Opini

Opini: Kekerasan Seksual dan Gagalnya Sistem Perlindungan Anak 

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Merly Klaas

Oleh: Merly Klaas, S.Psi., M.S., Ph.D
Ibu dari anak usia dini, Ahli Pendidikan dan Pengasuhan Anak Usia Dini, Peneliti dan Pemerhati Pendidikan

"The true measure of any society can be found in how it treats its most vulnerable members." Mahatma Gandhi

POS-KUPANG.COM - Kasus pedofilia dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Lukman, menguak keseriusan kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia. 

Kasus ini bermula dari investigasi Pemerintah Federal Australia terhadap video asusila yang melibatkan anak dan diunggah di situs porno (dark web) luar negeri. 

Fakta bahwa seorang Kapolres menjadi pelaku pedofilia dan pengisi materi pornografi menjadi tamparan keras bagi negara Republik Indonesia untuk segera bertransformasi dalam menangani kekerasan seksual terhadap anak.

Kejahatan Luar Biasa

Kasus ini tercatat sebagai kejahatan luar biasa karena dua hal utama. Pertama, pelaku adalah pejabat penegak hukum, seorang kepala kepolisian di Kabupaten Ngada, NTT, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam perlindungan dan penegakan hukum. 

Namun, dengan kekuasaan yang dimilikinya, ia justru dengan bebas menjalankan aksi kejahatannya.

Kedua, kejahatan ini menunjukkan pola sistematis yang melibatkan lebih dari satu pihak serta memenuhi hampir seluruh jenis kekerasan seksual anak yang diatur di dalam hukum di Indonesia. 

KASUS ASUSILA - Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja ditetapkan sebagai tersangka kasus asusila dan narkoba. Keluarga korban asusila AKBP Fajar marah dan merasa terpukul atas tindakan keji tersangka. (TRIBUNNEWS.COM/REYNAS ABDILA)

Dari rentetan kasus ini, Fajar Lukman melakukan pemerkosaan, pencabulan, eksploitasi ekonomi dan seksual (prostitusi), dan kekerasan seksual berbasis elektronik yaitu pornografi anak. 

Berdasarkan investigasi, AKBP Fajar Lukman meminta seorang remaja untuk mencarikan anak yang akan ia cabuli. Remaja ini pula kemudian dibayar untuk mencari korban balita dan membawanya untuk dicabuli di hotel. 

Kejahatan ini direkam oleh Fajar dan diunggah ke situs pornografi anak. Menurut KPAI, kejahatan ini bisa dikategorikan sebagai bentuk baru dari tindak pidana perdagangan orang (TPPO) karena menjual konten pornografi di situs porno. 

Realitas Kekerasan Seksual pada Anak di Kota Kupang dan Indonesia

Kasus-kasus terkait AKBP Fajar menambah deretan panjang kekerasan seksual pada anak di NTT dan Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa anak-anak masih sangat tidak terlindungi. 

Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU No. 12 Tahun 2022) sudah mencakup berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak. Namun, implementasi di lapangan masih lemah.

Laporan KPAI mengungkapkan bahwa 90 persen  pelaku kekerasan seksual terhadap anak bukan lah orang asing, melainkan orang yang dikenal dan dipercaya anak seperti orang tua, saudara, kerabat, guru, atau pemimpin keagamaan. 

Biasanya, sebelum melakukan kekerasan seksual, pelaku melakukan  manipulasi (child grooming) untuk menegakkan kekuasaan atas korban, baik dengan memberikan hadiah dan perhatian maupun menumbuhkan rasa takut melalui ancaman dan kekerasan fisik.

Namun, dalam kasus Mantan Kapolres Ngada, pelaku justru menggunakan kekuasaan dan otoritasnya untuk melancarkan aksi bejatnya secara terbuka. 

Ia bebas memesan anak untuk dicabuli di hotel, merekam kejahatan, dan mengunggahnya ke situs porno tanpa takut akan konsekuensi hukum. 

Kejahatan yang paling berbahaya adalah yang dilakukan oleh penjahat berseragam, karena mereka adalah penegak hukum dan penafsir palu keadilan.

Dampak Psikologis Jangka Panjang bagi Korban

Setiap anak berhak atas perlindungan dan kehidupan yang layak. Namun, kekerasan seksual terhadap anak merampas hak-hak dasar ini dan meninggalkan luka seumur hidup. 

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual mengalami dampak serius, baik fisik seperti luka berat, kehamilan usia muda, dan penyakit menular seksual, maupun psikologis seperti gangguan kecemasan, depresi, gangguan stres pascatrauma (PTSD), dan bahkan keinginan bunuh diri.

Dalam sebuah jurnal Child Neglect and Abuse, diungkapkan bahwa kekerasan seksual memiliki dampak psikologis jangka panjang yang lebih merusak dibandingkan jenis kekerasan lain. 

Korban sering kali baru bisa mengungkapkan pengalaman traumatis mereka setelah berpuluh-puluh tahun karena besarnya luka batin yang dialami. 

Fenomena "sleeper effects" menunjukkan bahwa memori traumatis yang terlupakan bisa muncul kembali di usia dewasa ketika seseorang berada dalam situasi tertentu, seperti memulai hubungan percintaan, menjadi orang tua, atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Selain itu, korban pelecehan anak memiliki kemungkinan lebih besar untuk kembali menjadi korban kekerasan seksual di masa remaja atau dewasa. Jika tidak mendapat pemulihan, mereka juga berisiko menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap orang lain. 

Secara khusus, anak usia dini lebih mudah dimanipulasi dan dipaksa, karena mereka belum memiliki pemahaman tentang pelecehan seksual. 

Kekerasan seksual yang dialami pada usia ini mengganggu perkembangan psikososial anak, menyebabkan rasa bersalah, malu, dan ketidakmampuan membangun kepercayaan diri serta hubungan sehat di masa depan. 

Secara neurobiologi, otak anak sedang berkembang sangat pesat dimasa usia dini sehingga pengalaman mendapatkan kekerasan seksual dapat menghambat perkembangan bagian otak khususnya yang bertanggung jawab atas fungsi kognitif, memori, dan emosi anak. 

Dampak ini bersifat jangka panjang dan menetap hingga anak dewasa.  Sayangnya, lemahnya sistem perlindungan korban membuat pelaku dapat berkeliaran dan mengulangi kejahatannya. 

Satu-satunya pihak yang harus malu dan dihukum adalah pelaku, bukan korban. Korban justru membutuhkan dukungan kuat dari keluarga dan masyarakat agar bisa pulih dan mendapatkan keadilan.

Indonesia: Kuat dalam Regulasi, Lemah dalam Implementasi

Laporan Out of Shadow Index 2022 menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara dengan kesiapan tertinggi dalam kebijakan dan program pencegahan kekerasan seksual terhadap anak. 

Secara tertulis, dapat dikatakan Indonesia telah mempunyai peraturan hukum dan strategi nasional yang cukup lengkap. 

Namun pada pelaksanaannya, kasus kekerasan seksual pada anak masih saja merajalela akibat lemahnya penegakan hukum di lapangan. 

Hal ini terkonfirmasi dalam index dengan nilai sangat rendah pada sub-item Monitoring & Evaluation of the Justice System yang mencakup evaluasi penerapan hukum peradilan, hingga ketiadaan data terkait penahanan, pendakwaan, dan penjatuhan hukuman pelaku kekerasan seksual yang terbuka.

Selain hanya sedikit yang terungkap akibat manipulasi pelaku terhadap korban, kasus pelecehan seksual anak masih sering diselesaikan dengan cara "damai" atas dasar kekeluargaan, terutama jika pelaku memiliki kekuasaan misalnya korban memiliki ketergantungan ekonomi atau dibawah otoritas pengasuhan pelaku. 

Stigma sosial yang melekat pada korban semakin memperburuk keadaan. Pengetahuan masyarakat tentang kekerasan seksual anak juga masih sangat terbatas karena topik seksualitas masih dianggap tabu untuk dibicarakan terbuka.

Lebih parah lagi, sistem hukum yang korup memungkinkan keadilan dibeli dengan uang dan kekuasaan. 

Ketika pelaku adalah aparat penegak hukum, proses hukum sering kali dipersulit atau bahkan ditolak. 

Jika ada pihak yang menghambat investigasi atau bersikap apatis, mereka patut dicurigai sebagai bagian dari kejahatan ini. 

Bahkan dalam kasus AKBP Fajar sebagai seorang pejabat kepolisian, semasa ia menjabat sebagai Kapolres Sumba Timur. 

Ada satu kasus (Axi), seorang remaja perempuan yang mengalami kekerasan seksual, dan ‘meninggal gantung diri’ kasus ini dipetieskan oleh AKBP Fajar, meskipun mendapat kecaman dari masyarakat Sumba Timur.

Langkah Konkret yang Harus Dilakukan

Pertama, perlindungan anak sejak dini. Anak harus dibekali pemahaman tentang bagian tubuh pribadi yang tidak boleh disentuh orang lain seperti alat kelamin, pantat, payudara, dan mulut dengan cara yang mudah dipahami seperti lagu atau cerita.  Anak juga harus diajarkan untuk menolak sentuhan yang tidak nyaman.

Kedua, peran keluarga dan masyarakat.  Orang tua dan lingkungan sekitar harus mendapat edukasi untuk tidak menyentuh bagian tubuh pribadi anak dengan alasan apa pun, termasuk bercanda. 

Jika melihat atau mencurigai adanya kekerasan seksual terhadap anak, masyarakat harus segera melapor dan bertindak.

Ketiga, reformasi lembaga dan organisasi. Setiap institusi yang bersinggungan dengan anak seperti institusi Pendidikan (sekolah/niversitas), pengasuhan anak, lembaga pelayanan publik harus memiliki kebijakan perlindungan anak (child safe-guarding policy), kode etik (code of conduct), serta pengawasan ketat.

Keempat, reformasi kepolisian dan sistem hukum. Kepolisian RI harus meminta maaf dan serius melakukan investigasi internal terhadap aparat yang terlibat dalam pornografi dan kekerasan seksual anak. 

Fajar Lukman tidak hanya harus dipecat tidak dengan hormat, tetapi dijatuhi hukuman penjara maksimal termasuk kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi setelah menjalani masa tahanan. 

Investigasi khusus membongkar sindikat prostitusi anak dimasyarakat perlu segera dilakukan.

Kelima, peran pemerintah daerah dan nasional. Pemerintah harus menjadikan pemberantasan kekerasan seksual anak sebagai program prioritas, termasuk dengan mengalokasikan anggaran untuk rumah aman, psikolog anak, juga hotline pelaporan kasus. 

Perhatian khusus kepada kelompok anak rentan misalnya anak jalanan di kota Kupang.

Selain itu, database nasional identitas seluruh pelaku kekerasan seksual harus dibuka untuk publik agar masyarakat bisa waspada. 

Sistem peringatan otomatis di mana pesan waspada dikirim ke semua ponsel di area tempat pelaku berada, juga perlu diterapkan.

Kejahatan yang dilakukan oleh mantan Kapolres Ngada membuktikan bahwa kekerasan seksual terhadap anak bukanlah kasus individu, melainkan bagian dari kejahatan sistemik. Upaya untuk menutup-nutupi atau meringankan hukuman bagi pelaku harus dilawan. 

Dunia sedang menyaksikan bagaimana Indonesia menegakkan keadilan. Saatnya kita membuktikan bahwa bangsa ini mampu melindungi yang paling lemah di antara kita. (*)

Berita Terkini