Oleh: Melki Deni, S. Fil.
Almuni Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, NTT, dan sedang belajar teologi di Universidad Pontificia Comillas, Madrid, Spanyol
POS-KUPANG.COM - Byung-Chul Han (Seoul, Korea Selatan 1959) baru-baru ini dianugerahi Princess of Asturias Award for Communication and Humanities 2025 atas kecemerlangannya dalam menafsirkan tantangan masyarakat teknologi pada abad ke-21 ini.
Han sudah mempublikasi lebih dari tiga puluh buku, dan artikel-artikel bertema filsafat.
Han memberikan dampak besar pada pemikiran kontemporer, terutama karena popularitas progresif yang diperolehnya tanpa kehilangan ketelitian konseptual.
Sangat mungkin bahwa banyaknya pembaca atas pemikirannya disebabkan oleh masalah-masalah yang diangkatnya yang secara langsung menantang cara kita hidup, yang sangat produktif, amat konsumtif, dan sudah kehabisan tenaga dalam kerangka kapitalisme masa kini.
Demikian pula, meningkatnya pengaruh perangkat teknologi pada hubungan seksual dan emosional kita, serta hilangnya keindahan, kontemplasi, dan cinta, yang dihancurkan oleh dinamika transparansi dan eksibisionisme yang menggila, adalah tema konstan dalam lebih dari tiga puluh buku yang diterbitkan oleh filsuf berbahasa Jerman tersebut.
Neoliberalisme, teknologi dan apa yang mungkin kita sebut semacam budaya kontemporer positif merupakan beberapa tema yang sangat ditekankannya dalam karya-karyanya dan objek kritik permanen terutama bagaimana ia menganalisisi isu-isu seperti identitas, kekerasan, kontrol, ritual, seni, cinta, kehidupan kontemplatif, pekerjaan atau informasi.
Jika kita mengkaji beberapa buku pertamanya, El corazón de Heidegger (1996), Caras de la muerte (1998) dan Muerte y alteridad (2002) —saya membaca karya-karyanya dalam bahasa Spanyol—, menonjolkan sudutnya, yang dapat kita sebut sebagai “konservatif romantis”, yang berakar pada penyusunan analisis bahasa dan keterbatasan manusia berdasarkan kategori-kategori dasar Being and Time Heidegger dan filsuf lainnya seperti Hegel, Derrida, Handke, Celan.
Pengaruh Heidegger menjadi dasar fundamental dalam konfigurasi pemikiran Han, yang mana elemen penting lainnya ditambahkan dalam buku berikutnya, seperti Filosofía del budismo zen (2002), dianalisis dalam ketegangan dengan pembacaan Heidegger sendiri atas tradisi Timur ini.
Kekuasaan Politik dan Kapitalisme
Sejak 2005 munculnya perhatian lain menjadi jelas dengan terbitnya Sobre elpoder, di mana tokoh-tokoh seperti Nietzsche, Foucault, dan Agamben menjadi tokoh-tokoh protagonis yang konsep-konsepnya ia gunakan untuk mengadopsi, mengkritik, atau merumuskan kembali konsep-konsep tersebut dari pembacaan pribadinya.
Han menerbitkan buku-buku yang memiliki gaung terbesar di media dan opini publik, yang melaluinya kita dapat menyaksikan konjungsi Heideggerianisme awalnya dengan analisis kekuasaan dan subjektivitas dalam kerangka apa yang disebutnya “masyarakat kerja” abad ke-21.
Model subjektif par excellence akan menjadi “wirausahawan mandiri” yang mengeksploitasi diri sendiri, mengalami sensasi kebebasan yang seharusnya, dibaca sebagai sekadar kepositifan patologis, yang membawanya pada keletihan struktural—tidak hanya keletihan karena kerja terus-menerus tetapi juga keletihan eksistensial—dan membuat kita menjadi saksi penyebaran gangguan kejiwaan dan psikologis baru berupa perhatian, menyakiti diri sendiri, serangan panik, keletihan, dan hiperaktivitas.
Hal ini dibahasnya dalam Hiperculturalidad (2005), La sociedad del cansancio (2010), La sociedad de la transparencia (2012), La agonía del Eros (2012), En el enjambre (2013) dan Psicopolítica (2014).
