Opini

Reba adalah Syukuran Solidaritas dan Subsidaritas

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Penasihat Kehormatan Menkumham, Josef A. Nae Soi menyerahkan Sertifikat Indikasi Geografis Tenun Ikat Ngada kepada Bupati Ngada, Andreas Paru pada upacara Adat Reba Langa, Senin 15 Januari 2024, disaksikan Kakanwil Kemenhukham NTT, Marciana Djone.

Oleh: Josef Adreanus Nae Soi
Wakil Gubernur NTT 2018-2023

POS-KUPANG.COM -Pada tanggal 10 Februari 2024 masyarakat Ngada di Kota Kupang yang tergabung dalam peguyuban IKADA mengadakan syukuran Reba juga didahului misa yang sangat meriah apalagi diiringi koor yang sangat atraktif serta tarian yang menambah erat jalinan liturgi dengan menyanyi sambil menari.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Reba adalah usaha untuk mewujudkan ekspektasi imajinasi kekayaan intelektual nenek moyang.

Dengan kata lain upacara Reba merupakan suatu kegiatan untuk mengungkapkan hakekat dari manusia khususnya manusia Ngada.

Suasana pada tanggal 10 Februari 2024 menunjukan betapa tingginya rasa solidaritas yakni bersatunya kelompok Ngada di Kupang dengan prinsip: Bene Agere Et Laetare yang artinya bergembira sambil berbuat baik kepada sesama.

Ditandai dengan makan bersama seboge riu roe, sekepo nari nedo, berbagi dalam kebersamaan, baik lebih mapun kurang.

Ikatan Keluarga Ngada atau IKADA Kupang menggelar acara syukuran Reba di Kupang di GOR Flobamora Oepoi Kota Kupang. (POS-KUPANG.COM/ASTI DHEMA)

Prinsip dari solidaritas menunjukan sikap sosial dari setiap manusia, dengan kesetaraan dalam persamaan martabat dengan menyanyi, berkumpul, dan makan bersama, tidak membedakan jabatan tingkat sosial dengan kata lain sangat egaliter.

Dengan solidaritas yang tinggi, lahirlah subsidaritas yakni dengan kebersamaan secara proporsional, dalam arti kebersamaan untuk merayakan pesta adat Reba disesuaikan dengan proporsional dari masing masing kelompok dan atau masing masing individu.

Hal ini terjadi karena syukuran Reba merupakan common ownership dan join ownership. Syukuran Reba adalah milik bersama, penguasaan oleh seluruh suku Ngada (Corpus Possession) serta penguasaan penggunaan bersama (Animus Posiden).

Tulisan ini sekadar sumbangsih saya kepada generasi muda Kupang asal Ngada, mungkin tidak komplit namun saya mencoba menyumbangkan pemikiran saya dari analisa dan perspektif saya yang jauh dari sempurna.

Karena tutur kata akan terbang tetapi tulisan akan terkenang (Verba Volant Scripta Manent) (Pidato Titus di Senat Roma). Dan dalam adagium latin Lego Ergo Scio: saya membaca maka saya tahu.

Saya mencoba membedah anatomi syukuran Reba menjadi tiga dimensi, yakni dimensi idealis, dimensi realistis, dan dimensi fleksibilitas.

Dari sudut dimensi idealis, Reba merupakan suatu tradisi (apapun namanya) yang menyatukan dan memartabatkan manusia.

Penyerahan tongkat estafet dari Ketua IKADA Kupang kepada Perhimpunan Keluarga Riung Kupang pada saat acara syukuran Reba di GOR Flobamora Kupang, Sabtu 10 Februari 2024. (POS-KUPANG.COM/EKLESIA MEI)

“Kita Bodha Modhe Puu Zeta One, Modhe Masa Sai ana Woa” (kita harus hidup serasi, selaras, seimbang, mulai dari dalam rumah, dan hidup baik rukun dengan semua rumpun keluarga, sama dengan amanat suci leluhur Lese One Peda Pawe/Po Boro Molo, Teta Lemazi’a dalam mencapai kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan.

Dengan melestarikan dan menjalankan amanat suci leluhur, serta prinsip dan norma norma hukum adat dan budaya, itu berarti kita menjalankan perintah Tuhan.

Dari sudut dimensi realistis, ada adagium latin Tempora Mutantur Et Nos Mutamur in Ilis, waktu sudah berubah kita harus berubah di dalamnya.

Apakah dengan perkembangan zaman Reba sudah tidak relevan lagi
Jawabannya sangat tegas “tidak”.

Reba ada yang bersifat konsistensi dan ada yang bersifat kontekstual. Yang bersifat konsistensi harus ada Kobe Dheke, Kobe Dhoi, dan Kobe Sui (ini upacara adat) juga harus dilakukan dengan pedoman yang sudah diwariskan oleh nenek moyang orang Ngada yaitu harus dilakukan di Sao di Ngada.

Kemudian dalam kontekstual, kita boleh merayakan dengan menari bersama, makan bersama, berbagi bersama (Bene Agere et Laetare) maka reba tidak akan meninggalkan dimensi idealnya, dan disampaikan dengan dimensi realistis, tidak meninggalkan prinsip konsistensi, dan selalu kontekstual.

Maka pelaksanaan syukur Reba yang dilaksanakan oleh IKADA Kupang memenuhi unsur dimensi fleksibilitas.

Ada beberapa prinsip dasar dari Reba atau apa yang diajarkan kepada kita dengan adanya Reba.

Pertama, Santo Paulus dalam satu kesempatan mengatakan Gaudete Cum Gaudetibus Flete Cum Fletibus, bergembiralah dengan orang yang lagi bergembira, menangislah dengan orang yang lagi menangis (IKADA bergembira bersama, jika ada kedukaan kita juga bersama).

Kedua, Sine Labore Non Erit Panis In Ore (tidak bekerja tidak ada roti). Reba mengajarkan kita harus bekerja keras, bukan hanya sekadar menggarap.

Ketiga, Nemo Dat Quod Non Habet (tak seorangpun mampu memberikan kepada orang lain kalau dia tidak memiliki). Matius 25 : 31 – 46 “Hai kamu yang diberkati oleh Bapaku terimalah kerajaan yang telah disediakan bagimu sebab: aku lapar engkau beri aku makan, aku haus engkau beri aku minum, aku orang asing engkau memberiku tumpangan, aku telanjang engkau memberiku pakaian, aku sakit engkau merawat aku, ketika aku di penjara engkau mengunjungi aku.

Keempat, Ius Suum Cuique Tribuere (memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya atau bagiannya. (Go Kita Go Kita Go Ngata Go Ngata).

Kelima, Victoria Concordia Crescit keberhasilan atau kemenangan hanya diperoleh dari keharmonisan (Hubungan dengan Allah, hubungan dengan sesama, hubungan dengan alam, dan hubungan dengan adat).

Sebagai akhir dari tulisan ini saya menyampaikan: “Zele ulu wolo meze, lau eko wiwi ebo dutu penga dulu d’ore nga penga d’owe gote go wolo kita ge tau molo gote go ngaba kite nge tau mala asal kita sama – sama. Le punu mae papa busu, le po mae papa lopo le mazi mae le naji, le gege mae le rege”.

Viva Reba, Viva persaudaraan sejati. 100 persen orang Ngada, 100 persen orang NTT, 100 persen orang Indonesia.

Hai yang tinggal di bukit gunung, hai yang tinggal di pesisir pantai, mari kita jalan bersama sama, kumpul bersama (gotong royong) biar gunung kita bisa membuat rata, biar jurang kita bisa menimbun jadi rata asal kita hidup bersama sama dengan rukun, serasi, selaras, seimbang, bekerja sama, dan sama sama bekerja. (*)

Berita Terkini