Oleh : Dr. Ir. Folkes E Laumal, S.T., M.T.
Dosen pada Departemen Teknik Elektro-Politeknik Negeri Kupang
Bidang keahlian: Kontrol dan Otomasi Cerdas berbasis Internet of Things
Email: folkeslaumal76@gmail.com
POS-KUPANG.COM - Modernisasi pertanian saat ini menjadi kata kunci dalam menjawab tantangan ketahanan pangan di era perubahan iklim. Kebutuhan ini menjadi semakin mendesak terutama di wilayah-wilayah yang memiliki karakteristik geografis dan iklim yang sulit diprediksi, serta sumber daya pendukung yang masih terbatas.Di wilayah-wilayah beriklim tropika, yang rentan kekeringan, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), pertanian tradisional menghadapi tekanan yang cukup berat akibat fluktuasi cuaca, degradasi sumber daya, dan keterbatasan sarana pendukung.
Namun di balik tantangan itu, terdapat sebuah peluang besar yang terbuka untuk melakukan lompatan melalui adopsi teknologi digital, salah satunya adalah Internet of Things (IoT). Teknologi ini dapat menjadi jembatan antara data, prediksi, optimasi dan pengambilan keputusan, serta aksi nyata pengelolaan lahan-lahan kering yang menantang. Bagaimana potensi ini dapat dioptimalkan untuk NTT?
1. Tantangan Pertanian Lahan Kering dan Pentingnya Transformasi Digital di NTT
Pertanian lahan kering di NTT, khususnya di Pulau Timor, menghadapi sejumlah tantangan struktural seperti musim kemarau yang panjang, curah hujan yang tidak merata, serta ketersediaan air irigasi yang masih terbatas.Keberadaan beberapa bendungan di wilayah Timor, Sumba, dan Flores memang telah memberikan kontribusi penting, namun pemanfaatannya belum optimal. Hal ini disebabkan oleh volume air yang masih relatif kecil dan proses integrasi distribusi air ke masyarakat yang masih dalam tahap pengembangan.Akibatnya, masyarakat petani masih sangat bergantung pada pola musim tanam konvensional, yang berdampak pada produktivitas pertanian yang cenderung stagnan atau hanya mengalami peningkatan yang sangat terbatas.
Dalam kondisi seperti ini, pengelolaan pertanian dengan cara-cara konvensional tidak lagi memadai. Diperlukan pendekatan baru yang mengintegrasikan penggunaan perangkat teknologi sebagai bagian dari solusi adaptif terhadap tantangan iklim dan sumber daya di wilayah lahan kering.
IoT menjadi salah satu terobosan penting untuk dimanfaatkan. Mengapa demikian?, karena teknologi IoT memungkinkan pemantauan kondisi lingkungansecara realtime, seperti suhu udara, kelembapan udara, kelembapan tanah, intensitas cahaya matahari, dan kecepatan angin, menggunakan sensor-sensor yang terhubung ke dalam jaringankomunikasi yang tidak terlihat (jaringan internet). Data dari sensor-sensor tersebut kemudian dapat digunakan sebagai dataset untuk melakukan prediksi dan optimasi sebagai referensi untuk mengatur sistem irigasi otomatis, memprediksi dan menentukan waktu tanam yang optimal, sekaligus jenis tanaman yang sesuai.
Semua ini menjadi fondasi untuk meningkatkan efisiensi dan adaptasi terhadap iklim yang ekstrem.
2. Peran Strategis Perguruan Tinggi dalam Mendorong Pertanian Cerdas
Meskipun teknologi tersedia, tingkat adopsi IoT di sektor pertanian NTT masih rendah. Kondisi ini terlihat dari masih banyaknya petani-petani di wilayah NTT yang belum terbiasa dengan penggunaan teknologi-teknologi pertanian berbasis sensor, jaringan data internet, maupun sistem irigasi otomatis. Di sisi lain, infrastruktur digital untuk layanan internet di pedesaan juga masih belum tersebar secara merata.
Perguruan-perguruan tinggi, terutama di bidang teknik elektro, teknik komputer, dan pertanian, memiliki peran penting sebagai penghubung antara teknologi dan masyarakat petani. Keterhubungan ini dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan riset terapan, pengabdian kepada masyarakat, dan pengembangan kurikulum ke arah smart agriculture. Sejumlah parameter konkrit yang dapat dilakukan oleh kampus-kampus vokasi dan akademik di NTT adalah sebagai berikut:
a. Sistem irigasi berbasis data sensor dan kontrol pompa secara otomatis.
b. Pengiriman data parameter lingkungan (dari sensor)melalui jaringan nirkabel (WiFi) atau jaringan LoRa ke aplikasi berbasis web atau mobile.
c. Integrasi machine learning seperti Artificial Neural Network (ANN), Convolutional Neural Network (CNN), Recurrent Neural Network (RNN) dan fuzzy logic(VL) untuk prediksi dan optimasi serta pengambilan keputusan kontrol yang berbasis data historis.
d. Transformasi ini tidak hanya menghasilkan teknologi yang tidak hanya otomatis, namun memilik kecerdasan (Artifical Intelegent) yang tentunya dapat meningkatkan sumber daya manusia yang kompeten dan peka terhadap kebutuhan daerah.
3. Integrasi Teknologi dan Kearifan Lokal sebagai Kunci Keberhasilan Transformasi
Penerapan teknologi pertanian di lahan kering, khususnya di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai konteks agroekosistem lokal. Tidak semua pendekatan teknis dapat diaplikasikan secara langsung tanpa melalui proses adaptasi yang matang. Oleh karena itu, pemahaman mengenai karakteristik tanah marginal, pola tanam lokal, dan siklus air mikro menjadi prasyarat sebelum teknologi pertanian cerdas dapat diimplementasikan secara optimal.
Dengan kata lain, pendekatan agroekologis dan nilai‑nilai kearifan lokal harus diintegrasikan secara sistematis dalam perancangan dan penerapan teknologi pertanian.Kearifan lokal yang dimaksud meliputi pola pengelolaan lahan dan irigasi yang diwariskan dari generasi ke generasi, seperti:
a) Tradisi pola tanam tumpangsari yang sesuai dengan daya dukung tanah dan pola curah hujan daerah setempat,
b) Pengetahuan lokal mengenai pola musim dan adaptasi tanaman, yang lahir dari pengalaman panjang para petani dalam memahami pola angin, waktu tanam, dan pola migrasi air tanah,
c) Praktik konservasi air dan tanah adat, seperti pembuatan terasering atau embung yang digunakan untuk mengurangi erosi dan meningkatkan daya resap air tanah,dan
d) Kelembagaan sosial pertanian lokal, termasuk kelompok tani dan ritual adat terkait pembukaan lahan maupun pemanenan, yang dapat dijadikan pintu masuk bagi implementasi teknologi pertanian cerdas.
Salah satu contoh penerapan prinsip pengelolaan berbasis kearifan dapat dijumpai di wilayah Amfoang, Kabupaten Kupang. Daerah ini telah lama mempraktekkan pola tanam tumpangsari jagung dan kacang tanah yang berbasis pada nilai‑nilai kearifan lokal. Para petani memahami pola musim dan daya simpan air tanah dengan baik, sehingga dapat mengatur pola tanam sesuai pola hujan dan struktur tanah.
Mereka juga memanfaatkan teknologi konservasi air berbasis pengalaman lokal, seperti pembuatan saluran-saluran air pada lahan miring untuk mencegah erosi dan meningkatkan daya resap air.Saat teknologi pertanian cerdas — seperti kontrol irigasi berbasis sensor — diterapkan di daerah ini, teknologi tersebut tidak akan berdiri sendiri, tetapi bekerja selaras dengan pola dan pengetahuan lokal yang sudah teruji oleh waktu.
Hasilnya adalah kalibrasi sensor dapat disesuaikan dengan pola tanam dan kebutuhan spesifik tanaman, sehingga kebutuhan air dapat dioptimalkan sesuai dengan kondisi lapangan. Demikian pula, teknologi irigasi tetes yang diterapkan dapat dikombinasikan dengan pola tumpangsari yang telah digunakan secara turun‑temurun, sehingga memungkinkan pemanfaatan air yang lebih efisien tanpa mengganggu pola kerja lahan yang telah ada.
Dampak positif dari penerapan teknologi ini bukan hanya terbatas pada efisiensi dan adaptasi pertanian lahan kering, tetapi juga pada pelestarian pola tanam yang diwariskan dari generasi ke generasi, sekaligus memberi nilai tambah dan daya saing bagi sistem pertanian daerah. Model Amfoang dapat dijadikan contoh bagi daerah lain di NTT bahwa teknologi pertanian cerdas dan kearifan lokal bukanlah pilihan yang saling bertentangan, tetapi dapat dikombinasikan untuk mewujudkan pertanian lahan kering yang berkelanjutan.
Selain itu, pendekatan teknik pertanian juga perlu dijaga agar tidak sepenuhnya digantikan oleh dominasi pendekatan teknik industri semata, yang belum sepenuhnya memahami dinamika pertanian dan pola adaptasi petani daerah. Oleh karena itu, perguruan tinggi pertanian di NTT perlu menghadirkan keilmuan di bidang teknik pertanian yang berpijak pada kebutuhan spesifik daerah tropika kering. Hal ini termasuk pendalaman pola tanam, teknologi irigasi hemat air, serta pola konservasi lahan yang dikembangkan dari pengalaman dan kearifan lokal para petani itu sendiri.
Kesimpulan
Transformasi pertanian lahan kering di wilayah NTT melalui IoT bukan sekadar urusan perangkat keras saja, tetapi lebih jauh, tentang bagaimana membangun jembatan antara pengetahuan, teknologi, dan komunitas petani. Dalam konteks ini, lembaga-lembaga pendidikan tinggi (vokasi maupun akademik), sangat berperan penting sebagai motor utama perubahan.
Agar transformasi ini berhasil, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan di wilayah NTT perlumeningkatkan pengembangan infrastruktur digital di pedesaan, mendukung pembaruan kurikulum-kurikulum di perguruan tinggi (teknik dan pertanian), termasuk ikut mendukung kegiatan-kegiatan riset terapan, pengabdian masyarakat dan penerapan inovasi. Dan yang tidak kalah penting adalah terus membantu upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan literasi teknologi di kalangan petani.
Dengan kolaborasi yang kuat antara akademisi, pemerintah, petani, dan sektor swasta, NTT memiliki peluang besar menjadi role modeldalam penerapan pertanian cerdas berbasis teknologi di wilayah beriklim kering. *
Oleh : Dr. Ir. Folkes E Laumal, S.T., M.T.
Dosen pada Departemen Teknik Elektro-Politeknik Negeri Kupang
Bidang keahlian: Kontrol dan Otomasi Cerdas berbasis Internet of Things
Email: folkeslaumal76@gmail.com
Baca berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE.NEWS