Opini

Opini: Potensi Cacat Hukum dalam Penetapan Tersangka Nadiem Makarim

Timbul pertanyaan serius mengenai dasar hukum dan prosedur formil yang digunakan dalam penetapan tersebut.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI FAKHLUR
Fakhlur 

Kedua pasal tersebut sama-sama mengandung unsur “dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara” yang, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006, harus dimaknai bahwa kerugian negara wajib dibuktikan secara nyata serta harus dapat dihitung oleh ahli di bidang keuangan negara, perekonomian negara, maupun ahli yang mampu menganalisis hubungan kausal antara perbuatan seseorang dengan timbulnya kerugian negara. 

Dengan demikian, tanpa adanya pembuktian kerugian negara yang sah dan pasti, unsur delik dalam pasal yang disangkakan menjadi tidak terpenuhi secara hukum.

Tak Terima SPDP

Selanjutnya apabila diduga benar Kejaksaan Agung menetapkan NM sebagai tersangka pada 4 September 2025 bertepatan dengan keluarnya SPRINDIK, tetapi hingga kini NM tidak pernah menerima SPDP, maka terdapat persoalan serius terkait sah atau tidaknya proses penyidikan. 

Pertama, sesuai dengan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, penyidik wajib memberitahukan kepada penuntut umum dimulainya suatu penyidikan. 

Kewajiban tersebut kemudian dipertegas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015, yang menyatakan bahwa SPDP juga wajib disampaikan kepada tersangka dan korban dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya perintah penyidikan. 

Artinya, tidak disampaikannya SPDP kepada tersangka merupakan bentuk pelanggaran prosedur hukum acara pidana. 

Kedua, secara logika hukum, jika tersangka tidak menerima SPDP, maka ia kehilangan hak fundamental untuk mengetahui dasar penyidikan terhadap dirinya. 

Akibatnya, hak membela diri (right to defense) menjadi terlanggar, karena tersangka tidak mendapat kesempatan yang adil untuk menyiapkan pembelaan sejak awal.

Penetapan tersangka seharusnya dilakukan dalam tahap penyidikan, sebab penyidikan merupakan proses pro justitia yang memberi kewenangan kepada penyidik untuk mengumpulkan bukti, menentukan tersangka, serta melakukan upaya paksa apabila diperlukan. 

Dengan demikian, apabila penetapan tersangka dilakukan pada saat masih berada dalam tahap penyelidikan, maka tindakan tersebut tidak hanya bertentangan dengan KUHAP, tetapi juga berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap asas legalitas, asas kepastian hukum, serta prinsip due process of law. 

Selain itu, penyelidik secara hukum tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan tersangka, karena kewenangan itu baru lahir pada tahap penyidikan dengan syarat minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. 

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU/XII/2014 tersebut memberikan kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta agar memenuhi asas lex certa dan lex stricta dalam hukum pidana terhadap frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup.

Oleh karena itu, secara argumentatif dapat ditegaskan bahwa penetapan tersangka yang hanya didasarkan pada hasil penyelidikan merupakan bentuk penyimpangan prosedural. 

Tindakan demikian dapat dikualifikasi sebagai cacat hukum karena mengaburkan batas yang telah ditetapkan oleh KUHAP antara penyelidikan dan penyidikan. 

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved