Berita Lembata

Atasi Masalah Hidden Hunger, Koalisi Adaptasi Dorong Pertanian di Lembata Ramah Lingkungan

Editor: Rosalina Woso
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KONSULTASI - David Ardhian, konsultan Koalisi Adaptasi datang ke Lembata dan berkesempatan berdiskusi dengan sejumlah pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Sekretariat LSM Barakat di Lamahora, Lewoleba, Rabu, 12 April 2023. Para pegiat ini tergabung dalam Sekretariat Bersama (Sekber) LSM dan Pemerintah Kabupaten Lembata.

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ricko Wawo

POS-KUPANG.COM, LEWOLEBA - David Ardhian, Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga adalah konsultan Koalisi Adaptasi mendorong adanya pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan di Kabupaten Lembata.

Hal ini diungkapkannya usai bertemu dengan para pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemerintah daerah Kabupaten Lembata yang tergabung dalam Sekretariat Bersama (Sekber) di Sekretariat LSM Barakat, Lewoleba, Rabu, 12 April 2023.

Selain rencana pemerintah pusat melakukan transformasi pangan yang lebih ramah lingkungan, David menyebut alasan lain yang berkaitan dengan pola konsumsi mayoritas masyarakat Indonesia saat ini.

Baca juga: DPRD Lembata Minta Pemda Cepat Tender Proyek DAK

Merujuk pada penelitian guru besar IPB Profesor Dr.Ir. Drajat Martianto, David menyebutkan hanya 1 persen masyarakat Indonesia yang tidak bisa mengakses zat gizi makro (karbohidrat).

Akan tetapi, sekitar 50 persen masyarakat Indonesia menderita hidden hunger (kelaparan tersembunyi) atau kekurangan zat gizi mikro (buah, sayur dan kacang-kacangan).

“Ini tidak hanya terjadi di NTT, tapi di seluruh Indonesia. Pola makan kita jadi bergeser, dari pangan yang sifatnya beragam menjadi pangan yang sifatnya tunggal,” David berkata. 

Masalah hidden hunger ini menurutnya hanya ada di hilir. Yang perlu diperbaiki adalah masalah hulunya yakni mengubah pola pertanian yang lebih berkelanjutan.

Hidden hunger punya dampak yang serius pada generasi Indonesia mendatang. Misalnya, kasus kekurangan zat besi untuk ibu hamil berpengaruh pada produktivitas kerja dan kerugiannya kira-kira Rp 50 triliun.

“Ini baru zat besi. Belum unsur-unsur lain,” David menjelaskan kepada POS-KUPANG.COM.

Baca juga: Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Lembata Gelar Kegiatan Bertajuk Keceriaan Ramadhan

Jika tidak ada terobosan produksi pertanian maka ini akan menjadi persoalan pangan yang amat serius di tengah upaya pemerintah menuntaskan masalah stunting atau tengkes. Akar permasalahannya ada pada proses produksi pertanian yang tidak sehat dan beragam.

Peneliti pada Pusat Kajian Trans Disiplin dan Sains Berkelanjutan di Institut Pertanian Bogor (IPB) menyebutkan, pemerintah saat ini sedang menyiapkan satu pola transformasi sistem pangan yang lebih ramah lingkungan, sehat, berkelanjutan, setara, dan resilien (tahan pada perubahan iklim).

Oleh karena itu, arah kebijakan pertanian di masa mendatang akan kembali pada agroekologi yang pendekatan pertanian dan penyediaan pangannya lebih ramah lingkungan.

“Hanya ini kan proses transisi sehingga pengalaman-pengalaman lapangan teman-teman (LSM di Lembata) sedang mempersiapkan untuk itu,” David menandaskan.

Dia menilai pemerintah daerah Lembata perlu mengadopsi pertanian yang cerdas iklim dan yang mampu mengantisipasi dampak-dampak perubahan iklim yang selama ini sudah digaungkan oleh para pegiat LSM. Sehingga, agenda kebijakan pemerintah daerah Lembata akan selaras dengan agenda secara nasional yang hendak mengubah pola pertanian yang tidak ramah lingkungan menjadi lebih ramah lingkungan.

Halaman
12

Berita Terkini