Opini

Opini: Memoar Pater Wolters, Sang Poliglot yang Membangun Jembatan Peradaban 

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pastor Johannes Wolters, SVD ( 6 September 1907 - 15 April 1940).

Oleh: Ignasius Sara, S.Fil
Mantan jurnalis, tinggal di Sumba - Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Perjalanan panjang misi Katolik di Pulau Sumba sejak tahun 1889 hingga saat ini memiliki serpihan-serpihan kisah yang dapat diringkas untuk menjadi catatan sejarah dan patut diabadikan dalam kenangan. 

Pada masa sebelum Indonesia merdeka, dalam kurun antara tahun 1934 sampai dengan 1940, ada seorang misionaris Societas Verbi Divini (SVD) yang amat populer di Weetebula, Sumba bagian barat. Namanya Pater Johannes Wolters, SVD. 

Ia merupakan seorang misionaris Societas Verbi Divini asal Ginneken-Belanda yang berkarya dalam waktu yang relatif singkat di Weetebula-Indonesia. Enam tahun lamanya. 

Baca juga: Pastor Markus Solo Kwuta SVD, Bintang Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia 

Pater Wolters meninggal dunia setelah sempat dirawat selama seminggu karena infeksi saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh bakteri difteri di sebuah rumah sakit di Waikabubak, Sumba Barat pada Senin 15 April 1940 pukul 15.30 Wita. 

BERSAMA MURID - Pater Johannes Wolters, SVD bersama murid-murid sekolah misi Katolik di Weetebula, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. (DOKUMEN SOCIETAS VERBI DIVINI)

Saat itu, ia berusia 32 tahun. Pater Wolters dikebumikan di tempat pemakaman umum Katolik yang terletak di kaki bukit bagian selatan dari rumah pastoran Paroki Roh Kudus Weetebula, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.

Pater Wolters lahir pada tanggal 6 September 1907 dan ditahbiskan menjadi imam Societas Verbi Divini pada 29 Januari 1933. 

Ia diutus oleh pimpinan regional Societas Verbi Divini yang berkedudukan di Ende-Flores untuk melakukan karya misi di Sumba. Pater Wolters tiba di daerah itu pada tanggal 1 Februari 1934. 

Pater Wolters Sang Polyglot

Pater Wolters belajar bahasa Indonesia di Todabelu, Mataloko-Flores sejak bulan Oktober sampai dengan Desember 1933. 

Selama periode itu, ia perlahan menguasai bahasa Indonesia. Kemudian, ia mendapatkan tugas untuk melakukan karya misi di Weetebula-Sumba dalam sebuah rapat Dewan Regional di Ende-Flores pada tanggal 10 Desember 1933.

Pada saat memulai misi di Sumba, Pater Wolters mempelajari bahasa Loura, yaitu salah satu bahasa lokal di daerah tersebut. Ia dengan cepat menguasai bahasa Loura. 

Pater Wolters juga dikenal sebagai pribadi yang mudah bergaul dan cepat beradaptasi dengan masyarakat di tempat misi. 

Konon ia juga mengajarkan bahasa Indonesia dan bahasa lokal kepada Pater Piet de Zwart, SVD. 

Misionaris yang baru tiba di Sumba itu dibimbing oleh Pastor Wolters dalam kurun antara tahun 1937 sampai dengan 1938. 

Selain mahir dalam memahami, menulis serta berbicara menggunakan bahasa lokal dan bahasa Indonesia yang baik dan benar, Pater Wolters juga menguasai lagu-lagu rakyat Loura. 

Rekan Pater Wolters yang juga berkarya di Sumba kala itu, Bruder Arnold Streng, SVD memberikan kesaksian, “Pater Jan Wolters luar biasa dapat bergaul dengan orang-orang. Ia sangat dicintai.  

Ia juga dapat belajar bahasa dengan cepat dan menggunakan dengan baik bahasa Sumba. Ia mempunyai bakat menyanyi. Dalam waktu yang singkat ia mampu menyanyikan lagu-lagu Sumba bersama mereka”. 

Pater Wolters adalah sang poliglot, yakni seorang yang mampu berbicara, menulis, dan membaca lebih dari satu bahasa asing. 

Seorang poliglot tidak hanya menguasai bahasa, tetapi juga seringkali memiliki pemahaman mendalam tentang budaya dan kebiasaan orang-orang yang menggunakan bahasa tersebut.

Selama berkarya di Sumba, salah satu kegiatan Pater Wolters adalah memberikan bimbingan rohani berupa retret kepada orang-orang muda, para guru, dan murid-murid pada sekolah serta asrama milik misi Katolik. 

MAKAM - Makam Pater Johannes Wolters, SVD di tempat pemakaman umum Katolik Weetebula, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. (DOKUMEN PRIBADI IGNASIUS SARA)

Ia memberikan materi bimbingan dengan menggunakan bahasa Indonesia yang lugas dan dapat dipahami. Alhasil, orang-orang mengalami kesegaran dan semangat iman yang luar biasa setelah mengikuti retret. 

Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa sebuah majalah dengan nama Bintang Timur memberitakan pada saat itu, “Banyak dari pemuda-pemuda itu, juga karena rumahnya jauh, kadang-kadang satu tahun lebih tidak pergi ke gereja. Tetapi sesudah retret, banyak yang lalu pada hari Minggu rajin pergi ke gereja di Weetebula”.

Pendiri Sekolah dan Guru yang Profetis

Sejak tiba pertama kali di Sumba, Pater Wolters melakukan terobosan-terobosan karya misi dalam bidang pendidikan. 

Ia berkontribusi dalam mendirikan sekolah-sekolah baru, mendidik para katekis, dan memperbaharui peraturan asrama sekolah di Weetebula. 

Meskipun Pater Wolters adalah seorang misionaris asal Belanda, tetapi sekolah-sekolah yang berada dalam pengawasannya tidak terkooptasi dengan kepentingan Pemerintah Hindia Belanda. 

Ia mendirikan beberapa Sekolah Rakyat (baca: Sekolah Dasar) di wilayah itu. Sebagian besar murid adalah anak-anak di beberapa kampung yang terletak di pelosok Sumba bagian barat. Mereka belajar membaca, menulis, dan menghitung. 

Kelak, para murid tersebut adalah generasi awal yang mengisi kemerdekaan Republik Indonesia setelah Proklamasi dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945. 

Salah satu sekolah yang mengalami kemajuan signifikan setelah ditangani oleh Pater Wolters adalah Vervolgschool di Weetebula. 

Vervolgschool adalah sekolah lanjutan dari sekolah rakyat (Volksschool) yang dikelola oleh misi Katolik. 

Lama masa belajar di Vervolgschool yang dilengkapi dengan asrama itu adalah tiga tahun. 

Para murid belajar banyak pengetahuan dari guru-guru yang diawasi langsung oleh Pater Wolters. 

Selain itu, Pater Wolters juga mengajar di Vervolgschool tersebut dan mengawasi beberapa Sekolah Rakyat milik misi Katolik di sekitar Weetebula.  

Kesaksian salah satu misionaris Societas Verbi Divini yang berkarya di Sumba saat itu, Pater Heinrich Limbrock, SVD juga mengungkapkan sosok Pater Wolters. 

Empat bulan setelah ia tiba di Sumba, Pater Limbrock menulis surat kepada pimpinan Societas Verbi Divini di Roma-Italia pada tanggal 21 Juni 1934. 

“Di Sumba ada kemajuan. Itu semua berkat rahmat dan pertolongan Tuhan. Sebuah sekolah yang kita rencanakan, besok Agustus sudah dapat dibuka. Di samping itu kita masih merencanakan satu sekolah lagi. Orang-orang mendesak kami secara resmi. Ketika mereka datang mengajukan permohonan, mereka juga membawa daftar 100 nama calon murid sekolah”, tulis Pater Limbrock. 

“Sejak tenaga imam yang kedua ada di sini, P. J. Wolters, orang-orang rupa-rupanya mengharapkan lebih banyak. Memang kita sekarang juga mampu mengadakan lebih banyak kegiatan. Kita dapat mempermandikan anak lebih banyak, karena ada kepastian lebih kuat, bahwa pendidikan Katolik akan lebih terjamin”, sambung Pater Limbrock.  

Selanjutnya, jumlah murid Vervolgschool di Weetebula meningkat menjadi 200 orang dalam kurun antara tahun 1936 sampai dengan 1940 di bawah pimpinan Pater Wolters yang populer. 

Ia sibuk mengajar dan membimbing anak-anak di asrama. Tak lupa, Pater Wolters juga memberikan semangat kepada mereka. 

Bersama Pater Limbrock, ia membuka Sekolah Latihan Pertanian di Weelonda. Hingga Mei 1942, kurang lebih ada 11 sekolah milik misi Katolik yang tersebar Weetebula dan sekitarnya dengan total jumlah murid sebanyak 1.000 orang. 

Sejumlah orang muda Sumba pun dikirim ke Flores untuk mengikuti pendidikan di beberapa sekolah milik misi Katolik yang ada di sana. Selain itu, ada juga yang mengikuti kursus pertukangan, tata busana, perbengkelan, dan lain-lain. 

Pada masa itu, Pater Wolters telah membangun jembatan peradaban untuk anak-anak di Sumba. Ia bukan hanya sekedar mendidik, tetapi mengantar mereka kepada situasi baru di luar Pulau Sumba.

Dalam diri Pater Wolters melekat spirit keguruan profetis yang menunjang pembentukan makna autentik dari pendidikan. 

Sejatinya, pendidikan adalah proses mengantar orang keluar dari kekerdilan dan ketidaktahuan menuju rasa percaya diri dan pengetahuan, dari penjara ketakutan menuju keberanian melangkah ke masa depan.

Melalui pendidikan, orang dibebaskan dari ikatan-ikatan primordial yang menjamin kepastian semu menuju kedewasaan pergaulan lintas batas.

Membuka Lapangan Kerja dan Balai Pengobatan

Pater Wolters bersama dua rekan misionaris lainnya menyewa tanah yang cukup luas milik pemerintah saat itu untuk digarap oleh alumni sekolah misi. 

Hal tersebut merupakan upaya untuk memberikan lebih banyak peluang kerja kepada mereka.  

Lebih dari setengah luas lahan tersebut digunakan untuk budidaya tanaman kapuk yang sangat menjanjikan kala itu. Kemudian, sisa lahan yang masih kosong difungsikan untuk budidaya tanaman hortikultura, padi, dan jagung. 

Periode awal perkebunan misi yang terletak di Weelonda itu sangat berhasil dan membantu perkembangan ekonomi masyarakat (baca: umat Katolik). 

Sementara itu, masing-masing alumni yang bekerja di perkebunan misi tersebut mendapatkan upah sebesar 25 gulden (baca: mata uang Belanda masa itu).

Tiga misionaris Societas Verbi Divini, termasuk Pater Wolters juga mendirikan semacam balai pengobatan. Banyak masyarakat yang datang berobat, termasuk orang-orang yang non-Katolik. 

Pater Wolters bersama rekan-rekannya sungguh memikirkan kesehatan rakyat, bukan hanya berfokus pada pendidikan dan peningkatan kehidupan ekonomi. 

Pater Wolters dalam Kesan Rekan-Rekan

Pengabdian Pater Wolters yang amat singkat di ladang misi Sumba meninggalkan jejak-jejak yang amat mengesankan bagi rekan-rekannya. 

Ada sebanyak tiga orang misionaris Societas Verbi Divini yang memiliki pengalaman perjumpaan dengan Pater Wolters selama enam tahun berkarya di Sumba. Mereka adalah Pater Limbrock, Pater de Zwart, dan Bruder Arnold.  

Pertama, Pater Limbrock yang memimpin para misionaris Societas Verbi Divini di Weetebula. 

Denyut kebahagiaan karena kehadiran dan gebrakan-gebrakan dalam dunia pendidikan yang dilakukan oleh Pater Wolters mendorong Pater Limbrock untuk menulis surat kepada pimpinan Societas Verbi Divini di Roma pada akhir Juni 1935. 

“Pada bulan Pebruari 1934 akhirnya kami dapat pembantu dalam diri Pater J. Wolters, seorang tenaga yang muda dan boleh diandalkan.  Kedatangannya memang sangat dibutuhkan. Sekarang semua berjalan jauh lebih lancar. Pada bulan Agustus dan September dua sekolah telah dapat dibuka, berkat kiriman bantuan dari Pater Jenderal.  Sekali lagi kami mengucapkan banyak terimakasih”, ungkap Pater Limbrock dalam surat tersebut.

Kedua, Pater de Zwart. Menurutnya, Pater Wolters memiliki peranan besar dalam kemajuan misi di Sumba saat itu. Ia menyemangati para murid Vervolgschool di Weetebula. Mereka juga diberikan petunjuk untuk menerapkan pengetahuan yang mereka dapatkan itu di kampung masing-masing. 

Ketiga, Bruder Arnold memberikan kesaksian setelah Pater Wolters wafat. Ia menulis demikian, “Apa yang telah dikerjakan oleh Pater Wolters di Sumba begitu hebat sehingga orang hampir tidak dapat percaya. Almarhum itu seorang misionaris sejati. Jarang saya melihat seorang misionaris seperti dia”.

Beberapa saat sebelum Pater Wolters menghembuskan napas terakhir, ia meminta semua orang yang hadir pada saat itu agar mendaraskan “Te Deum” setelah ia wafat. Menurut dia, doa tersebut adalah ungkapan syukur kepada Tuhan atas karunia ayah dan ibunya. 

Berkat kedua orang tua yang telah mendidik dan memupuk iman Katolik yang kokoh dalam dirinya sehingga ia bisa menjadi seorang misionaris sejati di Tanah Sumba. Terima kasih, Pater Wolters. Maringina. (*)    

Buku Referensi 

1. Ceritera Sejarah Gereja Katolik Sumba dan Sumbawa;

2. Orang-Orang Katolik di Indonesia 1808-1942. Jld. II;

3. Sejarah Gereja Katolik di Sumba dan Sumbawa.

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

        

Berita Terkini