Oleh: M.N. Aba Nuen
Guru SMAN Kualin Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Sektor pendidikan di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir berkembang sangat dinamis.
Ragam kebijakan prioritas pemerintah diluncurkan melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi yang kini berganti nama menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.
Di era Mendikbudristek Nadiem Makarim, jargon Merdeka Belajar meliputi beberapa program turunan yang popular seperti kurikulum merdeka, sekolah penggerak dan pendidikan guru penggerak.
Kini, wajah baru Kemendikdasmen yang dipimpin Abdul Muti membangun brand baru dengan sejumlah program unggulan, salah satunya adalah pendekatan pembelajaran mendalam (deep learning).
Baca juga: Opini: Memahami Deep Learning
Kerangka kerja deep learning dikembangkan oleh Michael Fullan, Joanne Quinn dan Joanne McEachen dalam buku mereka Deep Learning-Engage the World Change the World (2018).
Fullan, Quinn dan McEachen membaginya dalam empat lapisan kerangka. Lapisan pertama terdiri atas enam kompetensi global atau delapan dimensi profil lulusan dalam konteks Indonesia.
Fullan dan rekannya menulis “deep learning is the process of acquiring these six global competencies: character, citizenship, collaboration, communication, creativity, and critical thinking. These competencies encompass compassion, empathy, socio-emotional learning, entrepreneurialism, and related skills required for high functioning in a complex universe” (hal. 44).
Secara purposive, deep learning merupakan sebuah pendekatan belajar yang digunakan agar murid-murid dapat mencapai enam kompetensi global, yakni karakter, kewarganegaraan, kolaborasi, komunikasi, kreativitas, dan berpikir kritis yang identik dengan kemampuan abad ke-21.
Di Indonesia, enam kompetensi ini diadopsi menjadi delapan dimensi profil lulusan yang meliputi keimanan dan ketaqwaan, kewargaan, kolaborasi, komunikasi, kreativitas, penalaran kritis, kemandirian, kesehatan.
Modifikasi dilakukan pada kompetensi karakter menjadi keimanan dan ketaqwaan serta tambahan dua kompetensi yakni kemandirian dan kesehatan.
Untuk mewujudkan delapan dimensi profil lulusan, transformasi penting yang perlu dilakukan adalah dengan memfasilitasi pembelajaran yang memicu rasa ingin tahu murid (inquiry learning) merangsang kerja kognisi (activating cognitive) dan mengaplikasikan pengetahuan dalam kehidupan (applying knowledge).
Dari proses seperti ini, murid akan memiliki pemahaman yang mendalam terhadap pengetahuan yang dipelajari, mengaitkannya dengan kehidupan nyata dan merefleksikan nilai-nilainya.
Kerangka lapis kedua adalah prinsip pembelajaran, yang mencakup berkesadaran (mindful), bermakna (meaningful) dan menggembirakan (joyful).
Prinsip berkesadaran mengacu pada kesadaran murid, untuk mempelajari suatu pengetahuan dan urgensinya dalam kehidupan sehari-hari.
Kesadaran ini dapat menumbuhkan motivasi intrinsik murid, dan meregulasi diri terkait budaya belajarnya.
Murid, pada akhirnya memiliki kemampuan metakognisi, yakni kemampuan mengatur dan mengendalikan proses kognitif untuk merancang strategi, mengawal kemajuan dan menilai capaian belajarnya.
Selanjutnya prinsip bermakna, berkaitan dengan nilai kebermanfaatan pengetahuan yang dipelajari murid, dan kemampuan menerapkan pengetahuan dalam kehidupan nyata.
Kemudian prinsip menggembirakan, merujuk pada pengkondisian iklim belajar positif yang menantang, menyenangkan, apresiatif, dengan porsi keterlibatan murid yang besar.
Partisipasi aktif murid dalam pembelajaran, dapat tergambar dalam tiga variable yakni adanya ruang untuk mengekspresikan pemikiran (voice), kebebasan menentukan pilihan dalam belajar (choice), dan tumbuhnya rasa memiliki proses pembelajaran (ownership).
Ini adalah manisfestasi dari kepemimpinan murid dalam pembelajaran (student agency).
Salah satu ciri pembelajaran yang berpusat pada murid, adalah mengakomodir kepemimpinan murid dalam prosesnya.
Pendekatan deep learning yang dilaksanakan dengan prinsip berkesadaran, bermakna dan menggembirakan, diharapkan akan memberikan pengalaman belajar murid dalam tiga tingkatan siklus.
Ketiga siklus tersebut yaitu memahami, mengaplikasikan dan merefleksikan pengetahuan yang telah dipelajari. Inilah lapisan ketiga dari kerangka kerja deep learning.
Pada lapisan keempat, Fullan, Quinn dan McEachen menyertakan empat elemen kerangka kerja untuk mendukung penerapan pendekatan deep learning.
Empat elemen tersebut meliputi praktik pedagogis (pedagogical practices), kemitraan pembelajaran (learning partnerships), lingkungan pembelajaran (learning aenvironments) dan pemanfaatan digital (leveraging digital).
Praktik pedagogis berkaitan dengan pilihan strategi mengajar guru untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Kemitraan pembelajaran mencakup relasi guru, murid, orang tua dan komunitas yang relevan untuk menumbuhkan kolaborasi.
Lingkungan pembelajaran mengakomodir eksplorasi ruang fisik, virtual dan budaya belajar murid.
Pemanfaatan digital, relevan dengan eksplorasi fungsionalitas teknologi dalam pembelajaran, untuk memberikan pengalaman belajar bermakna bagi murid.
Variabel deep teaching
Merujuk pada kerangka kerja deep learning, maka faktor kunci yang berperan penting adalah kemampuan guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran.
Kemampuan mengeksekusi perangkat ajar merupakan bagian dari kemampuan
mengajar secara mendalam (deep teaching).
Kemampuan deep teaching memungkinkan guru untuk merangsang sisi intelektualitas, emosional dan spiritualitas murid secara mendalam.
Deep teaching menjadi semacam prasyarat bagi terciptanya prinsip belajar yang berkesadaran, bermakna dan menggembirakan, untuk mengkonstruksi pengetahuan dan pengalaman belajar murid pada level memahami, menerapkan sampai merefleksikan nilai-nilai pengetahuan tersebut.
Dengan kata lain, deep teaching adalah jembatan titian menuju pengalaman belajar murid yang mendalam.
Menurut Ary Ginanjar Agustian, eksplorasi intelektualitas murid dapat dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan, agar murid mampu berpikir lebih mendalam dan melahirkan pola atau terobosan baru.
Menurutnya, murid bukanlah ember yang diisi, tetapi api yang dinyalakan, dan pemantiknya adalah pertanyaan-pertanyaan produktif untuk mengaktifkan kerja kognisi murid.
Pada titik ini, kepiawaian guru sebagai pemandu proses pembelajaran merupakan variabel krusial.
Deep learning tanpa deep teaching, bagi saya adalah sebuah keniscayaan. Guru, perlu memadukan keduanya karena memiliki hubungan sebab akibat yang erat. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News