Opini
Opini: Produksi Desa di Atas Ompreng Anak Sekolah
Program ambisius yang dirancang Presiden Prabowo Subianto bertujuan meningkatkan gizi anak sekolah di seluruh Nusantara.
Protein Hewani sebagai Penyangga Dapur MBG
Oleh: Sukarman Hadi Jaya Putra
Dosen di Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nusa Nipa, Maumere. Aktif dalam meneliti isu-isu terapan di bidang biologi, lingkungan, pangan dan pengembangan sumber daya lokal yang berkelanjutan.
POS-KUPANG.COM - Hiruk pikuk pagi mulai terdengar di salah satu dapur mitra Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kota Maumere, Kabupaten Sikka.
Seorang ketua tim dibantu puluhan rekan mempersiapkan bahan baku, seperti telur dan daging yang tersimpan di salah satu ruangan yang dilengkapi dengan kotak pendingin.
Aroma harum masakan menyeruak ke seluruh ruangan dapur. Namun, di balik aroma sedap itu, ada pertanyaan besar yang terselip.
Dari mana datangnya semua protein hewani itu, dan seberapa lama waktu penyimpanannya supaya tetap layak dan sehat untuk dikonsumsi?
Pertanyaan sederhana ini menjadi masalah utama yang ada dalam program MBG. Ketersediaan dan keberlanjutan bahan baku protein hewani.
Baca juga: BREAKING NEWS: 80 Anak SMA Manda Elu Sumba Barat Daya Dilarikan ke RS, Diduga Keracunan MBG
Program ambisius yang dirancang Presiden Prabowo Subianto bertujuan meningkatkan gizi anak sekolah di seluruh Nusantara.
Selain manajemen logistik yang baik, tetapi yang paling utama adalah sistem produksi protein hewani yang tepat dari hulu ke hilir.
Protein hewani dalam ilmu biologi gizi berada pada posisi paling vital dikarenakan kandungan asam amino esensial yang tidak ada dalam protein nabati.
Senyawa yang berperan dalam membentuk jaringan tubuh, sel otak, dan sistem kekebalan tubuh.
Dampak kekurangan protein hewani di masa pertumbuhan seperti anak-anak sekolah dapat berakibat vatal pada perkembangan otak dan produktivitas di masa depan.
Ironisnya, pemenuhan konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih tergolong sangat rendah.
Laporan terbaru pada tahun 2024, Data Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat tingkat konsumsi protein hewani masyarakat hanya mencapai 59 gram/hari/kapita.
Proporsi protein hewani baru 45 persen yang terpenuhi. Sedangkan negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia sudah melewati 70 gram/hari/kapita.
Atas dasar inilah, maka sudah selayaknya protein hewani dijadikan sebagai penyangga dapur MBG.
Langkah strategis yang perlu dilakukan adalah perlunya kemandirian bahan baku dan sinergi lintas sektor seperti peternak dan nelayan di daerah pinggiran perlu dilibatkan.
Potensi besar yang dimiliki Indonesia seperti sektor peternakan rakyat yang berada di daerah-daerah pinggiran adalah penyumbang protein hewani.
Masyarakat sudah terbiasa beternak ayam kampung, itik, kambing, dan ikan dalam skala domestik.
Potensi ini harus ditangkap oleh pemerintah dan dijadikan sebagai rantai pasok dapuk MBG.
Daripada harus bergantung pada pemasok besar yang berasal dari kota yang membutuhkan biaya distribusi yang tinggi.
Pemerintah di setiap daerah harus menjalin kerja sama dengan kelompok ternak atau kelompok wanita tani, koperasi dan BUMDes.
Tentunya dengan adanya kerja sama ini maka pasokan telur dan daging ayam, ikan, dan susu untuk MBG bisa bersumber dari produsen lokal.
Tentunya kualitas terjamin, segar, murah dan dapat meningatkan pendapatan perekonomian daerah atau desa.
Permasalahan lain juga muncul yakni harga pakan yang terus meningkat juga berdampak pada kuantitas dan kualitas produk yang dihasilkan. Sekitar 70 persen biaya produksi berasal dari pakan.
Lebih pahitnya lagi, sebagian besar bahan baku pakan bersumber dari impor, seperti jagung, bungkil kedelai dan tepung ikan.
Dilema terjadi ketika harga pakan semakin merangkak, harga telur dan daging juga melejit.
Saya sebagai seorang akademisi di bidang biologi yang berfokus pada ketahanan pangan, melihat perlu adanya inovasi dalam pengembangan pakan lokal berbasis sumber daya hayati.
Limbah pertanian seperti dedak padi, daun legum, atau tepung singkong dapat difermantasi menjadi pakan bergizi.
Selain itu, limbah perikanan dari by product seperti tulang, kepala dan jeoran juga memiliki kandungan bernutrisi tinggi sebagai pakan alternatif unggas.
Sehingga kemandirian pakan bukan hanya sebatas teknis, melainkan strategi biologis nasional dengan cara mengurangi ketergantungan impor dan memastikan pasokan protein hewani tetap stabil untuk menyuplai dapur MBG.
Dapur MBG tidak hanya menangani masalah ketersediaan bahan baku protein hewani, tetapi juga menjaga mutu dan keamanan pangan.
Sifat dari protein hewani yang rentan terhadap pembusukan dan kontaminasi mikroba.
Dapur MBG juga harus memenuhi standar hiegenis yang ketat. Oleh karena itu, diperlukan keterlibatan pihak akademisi baik dari perguruan tinggi dan Lembaga penelitian untuk ikut mendampingi masyarakat dalam penerapan standar keamanan pangan.
Dengan adanya kerja sama dalam pengawasan yang tepat, maka kita bisa memastikan program MBG dapat memberikan makanan yang bergizi dan aman untuk tumbuh kembang anak bangsa.
Sesungguhnya, program MBG merupakah gerakan biologis sekaligus ekonomis. Secara biologi, program ini memperkuat kesehatan dan kecerdasan anak bangsa.
Sedangkan secara ekonomi, program ini membuka rantai pasok baru untuk menghubungkan produsen desa dengan konsumen nasional.
Jika dikelola secara baik, maka MBG dapat menjadi penggerak pembangunan pedesaan.
Peternak, petani pakan, pengolah hasil ternak, dan bahkan ibu rumah tangga yang bekerja di dapur MBG adalah bagian dari ekosistem gizi bangsa.
Oleh karena itu, cita-cita besar dari program ini bukan hanya sekadar pembagian menu bergizi, tetapi adalah membentuk ekosistem pangan hewani yang berkelanjutan.
Saat anak-anak Indonesia menikmati seompreng sajian MBG, nasi, sayur dan lauk hewani hasil produksi dari mereka sendiri. Di sanalah MBG menemukan makna sejatinya.
Program ini bukan sekedar urusan perut dan gizi, tetapi sesuatu yang lebih mulia yaitu investasi biologis untuk membangun bangsa yang sehat, kuat dan bermartabat karena telah mampu berdaulat dalam pangan.
Sebagai mahasiswa doktor diologi sekaligus sebagai dosen biologi, saya memiliki keyakinan kuat bahwa masa depan bangsa kita ditentukan bukan hanya dari kecerdasan otak, tetapi juga dari apa yang ada di dalam ompreng sajian makan siang anak-anak sekolah hari ini.
Dalam sajian itu, protein hewani menjadi penopang cita-cita luhur Indonesia. Mandiri dalam pangan dan berdaulat dalam gizi. (*)
Simak terus artikel POS-KUPANG.COM di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Sukarman-Hadi-Jaya-Putra.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.