Oleh: Mario M. Suban Bahy
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandira, Kupang - Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Franz Magnis-Suseno pernah menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan partai politik yang benar-benar membela rakyat kecil.
Pernyataan ini bukan sekadar ajakan moral, melainkan peringatan terhadap kenyataan politik hari ini.
Sebab di tengah semarak demokrasi elektoral, partai-partai justru makin jauh dari denyut kehidupan rakyat yang paling rentan.
Mereka yang bekerja di ladang, pabrik, pasar, dan jalanan, tidak merasa memiliki perwakilan yang sungguh memahami nasib mereka.
Politik berjalan, tetapi kerap terasa sebagai panggung kekuasaan tanpa substansi keberpihakan.
Setiap lima tahun, rakyat diajak memilih. Namun setelah itu, mereka kembali menjadi penonton dari kejadian-kejadian politik yang tidak mereka pahami dan tidak mereka rasakan manfaatnya.
Kesejahteraan tidak datang, harga-harga terus naik, dan layanan dasar seperti pendidikan serta kesehatan tetap tidak mudah dijangkau.
Demokrasi memang berjalan secara prosedural, tetapi kehilangan makna substantifnya. Ketimpangan antara harapan dan kenyataan membuat rakyat semakin apatis.
Cara Kerja Partai Politik
Masalah utamanya adalah bagaimana partai-partai politik beroperasi. Sebagian besar tidak lagi berpijak pada ideologi atau nilai-nilai perjuangan, melainkan dijalankan layaknya korporasi yang mengejar kekuasaan dan keuntungan.
Kandidat dipilih bukan karena kapasitas atau integritas, tapi karena modal dan koneksi.
Agenda partai jarang menyentuh isu seperti upah layak, keadilan agraria, akses pendidikan, atau jaminan sosial.
Mereka lebih sering sibuk membahas kekuasaan, koalisi, dan posisi. Dalam sistem semacam ini, rakyat tidak punya banyak pilihan.
Tidak ada partai yang benar-benar mereka anggap mewakili suara dan kebutuhan mereka.
Akibatnya, banyak yang memilih untuk golput, atau memilih karena pragmatisme, bukan karena kepercayaan. Legitimasi demokrasi pun melemah.
Sistem yang semestinya membuka ruang partisipasi justru menjauhkan rakyat dari proses pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup mereka.
Rakyat kecil hanya muncul dalam slogan kampanye. Mereka dibutuhkan saat pemilu untuk memberi suara, lalu dilupakan begitu hasil diumumkan. Mereka dihitung, tapi tidak diperjuangkan.
Demokrasi tanpa keberpihakan sejati hanyalah formalisme; sebuah struktur yang berjalan tanpa ruh.
Dalam praktiknya, ini tidak jauh berbeda dari oligarki yang hanya berganti baju.
Kondisi ini menimbulkan keputusasaan politik. Banyak orang tidak lagi percaya pada partai dan wakil rakyat, karena pengalaman mereka selama ini lebih banyak berisi kekecewaan.
Rasa tidak percaya ini bukan sekadar sikap sinis, tetapi lahir dari kenyataan bahwa politik jarang menyentuh kebutuhan konkret masyarakat.
Dari harga beras sampai konflik lahan, suara rakyat jarang jadi prioritas. Dalam situasi ini, demokrasi kehilangan vitalitasnya.
Kekuatan Politik
Namun harapan belum sepenuhnya padam. Di luar lingkaran kekuasaan, masih ada kelompok masyarakat sipil yang memperjuangkan keadilan sosial.
Serikat buruh, organisasi petani, komunitas adat, dan jaringan aktivis terus bergerak dalam senyap.
Mereka bekerja tanpa sorotan, tapi memperlihatkan bahwa keberpihakan masih mungkin terjadi.
Di titik inilah semestinya partai politik belajar dan membangun kembali fondasi keberpihakannya.
Beberapa keberhasilan lokal menunjukkan bahwa perubahan tetap mungkin terjadi jika masyarakat terorganisir dan konsisten memperjuangkan hak-haknya.
Tekanan dari bawah, ketika dilakukan secara kolektif, bisa memaksa kebijakan publik untuk lebih responsif. Tetapi daya dorong ini akan lebih kuat jika memiliki saluran politik formal yang bisa dipercaya.
Sayangnya, sejauh ini partai-partai politik belum banyak merespons peluang ini secara serius.
Relasi antara masyarakat sipil dan partai masih berjalan searah—rakyat memberi suara, partai menikmati hasil.
Jika partai-partai yang ada tak lagi berpihak, maka perlu dipikirkan jalan baru. Bukan hanya memilih partai yang lebih baik, tapi mungkin juga membangun partai yang benar-benar berpijak pada kenyataan rakyat bawah.
Sebuah partai yang lahir dari kebutuhan konkret, bukan dari agenda elite. Demokrasi akan hampa tanpa kekuatan politik yang punya keberpihakan jelas.
Seperti kata Magnis, demokrasi hanya hidup bila ada yang sungguh-sungguh memperjuangkan yang lemah. Mendirikan kekuatan baru tentu bukan perkara mudah.
Tapi perubahan besar selalu berawal dari kesadaran kolektif yang kecil. Ruang-ruang komunitas, organisasi basis, dan jaringan solidaritas bisa menjadi awal dari proyek politik jangka panjang.
Jika gerakan ini tumbuh dengan kesabaran dan arah yang jelas, ia bisa menjadi kekuatan moral dan politik yang sesungguhnya.
Saat itu tiba, rakyat tak lagi hanya jadi objek pemilu, melainkan pelaku utama demokrasi. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News