Dalam buku-buku di atas, potret tersebut dikonsolidasikan dalam filsafat Byung-Chul Han di mana semangat kecaman dan kritik terhadap pemerintahan neoliberal berlaku dalam masyarakat pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, yang mengambil dan memperluas logika masyarakat disiplin yang digambarkan oleh Foucault pada abad ke-17, 18, dan 19 dan masyarakat kontrol yang dicetuskan oleh Deleuze pada paruh kedua abad ke-20 menuju kapitalisme saat ini yang tidak mempertimbangkan tubuh tetapi jiwa sebagai kekuatan produktif dan konsumen sebagai agen utama atas warga negara.
Di dalam La sociedad del cansancio, Han mengusulkan penanggulangan logika Marxis, yang mana terdapat tuan dan budak, kapitalis dan yang dieksploitasi.
Han menegaskan bahwa hubungan kekuasaan, sebagaimana Foucault memahaminya dalam istilah “Harus” atau “Tidak boleh” dalam konteks masyarakat yang disiplin, telah diatasi. Apa yang kita miliki sekarang?
Kita memiliki logika “Just do it”, atau bahkan “let’s do it” —seperti logo Nike, lakukanlah, kita dapat melakukannya—dan jika kita tidak bisa, kita telah gagal dan kita bersalah. Hal ini mengarah kepada perbudakan terhadap proyek atau tujuan kita sendiri.
Menurut Han, kita menjadi budak bagi diri kita sendiri—autoeksploitasi. Inilah logika kewirausahaan dan budaya wirausahawan yang mendorong dirinya sendiri hingga ke titik patologi. Patologi apa?
Han berbicara tentang depresi sebagai pandemik abad ke-21, sindrom defisit perhatian dan burnout.
Banyak di antaranya berkaitan dengan rangsa berlebihan, tidak menyisakan waktu untuk bersantai, yang sesungguhnya tidak menyisakan waktu untuk berpikir, untuk melarikan diri dari masyarakat yang terlalu mudah terangsang.
Hasilnya, selain keletihan, juga menjadi yang begitu rentan: seseorang menjadi makin lebih rentan karena tidak mau berpikir, tidak mampu berefleksi atau kontemplasi, hanya mampu menanggapi rangsangan dari luar, dan sesungguhnya jika tidak berpikir, ia tidak bebas, tidak dapat memutuskan apa pun.
Itulah risiko besar yang dihadapi masyarakat jika menjadi masyarakat yang letih secara eksistensial, burnout dan spiritual.
Masyarakat yang amat keletihan dan transparansi yang digambarkan Han ini harus dibingkai dalam sebuah mekanisme kekuasaan yang berusaha menyenangkan dan merayu alih-alih menundukkan atau mendisiplinkan.
Hal ini diekspresikan melalui dinamika lingkungan digital dan jejaring sosial melalui tombol “suka” dan “super” di Facebook, Ig, dll., dan tingkat kasih sayang dan pengakuan, yang mengarah pada perluasan skema biaya-manfaat, yang merupakan ciri khas homo oeconomicus, dalam
setiap bidang manusia agar dapat “berkinerja” lebih baik dan memposisikan diri lebih baik secara pribadi dan profesional dalam kerangka persaingan yang semakin ketat yang menguras dan mencegah semua kebebasan yang mungkin.
Ruang Privasi Tercabik
Dengan hilangnya ruang privasi di media sosial, kita mengekspos diri kita sendiri secara berlebihan dan mengungkapkan apa yang kita makan, apa yang kita kenakan, apa yang kita lihat di jalan, apa yang kita rasakan: Semuanya kita unggah ke media sosial agar mendapatkan “suka” atau “super” dari pengguna media sosial lainnya.
Dulu, yang penting adalah menjadi diri sendiri, seperti yang diajarkan Sokrates, “Kenalilah dirimu sendiri!”, mengetahui siapa diri kita; mengapa dan untuk apa kita dilahirkan; apa yang dapat dan apa yang mesti kita buat dan lakukan; apa yang membuat kita harus bertahan, menunggu, dan berjuang di sini kini.
Dalam kapitalisme, yang terpenting adalah apa yang kita miliki: memiliki dan menunjukkan apa yang saya miliki memberikan kita nilai.
Saat ini yang paling penting juga adalah penampilan: orang lain dapat melihat penampilan saya dalam konteks transparansi yang tidak menyisakan ruang privasi.
Kita semua perlu tahu segalanya tentang semua orang, dan itulah mengapa kita sendiri cenderung terus-menerus pamer.
