POS-KUPANG.COM - Pantai selatan Pulau Timor di masa lalu hampir identik dengan kawasan terpencil dan terisolasi. Identik pula dengan keterbelakangan dan kemiskinan.
Namun, ketika akses jalan mulai dibuka dari wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan (Batu Putih) sampai di Betun Kabupaten Malaka (2016), barulah tersingkap bahwa dalam keterisolasian dan keterpencilannya, wilayah selatan pulau Timor ternyata memendam mutiara nan indah.
Di wilayah selatan ini terbentang hamparan sawah Bena TTS hingga Besikama-Betun di Kabupaten Malaka. Kawasan selatan ternyata menyimpan potensi pangan yang luar biasa bagi pulau ini.
Hamparan petak sawah yang hijau terus berganti menjadi kuning ini juga menyajikan pemandangan yang menggairahkan sekaligus menjanjikan kehidupan yang lebih baik.
Demikian potensialnya areal persawahan Bena membuat Pemerintah khususnya Dinas Pertanian sering menjadikannya sebagai lokasi percontohan dan didatangi sebagai lokasi panen raya.
Pasir putih membentang jauh, batu-batu warna-warni, dan penduduk asli yang ramah menjadi ciri wilayah itu, tetapi sebagian besar masih hidup miskin.
Ruas jalan di selatan itu membuat jarak dari Kupang menuju Malaka atau kota Atambua, ibu kota Kabupaten Belu, menjadi lebih dekat.
Sebelumnya ruas jalan ini pernah beroperasi pada 1997-1999, tetapi akhirnya ditutup ketika salah satu jembatan penyeberangan di ruas jalan itu ambruk pada 1999. Kendaraan dari Kupang-Soe-Kefamenanu-Atambua-Betun-Dili tetap mengikuti jalan tengah Pulau Timor.
Pada waktu itu Pemprov NTT berinsiatif memperbaiki jembatan itu, lalu menata kembali ruas jalan sepanjang 160 kilometer, mulai dari Batu Putih (10 km sebelum masuk kota Soe, ibu kota TTS) menuju pantai selatan Timor sampai Betun, ibu kota Kabupaten Malaka, pada 2015/2016.
Awal 2016, kendaraan menuju Betun memilih melewati pantai selatan, termasuk ke Atambua.
Jika mengikuti ruas jalan lama, yakni Kupang-Soe-Kefamenanu-Betun, harus menempuh perjalanan 300 km.
Penduduk yang ramah
Jika dari Betun ingin melanjukan perjalanan menuju Atambua, ibu kota Kabupaten Belu, jarak tempuh mencapai 384 km. Pemandangan pun tidak menarik dengan kondisi jalan berkelok-kelok.
Mata mulai dimanjakan dengan pemandangan yang menarik ketika kendaraan meninggalkan Kecamatan Batu Putih, memasuki Kecamatan Amanuban Selatan, Kotolin, Kolbano, Kecamatan Amanuban Timur, Boking dan Betun. Ruas jalan itu berada di sepanjang pantai, dengan kondisi berbukit, dataran, dan gunung.
Penduduk yang ramah berdiam di beberapa titik di sepanjang pantai itu menawarkan bantuan apabila kendaraan yang ditumpangi mengalami gangguan.
Sayang, rata-rata mereka masih sangat miskin. Kawasan pantai selatan ini merupakan pusat kantong kemiskinan di Kabupaten TTS.
Mereka bergantung pada pertanian lahan kering, berpindah-pindah tempat. Tidak banyak yang terlibat menjadi nelayan meski berdiam di bibir pantai. Laut yang luas dengan ombak yang ganas, membuat mereka takut melaut.
Kehidupan di kawasan selatan mulai menggeliat setelah ruas jalan ini beroperasi lagi. Masyarakat setempat bisa akses ke Kupang atau Soe untuk berbelanja atau membawa hasil pertanian untuk dijual di sana. Pada sebelumnya, ,masyarakat sulit akses ke Kupang atau Soe. Mereka hanya mengandalkan jasa ojek atau kendaraan truk pengangkut material bangunan.
Laut sepanjang pantai selatan tampak biru dan jernih, sangat cocok untuk menyelam. Di Pantai Kolbano, setiap kendaraan mengambil waktu beristirahat.
Di sana ada rumah makan, pantai pasir putih yang panjang dan indah, dilengkapi dengan batu terkenal di Pulau Timor yang disebut Batu Kolbano.
Batu jenis ini memiliki sejumlah warna, yakni putih, hitam, kuning, merah, coklat, abu-abu, hijau, dan biru. Setiap pengunjung tidak melewatkan kesempatan untuk membawa pulang batu-batu indah itu, dimasukkan ke dalam karung, kemudian dibawa ke Kupang atau tempat tujuan lain.
Di Pantai Kolbano itu ada ”Lopo” yang sengaja dibangun untuk wisatawan. Deburan ombak di pantai putih memecah di bebatuan menghasilkan percikan air menerpa tubuh yang sedang gerah kepanasan.
Sebuah batu dengan lebar sekitar 20 meter dan tinggi hampir 50 meter dari permukaan tanah berdiri tegak, persis di bibir pantai.
Pengunjung tidak bosan-bosan memotret, bergambar dengan latar belakang batu, bahkan ada pengunjung memanjat batu itu kemudian berswafoto di atas ketinggian dengan berbagai gaya.
(*kompas.id)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS