Opini

Opini: Neka Hemong Kuni agu Kalo- Salinan Kerinduan dalam Mimbar Filosofis

Secara gramatikal, ungkapan neka hemong kuni agu kalo, berarti ‘jangan pernah lupa dengan kecintaanmu terhadap tanah air

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI WENSIS JANDI
Wensis Jandi 

Namun, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Manggarai tahun 2024 yang mencapai sekitar 342 ribu jiwa, maka diperkirakan sekitar 4 persen penduduk Manggarai memilih menetap di perantauan. 

Mereka tersebar di berbagai daerah, terutama di Bali, Kalimantan, dan Papua, serta sebagian kecil di luar negeri seperti Malaysia dan Timor Leste.

Data ini memperlihatkan, bahwa fenomena perantauan bukan sekadar pilihan ekonomi, melainkan juga sebuah perjalanan eksistensial: mencari kehidupan. Namun, kadang kehilangan arah untuk kembali. 

Maka, muncul pertanyaan getir dari keluarga di kampung: Mengapa ia begitu lama di sana? Apakah ia tidak memperhatikan nasib kita di sini? 

Apakah ia sudah melupakan kita?  Atau apakah dia tidak tahu jalan untuk pulang?  

Lirik lagu dan ungkapan ini menegaskan pesan sederhana dan mendalam: “neka hemong kuni agu kalo ” ‘jangan pernah lupa dengan kecintaanmu terhadap tanah air dan kerinduan terhadap kampung halaman’. 

Secara leksikal, neka  berarti  jangan,  hemong berarti lupa, kuni berarti tali pusat manusia, dan  kalo berartinya pohon dadap berduri yang lazim ditanam di tengah-tengah compang atau mezbah adat.

Dari kacamata filsafat  pesan neka hemong (jangan lupa) menyentuh  sisi paling dalam  dari hakikat manusia sebagai makhluk yang mudah lupa.  

Manusia pada hakikatnya cenderung untuk lupa, dan mudah sekali dikelabui untuk lupa. 

Karena itu perjuangan untuk melawan lupa harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari hal yang paling elementer sekalipun.  

Gabriel Garcia Marquez  pernah mengatakan, di satu pihak betapa mudahnya manusia itu lupa, sementara di lain pihak, betapa susahnya manusia ingat atau memperoleh kembali ingatannya. 

Dalam tradisi filsafat Plato, mengingat itu berkenaan dengan apa yang disebutnya sebagai anamnesis. 

Menurut Plato, sebelum berada di dunia fana ini, jiwa manusia pernah ber-preeksistensi di alam baka dalam hal ini jiwa dapat memandang secara langsung ide-ide yang merupakan intisari asali dari segala hal material yang fana ini, jiwa tak dapat memandang lagi ide-ide itu. 

Jiwa lupa akan dunia ide-ide itu.  Asumsi publik khususnya masyarakat Manggarai terhadap para perantau yang yang tidak pulang-pulang ke kampung halamanya, jatuh pada pemahaman skeptis, bahwa ia tidak lagi mengingat pesan neka hemong kuni agu kalo karena berbagai alasan di tanah perantau yang mempengaruhi dan menghalangi pikirannya untuk lupa. 

Tidak sampai di sini, selanjutnya bagi Plato ada obat manjur untuk menyembuhkan lupa yakni dengan melakukan anamnesa artinya mengingat dan mengenang kembali dunia ide-ide. 

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved