengan regulator.

Namun, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa pada 4 September 2025, Bank NTT kembali melaksanakan RUPS-LB yang diselenggarakan di Kantor Gubernur NTT, dan memutuskan memperpanjang masa jabatan Plt Dirut hingga Februari 2026. 

Baca juga: Bank NTT Serahkan Dana Sponsor Rp 250 Juta ke Panitia ETMC XXXIV Ende

Keputusan ini diambil dengan pertimbangan masih menunggu keputusan resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai hasil fit and proper test terhadap calon Direksi dan Komisaris definitif.

Langkah perpanjangan tersebut menimbulkan sejumlah catatan penting dari perspektif tata kelola korporasi yang baik (Good Corporate Governance) dan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku. 

Berdasarkan Peraturan OJK No. 17/POJK.03/2023 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum menegaskan bahwa jangka waktu Plt Direksi paling lama 6 bulan setelah mendapat persetujuan OJK. 

Sedangkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), masa jabatan seorang Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama bersifat sementara dan dibatasi maksimal 90 hari setelah mendapatkan persetujuan dari OJK. 

Dengan demikian, menjadi hal yang cukup krusial untuk menjadi perhatian para pemegang saham pengendali dalam RUPS agar  serius mendorong tata kelola yang baik bagi pengembangan bank NTT.

Dalam ketentuan tersebut juga dijelaskan bahwa Plt Direktur Utama tidak diwajibkan menjalani fit and proper test karena posisinya bersifat sementara. 

Namun, OJK tetap memiliki kewenangan untuk mengevaluasi dan memantau kinerja serta pelaksanaan tugas pejabat sementara tersebut. 

Artinya, jabatan Plt tidak dapat dijadikan posisi jangka panjang karena berpotensi menimbulkan kekosongan hukum dalam pengambilan keputusan strategis bank, terutama yang berkaitan dengan kebijakan investasi, ekspansi kredit, kebijakan strategis, dan penguatan permodalan. 

Risiko Kepatuhan dan Persepsi Publik

Dari perspektif tata kelola, keputusan memperpanjang masa jabatan Plt Dirut hingga hampir satu tahun menimbulkan risiko persepsi publik terkait kepatuhan Bank NTT terhadap prinsip Good Corporate Governance (GCG). 

Dalam industri perbankan, kepatuhan terhadap regulasi adalah fondasi utama untuk menjaga kepercayaan nasabah, investor, dan regulator. 

Ketidakpastian dalam kepemimpinan dapat menimbulkan kesan lemahnya proses pengambilan keputusan dan potensi stagnasi dalam arah strategis perusahaan.

Perpanjangan jabatan Plt, meski dilakukan dengan alasan menunggu proses administratif dari OJK, tetap harus ditempatkan dalam koridor hukum yang jelas. 

Prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam perbankan tidak hanya berlaku pada manajemen risiko keuangan, tetapi juga dalam aspek kelembagaan dan tata kelola. 

Kepemimpinan yang bersifat sementara terlalu lama dapat menghambat konsistensi kebijakan dan pelaksanaan strategi bisnis jangka menengah Bank NTT.

Jika status Plt Dirut melebihi 6 bulan dari tenggat waktu yang diatur dalam dua regulasi utama, tentunya dapat dipastikan melanggar prinsip tata kelola sebagaimana regulasi OJK yang termuat dalam POJK Nomor 17/POJK.03/2023. Hal lain tidak mematuhi prinsip tata kelola korporasi (GCG).

Tantangan Modal Inti Rp3 Triliun Yang Belum Terpenuhi

Selain persoalan kepemimpinan, tantangan serius yang dihadapi Bank NTT adalah belum terpenuhinya kewajiban pemenuhan modal inti minimum sebesar Rp3 triliun sebagaimana diatur oleh OJK. 

Hingga akhir September 2025, berdasarkan data publikasi neraca keuangan Bank NTT, kondisi permodalan menunjukkan bahwa modal disetor tercatat sebesar Rp2.138.108 juta, dan tambahan dana setoran modal sebesar Rp100.000 juta—yang berasal dari kerja sama Kelompok Usaha Bank (KUB) dengan Bank Jatim. 

Dengan demikian, total ekuitas Bank NTT baru mencapai sekitar Rp2,7 triliun, masih terdapat selisih sekitar Rp300 miliar dari ketentuan minimal yang dipersyaratkan.

Belum terpenuhinya modal inti bank NTT sampai saat ini mengundang pertanyaan publik akan komitmen dan profesionalitas OJK dalam menerapkan peraturan yang telah dihasilkanya. 

Secara fakta tidak menimbulkan goncangan kondisi perbankan, sehingga menjadi celah bagi jajaran direksi dan komisaris bank NTT untuk tidak serius memenuhi dan menaatinya.

Kerja sama melalui skema KUB dengan Bank Jatim pada dasarnya merupakan langkah strategis yang tepat untuk memperkuat struktur permodalan dan meningkatkan efisiensi operasional. 

Namun, fakta bahwa setoran Rp100 miliar dari Bank Jatim pada September 2025 belum mampu mengangkat posisi modal inti Bank NTT hingga batas Rp3 triliun menunjukkan bahwa langkah tersebut belum cukup efektif. 

Artinya, Bank NTT masih menghadapi pekerjaan besar dalam memenuhi ketentuan permodalan, baik melalui penambahan setoran modal dari pemegang saham daerah maupun melalui strategi bisnis yang mampu meningkatkan laba ditahan secara signifikan.

