Opini
Opini: Potensi Cacat Hukum dalam Penetapan Tersangka Nadiem Makarim
Timbul pertanyaan serius mengenai dasar hukum dan prosedur formil yang digunakan dalam penetapan tersebut.
Sebagaimana dituangkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 65/PUU-IX/2011, yang pada halaman 30 menyatakan, “...filosofi diadakannya pranata Praperadilan yang justru menjamin hak-hak Tersangka/Terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia;”.
Dengan kata lain, Praperadilan itu adalah untuk menjamin hak Tersangka, Terdakwa dari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum.
Tiga Perspektif
Penetapan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi periode 2019–2024, Nadiem Makarim (NAM), sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi program digitalisasi pendidikan melalui pengadaan laptop Chromebook tahun 2019–2022, yang diduga melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, serta diklaim menimbulkan kerugian keuangan negara sekitar Rp1,98 triliun.
Timbul pertanyaan serius mengenai dasar hukum dan prosedur formil yang digunakan dalam penetapan tersebut.
Keraguan itu cukup beralasan apabila dikaitkan dengan fakta empiris bahwa kebijakan pengadaan Chromebook pada dasarnya merupakan langkah strategis pemerintah dalam menjawab kebutuhan pendidikan nasional.
Pertama, dari perspektif anggaran. Chromebook lebih ekonomis dibandingkan perangkat konvensional, sehingga sejalan dengan keterbatasan alokasi dana pendidikan.
Kedua, dari aspek implementasi. Teknologi berbasis cloud yang melekat pada Chromebook memungkinkan efisiensi distribusi sekaligus mempercepat realisasi program, terutama dalam konteks darurat pandemi COVID-19.
Ketiga, dari segi relevansi kebutuhan. Spesifikasi Chromebook dinilai cukup memadai untuk mendukung pembelajaran daring secara luas.
Berikutnya persoalan yuridis mengenai keabsahan alat bukti, bahwa dalam hukum pidana Indonesia, penetapan tersangka wajib didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sebagaimana dipertegas dalam ketentuan pasal 1 butir 14 KUHAP dan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 halaman 109 yang berbunyi frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup sebagaimana ditentukan Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 45 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.
Lebih jauh, klaim kerugian negara Rp1,98 triliun tidak ditopang oleh hasil audit resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), padahal Pasal 23E UUD 1945 juncto Pasal 1 angka 1 UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menegaskan bahwa BPK adalah lembaga negara yang berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Hal ini juga dipertegas melalui Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, yang dalam rumusan hukum keenam menyatakan bahwa instansi lain tidak memiliki kewenangan untuk mendeklarasikan kerugian negara.
Selaras dengan itu, Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor menegaskan bahwa kerugian negara harus nyata dan pasti jumlahnya berdasarkan temuan instansi berwenang, sehingga klaim sepihak tidak dapat dijadikan dasar sah dalam penetapan tersangka.
Apabila dikaitkan dengan pasal yang disangkakan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara dapat dipidana, sedangkan Pasal 3 menegaskan bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang menyalahgunakan kewenangan juga dapat dipidana.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.