Oleh: Prof. Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum
Dosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, penulis Draft Naskah Nakademik Perda Pengelolaan Muro dan Kearifan Lokal Lainnya di NTT.
POS-KUPANG.COM - Pada 4 Agustus 2025, sebuah peristiwa penting terjadi di gedung DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Bukan sekadar seremoni birokrasi, penyerahan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah (Perda) inisiatif tentang “Pengelolaan Muro dan Kearifan Lokal Lainnya” oleh LSM Barakat dari Lembata adalah sebuah pernyataan sikap.
Di tengah deru krisis iklim global dan ancaman ketidakpastian pangan yang menghantui planet ini, NTT menawarkan sebuah jawaban yang berakar ribuan tahun dalam peradabannya: kearifan lokal.
Langkah yang diapresiasi dengan optimisme oleh pimpinan DPRD ini bukanlah sekadar upaya melestarikan budaya.
Baca juga: Lembata untuk NTT: dari Tradisi Muro ke Perda Konservasi Kawasan Pesisir
Ini adalah sebuah manuver strategis untuk memposisikan NTT bukan sebagai korban, melainkan sebagai pemimpin dalam solusi iklim dan pangan berbasis komunitas.
Usulan Perda ini adalah panggilan mendesak untuk melembagakan pengetahuan leluhur sebagai fondasi masa depan Flobamora yang berkelanjutan.
Urgensinya tidak bisa ditawar lagi, karena tekanan dan tuntutan global kini berada di depan mata kita.
Dari Krisis Global ke Kearifan Lokal
Dunia sedang tidak baik-baik saja. Laporan-laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) bukan lagi ramalan, melainkan catatan atas realitas yang kita jalani: suhu bumi yang terus memanas, permukaan laut yang naik, dan cuaca ekstrem yang memorak-porandakan tatanan kehidupan.
Salah satu dampak paling mengerikan dari krisis ini adalah kerapuhan sistem pangan global.
Ketika pola hujan menjadi tak menentu dan ekosistem terdegradasi, lumbung-lumbung pangan dunia terancam.
Di tengah kepanikan global mencari solusi teknologi canggih, kita sering kali melupakan jawaban yang tersimpan di halaman belakang rumah kita sendiri.
Masyarakat adat di berbagai penjuru NTT—di Lembata, Sumba, Belu, Ende, Kupang, Alor, dan lainnya—telah lama mempraktikkan sistem pengelolaan sumber daya yang cerdas.
Praktik seperti Muro, Magowo Libu Watu, Hakoro Ikan, Tiwu, Kebhu, Lilifuk, dan Hading Mulung bukanlah sekadar ritual.
Ia adalah sebuah sistem pengetahuan ekologis terapan yang mengatur hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Ketika dunia berbicara tentang Marine Protected Areas (MPA), masyarakat adat NTT telah menjalankannya selama berabad-abad melalui zona larangan adat.
Ketika para ilmuwan menyerukan pentingnya memberi jeda bagi ekosistem untuk pulih, masyarakat adat telah melakukannya melalui sistem buka-tutup musiman.
Inilah urgensi pertama dan utama dari Perda ini: memberikan pengakuan dan kekuatan hukum pada solusi yang sudah ada, teruji oleh waktu, dan dijalankan oleh para ahli sesungguhnya—masyarakat itu sendiri.
Peta Perjalanan Menuju Planet Biru: Sebuah Visi dari NTT
Untuk memahami betapa strategisnya Perda ini, kita perlu melihatnya dalam sebuah kerangka perjalanan besar yang menghubungkan aksi lokal dengan tujuan global.
Perjalanan ini memiliki tiga tahap yang saling menguatkan: dari fondasi ekologis Blue Carbon, menuju mekanisme berkelanjutan Blue Economy, dengan tujuan akhir sebuah Blue Planet yang sehat.
1. Fondasi Ekologis: Kekuatan Karbon Biru (Blue Carbon)
Langkah pertama dan paling fundamental dalam perjalanan ini adalah melindungi fondasi ekologis kita.
Di wilayah pesisir, fondasi ini adalah ekosistem blue carbon: hutan bakau (mangrove), padang lamun, dan terumbu karang.
Ketiga ekosistem ini adalah pahlawan tanpa tanda jasa dalam perang melawan perubahan iklim.
Hutan bakau, misalnya, mampu menyerap dan menyimpan karbon hingga empat kali lipat lebih efisien per hektarnya dibandingkan hutan hujan tropis.
Di sinilah peran kearifan lokal seperti Muro menjadi sangat vital. Dengan melarang penebangan mangrove, merusak terumbu karang, dan aktivitas destruktif lainnya di zona adat, masyarakat NTT secara de facto telah menjadi penjaga utama ekosistem blue carbon.
Praktik Muro di Lembata saja, misalnya, telah terbukti melindungi sekitar 1.850 hektar hutan bakau. Ini bukan lagi sekadar cerita budaya, ini adalah aksi iklim yang terukur.
Perda yang diusulkan akan memberikan legitimasi pada praktik-praktik ini, mengubahnya dari sekadar tradisi lisan menjadi aset kebijakan iklim provinsi.
Dengan melindungi fondasi blue carbon, NTT tidak hanya menjaga keanekaragaman hayati dan melindungi pesisirnya dari abrasi, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan bagi komitmen iklim Indonesia di panggung dunia.
2. Mekanisme Berkelanjutan: Ekonomi Biru (Blue Economy) sebagai Mesin Penggerak
Melindungi alam seringkali dibenturkan dengan kebutuhan ekonomi. Namun, kerangka perjalanan ini melihatnya secara berbeda: fondasi ekologis yang sehat adalah prasyarat mutlak untuk ekonomi yang berkelanjutan. Inilah esensi dari Blue Economy atau Ekonomi Biru.
Ketika ekosistem blue carbon terjaga, manfaat ekonomi akan mengikuti. Terumbu karang yang sehat menjadi magnet bagi ekowisata bahari berbasis komunitas, memberikan pendapatan langsung kepada masyarakat lokal.
Hutan bakau yang lestari menjadi tempat pemijahan ikan, udang, dan kepiting, yang pada akhirnya melimpah ruah di zona tangkap di sekitarnya.
Sistem buka-tutup Muro memastikan bahwa saat panen tiba, hasil tangkapan melimpah, ukurannya lebih besar, dan nilai jualnya lebih tinggi. Ini adalah ketahanan pangan dan kedaulatan ekonomi dalam satu paket.
Perda ini akan menjadi instrumen untuk memastikan bahwa mekanisme Ekonomi Biru ini berjalan secara adil.
Ia akan melindungi wilayah kelola masyarakat adat dari serbuan kapal-kapal besar dengan alat tangkap perusak.
Ia akan membuka ruang bagi pemerintah untuk mendukung pengembangan produk perikanan berkelanjutan yang bernilai tambah, serta mempromosikan pariwisata yang menghormati budaya dan ekologi.
Dengan demikian, konservasi tidak lagi dilihat sebagai beban, melainkan sebagai investasi cerdas untuk kesejahteraan jangka panjang.
3. Tujuan Akhir: Peran NTT dalam Mewujudkan Planet Biru (Blue Planet) yang Sehat
Fondasi ekologis yang kokoh (Blue Carbon), didukung oleh mesin ekonomi yang berkelanjutan (Blue Economy), akan membawa kita pada tujuan akhir: sebuah Blue Planet yang sehat dan berdaya tahan.
Ini adalah visi di mana kesehatan ekosistem dan kesejahteraan manusia tidak lagi menjadi dua hal yang saling bertentangan, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama.
Dengan melembagakan kearifan lokalnya, NTT dapat memposisikan diri sebagai laboratorium dan model bagi dunia.
Di saat banyak negara berjuang dengan pendekatan konservasi top-down yang mahal dan seringkali gagal, NTT dapat menunjukkan kekuatan pendekatan bottom-up yang berakar pada budaya.
Perda ini akan menjadi bukti bahwa komitmen global seperti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 14 (Kehidupan Bawah Air) dan SDG 13 (Aksi Iklim), dapat dicapai melalui pengakuan dan pemberdayaan pengetahuan lokal.
NTT, dengan segala tantangannya, memiliki kesempatan untuk menginspirasi. Untuk menunjukkan kepada dunia bahwa di dalam tradisi kuno tersimpan kunci untuk masa depan yang berkelanjutan.
Perda Muro: Kendaraan Yuridis untuk Perjalanan Kolektif
Peta perjalanan di atas adalah sebuah visi, dan setiap visi membutuhkan kendaraan untuk mewujudkannya.
Perda “Pengelolaan Muro dan Kearifan Lokal Lainnya” adalah kendaraan yuridis tersebut.
Tanpa payung hukum yang kuat di tingkat provinsi, praktik-praktik adat yang tersebar di ratusan desa pesisir akan tetap terfragmentasi, rentan terhadap tekanan ekonomi, dan seringkali tidak diakui dalam perencanaan pembangunan formal.
Perda ini akan berfungsi untuk:
- Memberikan Kepastian Hukum: Melindungi hak-hak masyarakat adat dalam mengelola wilayah mereka.
- Mengharmoniskan Kebijakan: Menciptakan sinergi antara berbagai praktik kearifan lokal di seluruh kabupaten/kota di NTT.
- Menguatkan Penegakan Hukum: Memberikan dasar bagi pemerintah provinsi untuk menindak tegas aktivitas ilegal yang mengancam wilayah kelola adat.
- Mengintegrasikan Kearifan Lokal: Memastikan bahwa pengetahuan adat menjadi pertimbangan utama dalam setiap kebijakan kelautan dan perikanan di NTT.
Penggunaan nama "Muro" sebagai ikon, sebagaimana diusulkan oleh LSM Barakat, adalah langkah branding yang cerdas.
Ia tidak menghapus nama atau keunikan tradisi lain, melainkan mengangkat satu istilah sebagai simbol pemersatu—sebuah panji bagi gerakan konservasi berbasis kearifan lokal di seluruh NTT.
Sebuah Pilihan Peradaban
Pada akhirnya, Rancangan Perda ini meletakkan sebuah pilihan fundamental di hadapan kita semua, khususnya para legislator di DPRD NTT.
Ini bukan lagi sekadar memilih antara konservasi dan pembangunan. Ini adalah pilihan peradaban. Apakah kita akan terus menempuh jalur pembangunan yang mengabaikan akar budaya dan merusak fondasi ekologis kita?
Ataukah kita akan berani berbalik arah, mendengarkan kembali bisikan para leluhur, dan mempercayai kearifan yang telah menjaga tanah dan air ini selama ribuan tahun?
Mengesahkan Perda tentang Pengelolaan Muro dan Kearifan Lokal Lainnya adalah sebuah penegasan bahwa masa depan NTT akan dibangun di atas kekuatan masa lalunya.
Ini adalah sebuah deklarasi bahwa di tengah dunia yang gamang, NTT memilih jalan kearifan, jalan keberlanjutan, dan jalan kemanusiaan yang menghormati alam sebagai ibu yang memberi kehidupan.
Ini adalah warisan terindah yang bisa kita berikan kepada anak cucu Flobamora: sebuah planet biru yang dimulai dari laut biru di halaman rumah kita sendiri. Semoga para wakil rakyat mendengar panggilan zaman ini. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News