Opini
Opini: Ketika Bangsa Mencari Pahlawan
Menghargai pahlawan berarti bukan hanya mengenang nama, tetapi menjaga nilai yang mereka perjuangkan.
Oleh: Zefirinus Kada Lewoema
Kandidat PhD dalam bidang Knowledge, Technology and Innovation pada Wageningen University and Research, The Netherlands, awardee International Fellowship Program (2007-2009), dan LPDP-RI.
POS-KUPANG.COM - Setiap 10 November, bangsa Indonesia berhenti sejenak untuk mengingat mereka yang pernah berdiri di garis paling depan sejarah. Hari Pahlawan bukan sekadar upacara atau seremonial.
Ia adalah ruang hening dalam memori nasional ketika kita bertanya-tanya, “Siapa yang telah memberikan jejak bagi tanah tempat kita berdiri ini? Apakah kita telah menjaga nilai yang mereka titipkan?”
Dalam keseharian, kata pahlawan hadir dalam banyak konteks: “pahlawan keluarga,” “pahlawan tanpa tanda jasa,” hingga peringatan halus seperti “jangan jadi pahlawan kesiangan.”
Baca juga: Prabowo Tetapkan 10 Pahlawan Nasional pada 2025
Kata itu terasa berat, mengandung harkat dan kewibawaan moral. Soekarno pernah menegaskan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.
Menghargai pahlawan berarti bukan hanya mengenang nama, tetapi menjaga nilai yang mereka perjuangkan.
Menurut KBBI, Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran (KBBI).
Keberanian itu tidak berdiri sendiri; ia berpijak pada kebenaran dan pengorbanan.
Kata Pahlawan; Dari “Buah” Perjuangan hingga Sosok Pelindung
Secara populer dijelaskan bahwa kata pahlawan berasal dari bahasa Sanskerta phala-wan, phala berarti buah dan wan berarti orang.
Beberapa rujukan literatur pembelajaran seperti Pandhegajaya.com menafsirkan ini sebagai “orang yang menghasilkan buah”, yakni mereka yang menghadirkan hasil nyata bagi masyarakat.
Dalam tradisi Yunani, kata hero berasal dari ἥρως (hērōs), sosok pelindung atau pembela komunitas.
Etymonline.com menelusuri jalur sejarah kata ini dari Yunani, Latin, Prancis, hingga Inggris. Intinya serupa: pahlawan adalah pelindung nilai dan kehidupan bersama.
R.A. Kartini pernah menulis dalam kumpulan surat-suratnya; Door Duisternis tot Licht, melalui kegelapan menuju cahaya, yang akhirnya lebih populer di Indonesia dengan kalimat habis gelap terbitlah terang.
Ia menunjukkan bahwa pahlawan juga lahir melalui gagasan, pendidikan, dan keberanian moral, bukan hanya senjata.
Pahlawan dalam Sejarah Indonesia
Sejarah bangsa melahirkan berbagai bentuk kepahlawanan: pahlawan nasional, pahlawan perintis kemerdekaan, pahlawan revolusi, pahlawan reformasi, hingga pahlawan pembangunan.
Dari pertempuran bersenjata hingga pertempuran ide, dari perlawanan diplomatik hingga perjuangan sosial, kita belajar bahwa kepahlawanan
adalah jawaban moral terhadap tantangan zaman.
Mengapa Mereka Disebut Pahlawan?
Pahlawan bukan gelar yang jatuh dari langit. Ia adalah pilihan etis, bukan kebetulan.
Mereka sanggup menghadapi risiko demi orang lain; sebagaimana dicatat Franco dkk., (2011) bahwa tindakan heroik selalu berhadapan dengan physical peril or social sacrifice, ancaman fisik atau pengorbanan bagi orang-orang lain.
Mereka juga mengorbankan kepentingan pribadi, sebagaimana dijelaskan Condren (2019) bahwa pahlawan kerap menanggung kerugian status, ekonomi, bahkan risiko penangkapan atau kematian.
Mereka tetap teguh pada nilai meski tidak populer. Frisk (2019) menegaskan bahwa pahlawan adalah sosok yang stands out morally against dominant norms, berdiri tegak secara moral melawan aturan atau kebiasaan yang umum diterima oleh masyarakat.
Seluruh keberanian itu bermuara pada dampak nyata bagi masyarakat. Temuan Sun, Igou & Kinsella (2023) menunjukkan bahwa motivasi kepahlawanan selalu mengarah pada civic engagement, aksi nyata bagi peradaban, bukan sekadar niat baik.
Nelson Mandela pernah mengatakan, “Pahlawan sejati adalah mereka yang memilih perdamaian daripada perang.”
Sementara itu, Napoleon Bonaparte mengingatkan, “Keberanian bukan berarti tidak takut, melainkan kemampuan menaklukkan rasa takut itu.”
Pada prinsipnya, pahlawan adalah hasil dari keputusan moral yang konsisten, bukan sekadar momentum sejarah.
Pahlawan di Era Kini: Dari Desa hingga Ruang Digital
Tantangan bangsa hari ini bukan penjajahan fisik, tetapi polarisasi, disinformasi, ketidakadilan, kerusakan lingkungan, hilangnya integritas publik, ketimpangan desa-kota, dan terpinggirkannya kearifan lokal.
Karena itu, pahlawan tidak hanya hadir di podium kenegaraan. Mereka tumbuh di desa, sawah, hutan, sungai, dan pekarangan kecil, tempat kehidupan rakyat berdenyut.
Kepahlawanan masa kini dapat ditemui pada petani yang menjaga benih lokal dan kedaulatan pangan; pemuda yang pulang kampung membangun ekonomi desa;
penyuluh pertanian yang setia mendampingi petani kecil;
Tokoh adat yang menjaga hutan dan sumber air; perempuan desa yang menyimpan pengetahuan benih dan pangan; komunitas yang membangun koperasi; akademisi yang merawat pengetahuan tradisional sambil membumikan inovasi modern; serta guru desa yang menyalakan literasi.
Bahkan pejabat desa yang jujur mengelola dana publik adalah pahlawan pada zamannya.
Melayani orang lain, seperti diingatkan Mahatma Gandhi; adalah cara terbaik menemukan diri sendiri.
Di Indonesia, pengabdian itu sering hadir dalam bentuk paling sederhana: mengairi sawah sebelum matahari terbit, memperbaiki jalan desa secara gotong-royong, menjaga mata air, menanam pohon, menghidupkan kembali lumbung pangan, atau sekadar memastikan sesama tidak kelaparan.
Dari kerja yang senyap itulah bangsa ini bertahan dan masa depan tumbuh.
Kepahlawanan hari ini mungkin tidak viral, tetapi ia abadi, karena dilakukan dengan ketulusan dan kesetiaan pada tanah air.
Pahlawan; Cermin Moral Bangsa
Hari Pahlawan bukan nostalgia belaka. Ini adalah cermin moral bangsa. Apakah kita masih menjaga nilai yang mereka titipkan, atau hanya mengutip namanya?
Bung Karno mengingatkan, “Jadikanlah hidupmu setitik api, yang mampu mengusir gelap, walaupun hanya sekelilingmu.”
Kita mungkin bukan api besar namun kita selalu bisa menjadi cahaya kecil; di kota, di desa, di sawah, di ruang kelas, di kantor, dan di
ruang digital.
Kepahlawanan bukan tujuan; ia adalah cara hidup, pilihan untuk hadir, memberi, dan menjaga nilai. Sisanya, biarlah sejarah yang menilai. (*)
Simak terus berita atau artikel opini POS-KUPANG.COM di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Zefirinus-Kada-Lewoema1.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.