POS-KUPANG.COM, KUPANG - FILM pendek “Ru’ Jara: The Journey Begins” adalah angin segar dari Nusa Tenggara Timur. Berlatar budaya lokal dan dialog penuh dalam bahasa Sabu, film ini bukan hanya karya fiksi, melainkan peristiwa kebudayaan.
Apresiasi Gubernur NTT dan Dinas Pariwisata patut dicatat, namun tantangannya bagaimana melangkah dari seremoni ke sistem yang nyata?
Bermodal dana patungan dan peralatan pribadi, Ru’ Jara menunjukkan potensi luar biasa sineas muda NTT.
Tetapi mereka tidak bisa terus dibiarkan berjalan sendiri. Pemerintah harus hadir dengan kebijakan berkelanjutan, dana hibah, pelatihan teknis hingga jaringan distribusi lokal.
Baca juga: FEATURE: Lewat Misi Mengalirkan Kebaikan, 1.380 KK di Adonara Rasakan Air Bersih
Langkah konkret dapat dimulai dari pemutaran gratis di kampung-kampung asal para pembuatnya yakni Kupang dan Sabu.
Ruang pemutaran publik seperti taman budaya, aula desa atau sekolah bisa disulap menjadi bioskop rakyat yang merayakan karya anak sendiri.
Lebih jauh festival film NTT sebaiknya benar-benar inklusif. Tidak sekadar menampilkan karya dari kampus atau kota, tetapi memberi panggung bagi komunitas film desa dan sineas amatir.
Keadilan akses menjadi kunci agar ekosistem ini tumbuh merata.
Genre post-apocalyptic yang dipilih bisa dibaca sebagai refleksi sosial: kehancuran dan harapan, dalam konteks NTT hari ini.
Baca juga: Gubernur NTT Apresiasi Film Pendek “Ru’Jara: The Journey Begins”
Ajakan kolaborasi dari pemerintah untuk proyek film lokal ke depan harus memberi ruang kreativitas penuh, bukan sekadar menjadikan anak muda sebagai pelaksana ide birokrasi.
Keberanian menggunakan bahasa Sabu adalah langkah penting dalam pelestarian budaya. Semoga ini membuka jalan bagi film-film berbahasa daerah lainnya di NTT.
“Ru’ Jara” telah memulai langkah. Kini giliran pemerintah dan masyarakat memastikan jalan itu tidak berakhir sepi.
Dan, kita memberikan apresiasi penuh kepada para sineas NTT yang sedang menyelenggarakan Flobamora Film Festival di Kota Kupang 5-9 Agustus 2025.
Festival seperti ini perlu dijadwalkan secara baik dan masuk agenda pemerintah melalui perencanaan program kerja secara sistematis sehingga menjadi agenda tahunan.
Hal tersebut penting dilakukan agar generasi muda maupun sineas di NTT merasa dihargai karya seni mereka.
Tentu persiapan untuk menyelenggarakan festival tidak sedikit menyita waktu dan tenaga serta materi.
Kita ketahui selama ini banyak karya anak NTT yang sukses di tingkat nasional maupun internasional, dan mereka berjuang sendiri demi sebuah kreativitas dan inovasi.
Baca juga: Flobamora Film Festival 2025, Rayakan Kalunga dengan Film Inklusif bagi Semua Kalangan
Pemerintah terkadang hanya tepuk dada di bagian akhir tanpa mengetahui proses berat yang dilewati bahkan berbalut di balik keterbatasan anggaran.
Kita hanya senang pukul dada membawa sambutan di mana-mana bahwa ada anak NTT yang membawa nama daerah ini ke kancah nasional maupun internasional tanpa ada sentuhan atau intervensi.
Jikapun ada anggaran yang diberikan biasanya sangat minim, sekadar biaya bensin atau nasi bungkus.
Lagi-lagi kita berharap festival film Fobamora maupun karya-karya para sineas asal NTT selama ini semoga bisa menarik banyak generasi muda maupun masyarakat NTT pada umumnya untuk mencintai film.
Seperti pepatah tak kenal maka tak sayang, begitupun dengan festival maupun para sineas NTT hendaknya selalu dan terus memperkenalkan film kepada masyarakat baik melalui diskusi, nonton bareng maupun media dan kegiatan lainnya yang agar masyarakat semakin dekat dan semakin mencintai film karya anak NTT.
Generasi muda dan masyarakat pada umumnya harus terus diedukasi agar memahami esensi perfilman. Bahwa film bukan sebuah karya seni semata, tetapi warisan berharga untuk anak dan cucu di masa depan. (*)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS