Opini

Opini: Stunting Itu Tak Terlihat Tapi Menghancurkan NTT

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Jermi Haning

Oleh: Jermi Haning 
Warga Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Sebanyak 37,6 persen anak Nusa Tenggara Timur ( NTT) alami stunting. Itulah hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023. 

Artinya, lebih dari satu dari tiga anak balita di NTT mengalami stunting — gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis. Angka ini naik dibandingkan data tahun sebelumnya (35,3 persen), sekaligus menjadikan NTT sebagai provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia.

Di saat negara-negara maju sudah menekan angka stunting di bawah 10 persen, dan pemerintah pusat menargetkan angka nasional di bawah 14 persen pada tahun 2024,  NTT masih tertahan jauh di atas ambang batas aman WHO sebesar 20 persen. Ini bukan sekadar persoalan statistik — ini sinyal darurat pembangunan manusia.

Bom Waktu yang Tak Terlihat

Bayangkan ada bom waktu yang ditanam secara diam-diam dalam tubuh seorang anak sejak dalam kandungan. Tidak terdengar. Tidak terlihat. 

Tapi ketika meledak, dampaknya berlangsung seumur hidup: otak rusak, kecerdasan menurun, tubuh lemah, dan masa depan ikut roboh.

Itulah stunting — dan itulah yang masih terjadi di Nusa Tenggara Timur hari ini.

Setiap tahun, ribuan anak lahir dan tumbuh dengan kondisi kekurangan gizi kronis. Mereka tampak biasa saja, namun di dalam tubuhnya, proses tumbuh kembang telah terganggu secara permanen. 

Ini bukan sekadar soal tinggi badan, melainkan persoalan besar yang menyangkut kapasitas berpikir, daya tahan tubuh, hingga potensi produktivitas saat dewasa.

Data Tak Pernah Bohong

Selain SKI, data dari ePPGBM (Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat) juga mencatat penurunan angka stunting NTT dari 42,6 persen pada 2019 menjadi sekitar 35 persen pada 2024. 

Namun, data ini berbasis pada anak yang hadir di posyandu — hanya mencerminkan sebagian dari populasi balita.

Sebaliknya, SKI menggunakan metode acak stratifikasi dan mewakili seluruh populasi provinsi. Maka ketika angka SKI 2023 menyebut 37,6 persen anak NTT stunting, itu adalah cermin yang paling jujur. 

Jika tren ini terus berlanjut, NTT terancam gagal panen SDM pada 2045 — tahun yang seharusnya menjadi tonggak generasi emas.

Jika Dibiarkan, 2045 Akan Tetap Suram

Dengan laju penurunan stunting sekitar 1–1,5 persen per tahun seperti lima tahun terakhir, maka pada tahun 2030 prevalensinya diperkirakan masih sekitar 28 persen, dan pada 2045 mungkin baru menyentuh angka 20–22 persen — nyaris stagnan, dan tetap dua kali lipat lebih tinggi dibanding rata-rata nasional.

Itu berarti satu dari lima anak di NTT pada usia 100 tahun Indonesia Merdeka masih mengalami kerusakan otak akibat kekurangan gizi saat bayi. 

Apa artinya merdeka, kalau otak anak-anak kita tidak sempat tumbuh optimal sejak lahir?

Terlambat dan Salah Sasaran

Masalahnya bukan tak ada program. Masalahnya: salah sasaran usia.

Banyak program gizi baru menyasar anak usia 2–5 tahun, padahal kerusakan akibat stunting terjadi sebelum usia dua tahun, bahkan sejak dalam kandungan. 

Di masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), lebih dari satu juta koneksi saraf otak terbentuk setiap detik. Gizi buruk di masa ini tidak bisa diperbaiki oleh intervensi di kemudian hari.

Sayangnya, anggaran dan kebijakan masih fokus pada PAUD, pelatihan remaja, atau pemberian makanan tambahan di usia prasekolah. Akibatnya, biaya intervensi makin mahal, tapi hasilnya makin kecil.

Pelajaran dari Heckman: Investasi Dini, Imbal Hasil Maksimal

James J. Heckman, ekonom peraih Nobel, membuktikan bahwa investasi paling menguntungkan dalam pembangunan manusia ada pada usia dini.

Jika kita berikan Rp1 juta untuk ibu hamil, hasilnya akan jauh lebih besar dibanding jika diberikan saat anak sudah SD (butuh Rp3,3 juta untuk hasil yang sama), atau saat anak dewasa (butuh Rp10 juta dalam bentuk pelatihan kerja).

> Investasi Rp10 juta pada ibu hamil = Investasi Rp100 juta pada usia mahasiswa.

Kalkulasi ini berlaku universal, termasuk di NTT. Karena potensi otak manusia dibentuk di awal, bukan dikejar di belakang.

Saatnya NTT Fokus Total ke 1.000 HPK

Kalau kita sungguh-sungguh ingin memutus kemiskinan antargenerasi, maka seluruh perhatian dan anggaran harus dipusatkan pada masa emas ini.

Apa yang bisa kita lakukan?

  1. Bantu ibu hamil dan bayi dengan pangan bergizi seperti telur, ikan, dan susu, bukan sekadar imbauan.
  2. Aktifkan Posyandu sebagai pusat edukasi keluarga muda, bukan hanya timbang berat badan.
  3. Libatkan tokoh adat dan agama untuk meluruskan keyakinan dan tradisi keliru soal pemberian makanan bayi.
  4. Arahkan Dana Desa dan APBD ke gizi anak dan ibu hamil. Jalan bisa dibangun kemudian, tapi otak anak tidak bisa menunggu.

Jangan Bangun Masa Depan dari Reruntuhan

Stunting tidak berteriak. Ia tidak kelihatan. Tapi begitu anak-anak kita dewasa, dampaknya muncul: kecerdasan rendah, penghasilan rendah, dan kualitas hidup rendah.

Jika kita gagal mencegah stunting sebelum usia dua tahun, maka yang kita bangun bukan masa depan, tapi penyesalan jangka panjang. Jangan tunggu lagi. Fokuslah pada 1000 HPK — sebelum semua benar-benar terlambat. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

 

Berita Terkini