Oleh: Bernabas Unab
Mahasiswa Filsafat Widya Sasana, Malang
POS-KUPANG.COM - Visi Indonesia Emas 2045 merupakan proyek kebangsaan jangka panjang yang menargetkan terwujudnya Indonesia sebagai negara maju, berdaya saing global, dan memiliki kesejahteraan yang merata pada satu abad kemerdekaannya.
Untuk mencapai visi besar tersebut, pembangunan sumber daya manusia menjadi prasyarat utama, khususnya di kalangan generasi muda yang akan menjadi aktor utama dalam berbagai sektor kehidupan nasional (Bappenas, 2019).
Generasi Z, mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 adalah kelompok usia yang tumbuh dan berkembang dalam ekosistem digital.
Mereka dikenal adaptif terhadap teknologi, namun juga rentan terhadap dampak negatifnya.
Salah satu fenomena yang mencolok dalam kehidupan Gen Z saat ini adalah popularitas game daring seperti Mobile Legends: Bang Bang (MLBB).
Ini merupakan permainan berjenis “multiplayer online battle arena” (MOBA) yang tidak hanya digandrungi sebagai hiburan, tetapi juga telah menjadi bagian dari gaya hidup.
Permasalahan muncul ketika permainan tersebut tidak lagi ditempatkan sebagai sarana rekreatif, melainkan menjadi aktivitas dominan yang menggeser waktu belajar, bersosialisasi, dan bahkan beribadah.
Kecanduan terhadap Mobile Legends telah menjadi persoalan nyata.
Studi oleh Hanisa, Subhan, dan Ramadhan (2023) mengungkap bahwa kecanduan Mobile Legends pada remaja berdampak pada gangguan tidur, penggunaan bahasa kasar, serta meningkatnya konflik dalam lingkungan sosial.
Selain itu, Usoh, Kaligis, dan Kawet (2023) menunjukkan bahwa kecanduan game ini turut memengaruhi kestabilan emosi dan perilaku siswa sekolah menengah.
Dalam konteks pembangunan jangka panjang, kecanduan digital yang tidak terkontrol ini merupakan ancaman laten terhadap kualitas generasi penerus bangsa.
Indonesia Emas 2045 menuntut generasi muda yang tidak hanya cakap secara teknologi, tetapi juga kuat secara karakter, unggul dalam etos kerja, serta memiliki semangat kebangsaan yang tinggi.
Jika mayoritas generasi muda terjerumus dalam budaya digital yang konsumtif dan hedonistik, maka proyek besar tersebut akan menghadapi hambatan serius dari dalam.
Pemerintah, institusi pendidikan, dan keluarga memiliki tanggung jawab kolektif dalammembina generasi muda agar cerdas dan bijak dalam menggunakan teknologi.
Literasi digital tidak cukup hanya berupa kemampuan teknis, tetapi juga harus mencakup dimensi etika, tanggung jawab, dan orientasi pada produktivitas.
Pendidikan karakter harus diperkuat, ruang kreatif yang positif harus diperluas, dan pendekatan dialogis terhadap dunia digital anak muda harus diintensifkan (Setiawan & Fauzan, 2021).
Indonesia Emas 2045 tidak akan terwujud hanya dengan pembangunan fisik atau pertumbuhan ekonomi semata. Kuncinya terletak pada kualitas manusianya-khususnya generasi mudanya.
Jika generasi itu saat ini tenggelam dalam euforia dunia maya tanpa arah, maka sudah sepatutnya kita bertanya: ke mana arah masa depan bangsa ini?
Budaya Digital dan Pembentukan Karakter Generasi Z: Refleksi Kritis Menuju Indonesia Emas 2045 Transformasi digital telah mengubah hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, terutama dalam hal interaksi sosial, pola belajar, serta konsumsi informasi.
Generasi Z, sebagai digital native, tidak hanya mengakses teknologi tetapi hidup di dalamnya. Namun, kedekatan mereka dengan teknologi tidak selalu berdampak positif.
Dalam konteks pembangunan bangsa menuju Indonesia Emas 2045, kondisi ini memunculkan pertanyaan krusial: apakah budaya digital hari ini mendukung atau justru menghambat pembentukan karakter dan wawasan kebangsaan generasi muda?
Berbagai studi menunjukkan bahwa keterpaparan terhadap media digital secara intensif dapat memengaruhi sistem nilai dan orientasi perilaku individu.
Salah satunya adalah melemahnya nilai-nilai tanggung jawab, disiplin, serta kesadaran kolektif, yang merupakan fondasi penting dalam membentuk karakter warga negara yang unggul (Hidayat, 2022).
Ketika waktu remaja dihabiskan dalam dunia virtual yang individualistik dan serba instan, kemampuan mereka untuk membangun empati sosial, kepedulian terhadap lingkungan, dan semangat kebangsaan ikut tergerus.
Fenomena ini diperparah dengan lemahnya literasi media, yang menyebabkan generasi muda rentan terpengaruh oleh konten negatif, hoaks, maupun budaya populer yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Dalam konteks ini, game daring seperti Mobile Legends tidak hanya menjadi alat hiburan, tetapi turut membentuk identitas sosial, bahasa, dan gaya hidup.
Jika tidak dikendalikan, hal ini dapat membentuk karakter yang permisif terhadap kekerasan, minim kerja sama sosial di dunia nyata, serta mengabaikan kepentingan publik.
Untuk menjawab tantangan ini, pendidikan karakter berbasis nilai kebangsaan perlu diintegrasikan secara serius dalam sistem pendidikan formal dan nonformal.
Institusi pendidikan harus memainkan peran sebagai ruang dialektika antara dunia digital dan nilai-nilai luhur bangsa, bukan sekadar sebagai penyampai kurikulum teknis.
Demikian pula, peran keluarga dan komunitas menjadi penting dalam membentuk kontrol sosial yang positif terhadap budaya digital remaja (Wahyuni & Nugroho, 2023).
Generasi Z harus disiapkan bukan hanya sebagai pengguna teknologi yang andal, tetapi juga sebagai warga negara yang berintegritas dan memiliki orientasi kolektif.
Indonesia Emas bukan sekadar slogan pembangunan, melainkan cita-cita luhur yang membutuhkan dukungan dari generasi yang sadar akan jati diri bangsanya di tengah globalisasi digital.
Generasi Digital dalam Pertaruhan Peradaban
Maraknya Mobile Legends di kalangan Gen Z bukan sekadar soal game daring. Ia adalah gejala dari pergeseran budaya yang lebih dalam-sebuah perubahan zaman yang menantang eksistensi nilai, orientasi hidup, dan visi kebangsaan.
Di balik layar ponsel yang terus menyala, ada pertaruhan besar atas masa depan: apakah generasi muda akan menjadi pelanjut peradaban, atau justru pengikut algoritma yang kehilangan jati diri.
Indonesia Emas 2045 adalah mimpi kolektif yang luhur, namun ia hanya dapat diwujudkan oleh manusia-manusia yang berkarakter kuat, berwawasan luas, dan memiliki komitmen kebangsaan yang mendalam.
Dalam dunia yang semakin cair dan tanpa batas, karakter dan orientasi itulah yang menjadi jangkar.
Tanpanya, teknologi justru akan menjadi kekuatan yang mengikis akar bangsa, bukan memperkuatnya.
Maka, kebijakan pembangunan sumber daya manusia ke depan harus meletakkan literasi digital dan pembentukan karakter sebagai prioritas utama.
Negara harus hadir bukan sebagai pengontrol represif, melainkan sebagai fasilitator emansipatif: membuka ruang kritis, membimbing arah etis, dan membangun ekosistem yang sehat bagi tumbuhnya budaya digital yang progresif dan berakar.
Pendidikan formal harus melampaui kurikulum; ia perlu menjadi ruang perjumpaan antara nilai-nilai tradisi, etika digital, dan semangat zaman.
Sementara itu, keluarga dan komunitas harus menjadi tempat pertama dan utama dalam menanamkan kebiasaan digital yang bermartabat.
Media dan sektor swasta pun tak bisa lepas tangan. Dalam dunia yang dikuasai logika algoritma, siapa yang diam akan disingkirkan oleh yang bersuara paling bising.
Akhirnya, kita diajak untuk merenung: siapa sejatinya kita dalam dunia digital ini?
Jika kita membiarkan generasi muda kita tenggelam dalam dunia maya tanpa arah, maka kita sedang menggali jurang bagi masa depan bangsa.
Namun jika kita mampu menjinakkan teknologi, menanamkan nilai, dan memanusiakan digitalisasi, maka kita tidak hanya akan meraih Indonesia Emas-kita akan membangun peradaban yang bernyawa. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News