Keterlambatan pemenuhan modal inti bukan hanya persoalan administratif, melainkan juga menyangkut daya saing dan kelangsungan bisnis bank daerah. 

Bank dengan modal inti yang belum memenuhi ketentuan OJK berpotensi mengalami keterbatasan dalam pengembangan produk, pembukaan jaringan, serta penyaluran kredit skala besar. 

Dalam jangka panjang, hal ini dapat menghambat kemampuan Bank NTT untuk bersaing dengan bank-bank umum lainnya, bahkan dengan sesama bank pembangunan daerah (BPD) yang telah lebih dahulu memenuhi ketentuan modal inti.

Antara Kepatuhan, Stabilitas, dan Kepercayaan Publik

Kedua isu ini, kepemimpinan yang bersifat sementara dan belum terpenuhinya modal inti, menunjukkan bahwa Bank NTT sedang berada pada fase transisi kelembagaan yang krusial. 

Di satu sisi, pemegang saham dan manajemen perlu memastikan stabilitas operasional agar kegiatan intermediasi keuangan tidak terganggu. 

Di sisi lain, kepatuhan terhadap regulasi dan pemenuhan kewajiban modal adalah syarat mutlak untuk menjaga kepercayaan regulator dan masyarakat.

Kehati-hatian pemegang saham dalam menunggu keputusan OJK tentu dapat dimaklumi, karena proses fit and proper test memang harus dilakukan dengan cermat. 

Namun, kehati-hatian tersebut tidak boleh menimbulkan kesan stagnasi dalam tata kelola korporasi. 

Dalam dunia perbankan, kecepatan dalam mengambil keputusan strategis yang tetap mematuhi aturan adalah cerminan profesionalisme dan kematangan institusional.

Publik, terutama masyarakat NTT sebagai pemilik tidak langsung Bank NTT melalui pemerintah daerah, memiliki hak untuk mengetahui dan memahami arah kebijakan lembaga keuangannya. 

Oleh karena itu, transparansi komunikasi publik menjadi keharusan. Setiap keputusan penting, termasuk perpanjangan masa jabatan Plt maupun kerja sama permodalan, harus disampaikan dengan dasar hukum dan argumentasi yang jelas agar tidak menimbulkan spekulasi negatif di masyarakat.

Jalan ke Depan: Kepemimpinan yang Pasti, Modal yang Kuat

Ke depan, ada dua langkah mendesak yang perlu segera ditempuh oleh para pemegang saham dan regulator. 

Pertama, mempercepat penetapan Direksi definitif agar manajemen memiliki legitimasi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan strategis. 
Kepemimpinan yang definitif diperlukan untuk memastikan arah bisnis dan tata kelola berjalan konsisten, termasuk dalam negosiasi dan pelaksanaan kerja sama dengan pihak eksternal seperti Bank Jatim.

Dampak ikutan ketika status Plt Dirut yang terlalu lama bagi sebuah organisasi, apalagi perbankan, antara lain lemah dalam pengambilan keputusan strategis, ketidakjelasan akuntabilitas manajerial, dan dapat menimbulkan konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan strategis organisasi.

Kedua, merumuskan peta jalan (roadmap) pemenuhan modal inti Rp3 triliun yang realistis dan terukur. 

Roadmap tersebut harus mencakup strategi penambahan modal dari pemegang saham, optimalisasi aset produktif, serta peningkatan profitabilitas melalui efisiensi operasional. 

Keterlibatan aktif pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagai pemegang saham pengendali sangat penting, karena penguatan modal Bank NTT sejatinya merupakan investasi jangka panjang bagi pembangunan ekonomi daerah.

Bank NTT adalah simbol kemandirian ekonomi masyarakat Nusa Tenggara Timur. Di tengah kompetisi industri perbankan yang semakin ketat, menjaga kepatuhan terhadap regulasi dan memperkuat fondasi keuangan menjadi kunci utama keberlanjutan. 

Kepemimpinan yang kuat, tata kelola yang transparan, dan strategi permodalan yang jelas akan menjadi modal utama untuk membawa Bank NTT menjadi lembaga keuangan daerah yang tangguh, sehat, dan dipercaya publik. 

Namun, potensi itu hanya dapat diwujudkan bila kepemimpinan berjalan dengan kepastian dan struktur modal diperkuat sesuai ketentuan OJK.  

Penutup

Bank NTT sedang berada di fase transisi yang menentukan: antara memperkuat fondasi tata kelola dan menuntaskan pemenuhan modal inti sesuai regulasi OJK. 

Keputusan memperpanjang masa jabatan Plt Dirut hingga Februari 2026 dapat dipahami sebagai upaya menjaga stabilitas jangka pendek. 

Namun, langkah itu juga menuntut kehati-hatian agar tidak menimbulkan kesan bahwa kepatuhan terhadap regulasi dapat dinegosiasikan.

Ke depan, arah kebijakan Bank NTT harus menegaskan komitmen terhadap prinsip Good Corporate Governance, bahwa stabilitas manajemen, kepastian hukum, dan kekuatan modal bukanlah tujuan yang terpisah, melainkan satu kesatuan dalam menjaga keberlanjutan dan kredibilitas lembaga keuangan daerah. 

Pada akhirnya, masyarakat NTT menaruh harapan besar agar Bank NTT tidak sekadar menjadi “bank milik daerah,” tetapi sungguh menjadi “bank kebanggaan daerah”, sebuah lembaga keuangan yang dikelola dengan transparansi, disiplin regulasi, dan keberpihakan kepada kemajuan ekonomi rakyat.

Kini, yang dibutuhkan hanyalah satu kata kunci: kepastian. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved