Opini

Opini: Potensi Cacat Hukum dalam Penetapan Tersangka Nadiem Makarim

Timbul pertanyaan serius mengenai dasar hukum dan prosedur formil yang digunakan dalam penetapan tersebut.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI FAKHLUR
Fakhlur 

Dengan kata lain, secara yuridis, penetapan tersangka hanya sah apabila dilandasi bukti permulaan yang cukup yang diperoleh pada tahap penyidikan, bukan berdasarkan hasil penyelidikan yang hanya berfungsi sebagai tahap awal untuk memastikan keberadaan suatu peristiwa pidana.

Lebih lanjut, penetapan tersangka tanpa memenuhi syarat bukti yang memadai merupakan tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan asas legalitas, asas kepastian hukum, prinsip equality before the law, serta asas in dubio pro reo, sehingga praperadilan hadir sebagai instrumen konstitusional untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan. 

Preseden yurisprudensi juga menunjukkan hal serupa, seperti dalam kasus Budi Gunawan (PN Jaksel No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.) di mana hakim menyatakan penetapan tersangka tidak sah karena tidak memenuhi syarat bukti, serta kasus Hadi Poernomo (PN Jaksel No. 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.) yang membatalkan penetapan tersangka akibat cacat formil dan material. 

Dari perspektif kerangka berpikir hukum, pemenuhan sekurang-kurangnya dua alat bukti merupakan suatu keharusan yang memiliki landasan yuridis yang kokoh.

1. Dari sudut asas legalitas, setiap tindakan penegak hukum harus berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan. Prinsip nulla poena sine lege menegaskan bahwa tidak ada seorang pun dapat dipidana tanpa adanya dasar hukum yang jelas. 

Dalam konteks ini, Pasal 184 KUHAP secara tegas mensyaratkan adanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga pengabaian terhadap ketentuan tersebut sama dengan mengingkari hukum itu sendiri sekaligus melanggar prinsip legalitas dalam hukum pidana. 

2. Dari perspektif asas kepastian hukum dan keadilan, hukum pidana tidak boleh dijadikan instrumen untuk menekan atau merugikan individu tanpa dasar bukti yang jelas dan memadai. 

Asas ini selaras dengan prinsip equality before the law yang menjamin setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum, serta asas in dubio pro reo yang menghendaki agar setiap keraguan dalam pembuktian harus ditafsirkan demi kepentingan terdakwa. 

Dengan demikian, terpenuhinya dua alat bukti bukan hanya syarat formil, melainkan juga jaminan substansial agar proses peradilan berjalan adil, transparan, dan tidak menyimpang dari tujuan hukum itu sendiri.

3. Berdasarkan asas perlindungan hak asasi manusia, keberadaan standar pembuktian minimum menjadi mekanisme penting untuk mencegah potensi kriminalisasi maupun penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum. 

Dalam konteks ini, hak-hak tersangka juga dijamin melalui mekanisme praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP, yang memberikan ruang bagi tersangka untuk menguji sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, maupun penetapan status tersangka. 

Dengan demikian, prinsip dua alat bukti bukan hanya persoalan teknis dalam pembuktian, melainkan juga merupakan jaminan fundamental atas tegaknya hukum yang adil, sekaligus bentuk perlindungan konstitusional terhadap hak-hak individu dari tindakan sewenang-wenang aparat.

Hukum Publik Administrasi

Prinsip tersebut menjadi semakin relevan apabila dikaitkan dengan kasus pengadaan Chromebook yang dijadikan dasar penetapan Nadiem Makarim sebagai tersangka. 

Pada hakikatnya, pengadaan tersebut merupakan bagian dari tindakan hukum publik administratif, bukan perbuatan pidana. 

Dalam doktrin hukum administrasi negara, pejabat pemerintahan diberikan kewenangan untuk menggunakan diskresi kebijakan (beleid discretion) dalam menjalankan tugas pemerintahan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 

Diskresi ini merupakan instrumen sah untuk menjawab kebutuhan konkret masyarakat dan memenuhi hak konstitusional warga negara atas pendidikan sebagaimana dijamin dalam Pasal 31 UUD 1945.

Sejalan dengan itu, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) menegaskan bahwa setiap keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan harus berlandaskan pada Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), antara lain asas kepastian hukum, asas kemanfaatan, asas kecermatan, dan asas kepentingan umum. 

Oleh karena itu, apabila terdapat dugaan penyimpangan dalam implementasi kebijakan pengadaan Chromebook, mekanisme penyelesaiannya seharusnya ditempuh melalui jalur administratif, yakni audit BPK, evaluasi kebijakan, atau pengawasan inspektorat, bukan melalui kriminalisasi pejabat publik.

Lebih lanjut, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan juga bertujuan memberikan kepastian hukum bagi pejabat pemerintahan dalam menjalankan tugasnya, sekaligus menegaskan pemisahan ranah hukum administrasi dari hukum pidana. 

Pemisahan ini ditegaskan melalui Pasal 21 UU AP yang memberikan kewenangan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menentukan ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan atau tindakan pejabat pemerintahan. 

Artinya, forum yang tepat untuk menguji dugaan penyalahgunaan wewenang dalam kebijakan pengadaan Chromebook adalah PTUN, bukan peradilan pidana.

Dengan demikian, menempatkan kebijakan publik yang bersifat administratif sebagai dasar penetapan tersangka jelas merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum, karena telah mengaburkan batas yurisdiksi antara hukum administrasi dan hukum pidana. 

Tindakan tersebut tidak hanya bertentangan dengan prinsip due process of law, tetapi juga melanggar asas ultimum remedium, di mana hukum pidana hanya boleh digunakan sebagai upaya terakhir ketika instrumen hukum lain telah terbukti tidak memadai.

Oleh sebab itu, dalam situasi ketika penetapan tersangka dilakukan tanpa memenuhi standar minimum pembuktian dan bahkan mendasarkan diri pada kebijakan administratif yang sah, maka pengajuan praperadilan bukan sekadar pilihan, melainkan menjadi sebuah keharusan. 

Praperadilan berfungsi sebagai instrumen konstitusional untuk menguji keabsahan tindakan aparat penegak hukum, sekaligus memberikan perlindungan yuridis terhadap hak-hak individu agar tidak dikorbankan oleh tindakan sewenang-wenang. 

Dengan demikian, praperadilan hadir sebagai mekanisme yang tidak hanya menjamin tegaknya prinsip legalitas, kepastian hukum, dan keadilan, tetapi juga memastikan bahwa hukum pidana tidak disalahgunakan untuk tujuan di luar semangat penegakan hukum yang adil. 

Apabila dikabulkan, putusan praperadilan tersebut akan menjadi langkah yang tepat demi menjaga integritas sistem peradilan pidana, mencegah kriminalisasi kebijakan publik, dan memastikan bahwa penegakan hukum berjalan sesuai dengan prinsip negara hukum (rule of law) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

 

Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved