Oleh: Heryon Bernard Mbuik
Dosen PGSD FKIP Universitas Citra Bangsa Kupang - Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menghadirkan realitas pendidikan yang kompleks: kondisi geografis terpencar, keterbatasan sumber daya, sekaligus kekayaan budaya lokal yang kuat.
Model manajemen pendidikan yang efektif di SD di NTT tidak bisa hanya mengikuti pendekatan seragam nasional; ia mesti adaptif, partisipatif, dan menjadikan konteks lokal sebagai pondasi utama.
Model Kontekstual Berbasis Budaya Lokal: Relevansi dan Implementasi
Pendekatan berbasis budaya lokal sudah terbukti meningkatkan kualitas pembelajaran.
Meski belum ada riset spesifik tentang SD di NTT, studi di daerah lain seperti Papua menyimpulkan bahwa integrasi budaya lokal dalam proses belajar meliputi materi dan metode belajar mampu meningkatkan partisipasi anak dan memperkuat identitas budaya sejak usia dini.
Di tingkat lebih umum, strategi manajemen pendidikan berbasis kearifan lokal sudah diterapkan secara sistematis.
Di Aceh Timur, misalnya, kepala sekolah merancang program pendidikan berbasis budaya lokal dengan tiga fungsi utama manajerial: perencanaan (ikut partisipatif komunitas), pelaksanaan (tim kerja, kolaborasi masyarakat), dan pengawasan (menjaga kualitas pelaksanaan) semuanya disinergikan melalui gaya kepemimpinan yang fleksibel: demokratis, otokratis, atau paternalistik sesuai situasi.
Bagi NTT, pendekatan tersebut sangat relevan karena budaya lokal entah sentuhan musik tradisional, bahasa daerah, atau nilai gotong-royong bisa menjadi sumber kekuatan pembelajaran.
Gotong-royong, misalnya, sebagai etos sosial yang melekat di berbagai komunitas Indonesia, dapat diterjemahkan ke dalam pengelolaan sekolah yang kolaboratif.
Pendidikan Karakter dan Budaya Belajar: Fondasi dalam Grand Design NTT
Menurut dokumen Grand Design Pendidikan dan Kebudayaan NTT (2020–2030), penanaman budaya belajar dan pendidikan karakter harus berbasis keteladanan guru.
Karakter seperti kasih sayang, kreativitas, dan kegigihan (grit) menjadi modal utama.
Guru atau kepala sekolah berkewajiban menerapkan nilai-nilai sopan-santun, menghargai moral dan hukum dalam setiap pembelajaran, serta menciptakan suasana demokratis seperti kesepakatan kelas (class agreement);
Penilaian karakter yang rinci dan mendetail, dan suasana kelas yang mendukung diskusi terbuka serta penolakan terhadap tindakan kekerasan atau bullying.
Inisiatif seperti “Budaya Belajar” ini bukan sekadar retorika misalnya, SD Abdi Kasih Bangsa (SAKB) di NTT telah berhasil menanamkan budaya belajar melalui keteladanan guru dengan prinsip kasih sayang, kreativitas, dan ketangguhan.
Literasi, Parenting, dan Kebudayaan: Tiga Elemen Sinergis
Grand Design NTT juga menekankan penguatan literasi, numerasi, dan karakter melalui berbagai strategi konkrit:
a. Pelatihan berkelanjutan (KKG/MGMP) untuk meningkatkan kompetensi pedagogis guru.
b. Program literasi budaya di sekolah dan keluarga seperti penggunaan pakaian adat, disiplin positif.
c. Program “English Day” di sekolah.
d. Pemanfaatan dana desa untuk Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dan program parenting serta kader literasi desa.
Yang menarik, penerapan literasi budaya dan parenting berbasis komunitas memperkuat peran sekolah sebagai pusat komunitas belajar mendorong kerjasama antara guru, orang tua, dan tokoh lokal.
Kepemimpinan Kepala Sekolah: Katalisator Adaptasi Kontekstual
Literatur menunjukkan bahwa modal kepemimpinan khususnya instructional leadership tentu menjadi faktor penentu dalam transformasi pendidikan.
Di Bandung, kepala sekolah yang menerapkan kepemimpinan instruksional dan mendorong keterlibatan orang tua meningkatkan capaian siswa, meski menghadapi tantangan seperti waktu terbatas dan minimnya dukungan orang tua.
Model semacam ini relevan juga untuk NTT. Kepala sekolah yang menerapkan gaya pembelajaran partisipatif melibatkan komunitas, merancang kurikulum kontekstual, dan memonitor pelaksanaan akan menciptakan ekosistem pembelajaran yang efektif dan inklusif.
Tantangan Khas NTT: Infrastruktur, Distribusi Guru, dan Kesenjangan Akses
Beberapa tantangan nyata perlu diakui:
- Mutu pendidikan NTT cenderung rendah dan stagnan sejak era 1970-an hingga saat ini, tercermin dari peringkat terendah dalam ujian nasional (UN) tahun 2007/2008.
- Model pembelajaran di beberapa wilayah masih konvensional, guru mendominasi kelas, dan siswa hanya hafal tanpa memahami makna materi tematik.
- Tantangan distribusi guru, akses internet, dan logistik masih nyata menurut pengalaman daerah terpencil, guru enggan ditugaskan ke pelosok karena fasilitas minim, sementara siswa terkendala buku dan koneksi.
Rekomendasi Model Manajemen Pendidikan SD Berbasis Konteks NTT
Berdasarkan analisis di atas, berikut beberapa rekomendasi konkret: Pertama, kurikulum kontekstual menjadi kebutuhan mendesak.
Integrasi cerita rakyat, bahasa daerah, dan praktik budaya lokal ke dalam pembelajaran akan membuat siswa lebih dekat dengan materi ajar sekaligus menjaga identitas budaya mereka.
Dalam praktiknya, keterlibatan tokoh adat, seniman, dan orang tua sangat penting untuk menjamin relevansi konten.
Kedua, penguatan pendidikan karakter harus diterjemahkan dalam praktik nyata, bukan sekadar slogan.
Implementasi class agreement berbasis nilai gotong-royong, rubrik penilaian karakter, dan keteladanan guru dalam membangun kasih sayang, kreativitas, serta disiplin menjadi instrumen kunci.
Nilai-nilai ini sejalan dengan arah Grand Design Pendidikan dan Kebudayaan NTT 2020–2030 yang menempatkan pendidikan karakter sebagai fondasi.
Ketiga, pelibatan komunitas adalah pilar penting. Sekolah dasar harus dipandang sebagai pusat komunitas belajar, bukan sekadar lembaga formal.
Pemanfaatan dana desa untuk mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM), program parenting, serta kegiatan literasi budaya dapat memperkuat sinergi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Keempat, kepemimpinan instruksional kepala sekolah menjadi katalisator transformasi.
Kepala sekolah tidak hanya mengurus administrasi, tetapi berperan sebagai fasilitator pengembangan kurikulum lokal, pembina guru melalui supervisi kelas dan lesson study, serta penggerak partisipasi masyarakat.
Kelima, perbaikan infrastruktur dan kesejahteraan guru harus ditempatkan sebagai prioritas kebijakan. Tanpa insentif yang memadai, sulit mendorong guru bertugas di daerah terpencil.
Penyediaan tunjangan khusus, transportasi alternatif, perluasan akses internet, dan distribusi buku bacaan secara merata merupakan langkah strategis agar proses belajar mengajar berjalan efektif.
Roadmap 5–10 Tahun: Dari Bertahan Menuju Berkembang
Agar rekomendasi tersebut tidak berhenti sebagai wacana, dibutuhkan roadmap yang realistis dan terukur.
a. Jangka Pendek (1–2 Tahun): Fokus pada pemanfaatan sumber daya lokal yang ada. Sekolah dapat mulai mengintegrasikan cerita rakyat ke dalam pembelajaran tematik, membangun class agreement, serta menghidupkan TBM dengan dukungan dana desa.
Kepala sekolah dilatih sebagai instructional leader untuk memastikan kualitas pembelajaran.
b. Jangka Menengah (3–5 Tahun): Pemerataan distribusi guru dan peningkatan kapasitas mereka menjadi prioritas.
Pemerintah daerah bersama pusat perlu memperkuat insentif guru di pelosok, menyediakan pelatihan berkelanjutan, serta membangun akses internet di wilayah terpencil. Program parenting dan literasi budaya diperluas ke tingkat kabupaten/kota.
c. Jangka Panjang (6–10 Tahun): Konsolidasi sistem pendidikan berbasis budaya dan komunitas.
Kurikulum kontekstual dijadikan kebijakan permanen, kepala sekolah berperan sebagai motor inovasi, dan sekolah dasar menjadi pusat ekosistem literasi serta pendidikan karakter.
Pada tahap ini, diharapkan capaian literasi, numerasi, dan karakter siswa di NTT setara atau bahkan melampaui rata-rata nasional.
Kesimpulan
Model manajemen pendidikan dasar di Nusa Tenggara Timur (NTT) harus berpijak pada konteks lokal.
Tantangan struktural seperti keterbatasan infrastruktur, distribusi guru, dan rendahnya capaian literasi hanya dapat diatasi melalui pendekatan yang integratif: kurikulum berbasis budaya lokal, penguatan pendidikan karakter melalui keteladanan, pelibatan komunitas sebagai mitra, serta kepemimpinan instruksional kepala sekolah sebagai penggerak utama.
Tren peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT yang mencapai 69,14 pada tahun 2024 menunjukkan adanya ruang perbaikan yang nyata.
Namun, agar transformasi pendidikan tidak berhenti pada perbaikan angka, diperlukan konsistensi kebijakan dan sinergi antara sekolah, komunitas, dan pemerintah daerah.
Dengan memanfaatkan potensi budaya dan sosial sebagai modal, serta memperkuat tata kelola berbasis partisipasi, pendidikan dasar di NTT berpeluang bergerak dari tahap bertahan (surviving) menuju berkembang secara bermakna (thriving). (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News