Lalu apa akibatnya? Fenomena transparansi menunjukkan bahwa kepercayaan, sebagai ruang ketidaktahuan, bukanlah suatu nilai.
Untuk memercayai seseorang, mesti ada ketidaktahuan: Saya tidak tahu bagaimana kamu akan bereaksi, saya tidak tahu apa yang akan kamu katakan, tetapi saya percaya kepada kamu, pada apa yang kamu lakukan. Kepercayaan didasarkan pada cinta dan persahabatan.
Keadaan ini telah berubah menjadi serangan hebat dalam dekade terakhir dengan radikalisasi krisis otoritas negara, penyebaran tekno-feodalisme korporat, dan munculnya hak populis baru.
Han telah mencatat pergeseran ini dalam karya konseptualnya sejak Infocracia (2021) dan Vida contemplativa (2022).
Buku terbarunya, El espíritu de la esperanza (2024), bisa dibaca bukan hanya sebagai kemunculan “Han baru” yang mengejutkan, tetapi sebaliknya, sebagai konsekuensi dari proses filsafat yang, setelah tahap interpretatif awal pemikiran Heidegger, momen analitis-kritis kedua tentang kekuasaan dan subjektivitas dalam masyarakat masa kini, memungkinkan kita untuk melihat sekilas dimensi ketiga yang membutuhkan penerapan program aksi etis-politik yang melampaui pengamatan dan kecaman dan yang memberi kita petunjuk perlawanan dalam menghadapi panorama yang lebih ganas.
Aku pamer maka aku ada! Hanya saya yang ada, yang positif, dan yang lainnya saya tolak. Mengapa demikian? Karena kita terjerumus dalam narsisme yang bersumber dari individualisme yang akut.
Saya narsistik maka saya ada! Bila orang lain menerobos masuk ke dalam lingkup positif yang pusatnya adalah saya, hal itu mengganggu saya dan saya pun mulai menolaknya, saya mengingkarinya.
Paling banter, saya bersedia berbagi kepositifan saya dengan suatu komunitas di mana kita semua setara. Karena di sanalah kita merasa terlindungi dan aman, dalam komunitas yang mewakili padanan jamak dari narsisme dan individualisme saya.
Revolusi Cinta Universal
Saya teringat sebuah artikelnya berjudul Por qué hoy no es posible la revolución pada El País (12/9/2014), di mana Han berbicara tentang sebuah perdebatan yang dihadiri oleh Antonio Negri.
Orang Italia, tidak seperti dirinya, memiliki pengharapan bahwa revolusi dapat terjadi.
Han berpendapat bahwa agar revolusi ini mungkin terjadi, kita perlu melepaskan diri dari beberapa prinsip yang tertanam dalam masyarakat kita, seperti prinsip kinerja, individualisme, dan narsisme.
Selama kita hanya mementingkan diri sendiri dan tidak mengintegrasikan orang lain, revolusi tidak akan mungkin terjadi.
Untuk mencapai ini, kita mesti menghasilkan proyek-proyek bersama dan menciptakan suatu komunitas, tetapi bukan komunitas makhluk-makhluk yang setara, melainkan komunitas makhluk-makhluk bebas yang berpikir dan merencanakan masa depan bersama.
Menurut Han, revolusi tidak mungkin terjadi: revolusi harus mematahkan beberapa mandat yang ditanamkan dalam masyarakat kita, seperti kinerja, individualisme, dan narsisme.
Bagi Han, cinta merupakan solusinya—bukan dalam arti cinta berpasangan atau hubungan erotis/seksual, tetapi cinta sebagai keterbukaan terhadap orang lain, kapasitas untuk menghasilkan ikatan persaudaraan universal di tengah globalisasi ketidakpedulian dan kecemasan individu yang amat tinggi.
Han menempatkan kebaikan tertinggi, kebahagiaan, pada mereka yang berpikir bersama orang lain dan memiliki banyak sahabat dan kawan, dalam arti menciptakan ikatan, di dalam perbedaan, yang berbicara tentang korespondensi dan diskursus timbal balik tentang kehidupan.
Hanya melalui orang lainlah saya dapat bercermin, mengenal diri, mengintrospeksi diri, mengidentifikasi diri, mengubah diri saya, dan mematahkan belenggu yang membelenggu diri saya sendiri, yakni cangkang narsistik. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News