Liputan Khusus

Kawin Tangkap di Sumba NTT Bentuk Pelanggaran HAM

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bupati Sumba Barat, Drs.Agustinus Niga Dapawole memimpin rapat pembahasan tentang kawin tangkap di ruang rapat bupati Sumba Barat, Senin (2/7/2020)

POS-KUPANG.COM, WAIKABUBAK -  Bupati Kabupaten Sumbar, Yohanis Dade SH menegaskan, kasus kawin tangkap dengan korban ANG (26), wanita asal Kampung Galimara, Desa Modu Waimaringu, Kecamatan Kota Waikabubak, yang dilakukan oleh LB, Senin (25/8) bukan tradisi atau Budaya Sumba tetapi itu murni tindakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sebab, tindakan LB telah melecehkan harkat dan martabat ANG sebagai seorang perempuan.

"Saya sendiri menonton langsung video itu. Kasihan sekali sama perempuannya, diperlakukan tidak manusiawi. Itu pelanggaran HAM karena melecehkan ANG sebagai seorang perempuan yang berhak menentukan pilihannya. Dia diperlakukan semena-mena," kata Bupati Yohanis, dikonfirmasi Pos Kupang di Kantor Bupati Sumbar, Senin (1/8).
Karena itu, Bupati Yohanis minta penyidik Polres Sumbar memproses para pelaku sesuai hukum berlaku.

"Hal itu demi membuat para pelaku jerah dan tidak melakukan hal serupa pada masa mendatang. Penegakan hukum secara tegas juga bertujuan memberi pencerahan kepada masyarakat untuk tidak melakukan hal serupa dengan alasan apapun," tegas Bupati Yohanis.

Proses hukum dan pemberian sanksi tegas kepada pelaku itu demi memenuhi rasa keadilan bagi korban dan efek jera.

PANTAU - Bupati Sumba Barat; Yohanis Dade, S.H memantau pengerjaan proyek drainase di Kelurahan Wailiang Sumba Barat. Area lampiran (POS-KUPANG.COM/FERRY NDOEN)

Menurut Bupati Yohanis, sebagai Bupati, dia sangat tidak setuju dengan kejadian perbuatan melawan hukum itu.

"Tidak ada tradisi atau budaya seperti itu. Kalau dulu, biasanya berlangsung karena kesepakatan bersama kedua keluarga. Itu dulu. Zaman sekarang, tidak ada seperti itu lagi," tegas Bupati Yohanis.

Bupati Yohanis menilai tindakan yang dilakukan LB dan pelaku lainnya itu adalah bentuk pelanggaran HAM. "Sebab seorang perempuan berhak menentukan pilihan pasangan hidupnya. Bukan dipaksa-paksa seperti itu. Apalagi divideokan. Perbuatan itu, sangat tidak manusiawi," kata Bupati Yohanis.

Hal senada ditegaskan Lado Regi Tera selaku Rato Rumata atau tua adat, ketua suku dan ketua lembaga adat Situs Kampung Adat Tarung Kabupaten Sumbar, ditemui di kediamannya. Lado Regi mengatakan, video viral kawin tangkap yang pernah terjadi tahun 2021 dan kembali terjadi tahun 2022 ini bukanlah sebuah budaya adat Sumba.

Namun hal itu adalah bentuk pelanggaran HAM karena telah terjadi pelecehan terhadap seorang perempuan.
Karena itu, demikian Lado Regi Tera, Polisi mesti memproses hukum pelaku sesuai dengan hukum yang berlaku.

Tindakan tegas itu demi memberi rasa keadilan bagi kaum perempuan di Sumba Barat tercinta ini. Lado Regi Tera menegaskan, tindakan kawin tangkap sebagaimana terjadi itu jangan bertameng adat budaya Sumba untuk melegalkan tindak pelecehan terhadap kaum perempuan.

Lado Regi Tera menjelaskan, sebenarnya kawin tangkap tidak masuk dalam adat Budaya Sumbar, kecuali telah terjadi komunikasi dan kesepakatan antar seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk saling mencintai tetapi tidak mendapat restu dari salah satu orang tua. Sehingga keduanya memutuskan kawin lari atau kemudian disebut sebagai kawin tangkap.

Dan setelah perempuan ada di rumah laki-laki maka utusan keluarga lagi-laki datang ke orang tua keluarga perempuan memberitahukan bahwa tidak perlu mencari anak perempuannya karena saat ini anak perempuannya sudah ada di keluarga laki-laki.

Saat itulah, demikian Lado Regi Tera, biasanya terjadi perundingan untuk menentukan langkah proses adat istiadat perkàwinannya, apakah pihak laki-laki yang datang atau sebaliknya pihak perempuan yang datang mencari anaknya.

Karena itu, seorang laki-laki harus mempersiapkan dengan matang terutama soal maharnya khusus Sumba yakni hewan baik kuda maupun kerbau. Sebab hewannya cukup banyak. Dan makna kawin lari juga terjadi bila seorang laki-laki telah menjalin hubungan cinta dengan seorang perempuan tetapi dalam perjalanan kuatir bila laki-laki ataupun perempuan itu hendak pergi keluar daerah maka kedua keluarga bersepakat melakukan kawin lari.

Dan baginya, tanpa ada komunikasi, rasa saling mencintai dan kesepakatan bersama antar keduanya maka hal itu mustahil terjadi.

Karena itu video viral kawin tangkap yang beredar pada tahun 2021 dan tahun 2022 itu bukanlah sebuah adat budaya Sumba tetapi adalah salah satu bentuk pelecehan terhadap seorang perempuan.

Korban ANG dan keluarganya juga pelaku LB dan keluarganya, belum bisa dikonfirmasi Pos Kupang. Saat ditemui, mereka enggan berkomentar namun menyarankan agar Pos Kupang mengkonfirmasi hal itu langsung kepada pihak kepolisian dan pemerintah dalam hal ini Dinas DP5A karena sedang menangani kasus itu.

* Proses Hukum

KAPOLRES Sumba Barat, AKBP Anak Agung Gde Anom Wirata SIK MH meminta masyarakat Sumbar khususnya dan masyarakat NTT pada umumnya untuk bersabar menunggu perkembangan hasil penanganan kasus viralnya video kawin tangkap itu. Saat ini, penyidik terus bekerja dengan memanggil dan meminta keterangan sejumlah pihak terkait. Hasilnya, demikian Kapolres Agung, akan disampaikan ke publik.

Kapolres Agung memastikan, proses hukum atas kasus itu akan berjalan dengan baik dan meminta semua pihak mempercayakan hal itu kepada penyidik untuk memprosesnya hingga tuntas.

Kapolres Sumba Barat, AKBP Anak Agung Gde Anom Wirata didampingi Kanit PPA Polres Sumba Barat, Aipda Marthen Jurumana menggelar press release meluruskan sebuah video viral di media sosial facebook dan youtube atas dugaan kawin tangkap tanggal 14 Mei 2022 di ruang lobi Polres Sumba Barat, Kamis 19 Mei 2022. (POS-KUPANG.COM/PETRUS PITER)

Kasat Reskrim Polres Sumbar, Iptu Donatus Sare SH MH melalui pesan whatsApp, Senin (1/8), mengatakan, penyidik telah mengirim SPDP ke Kejaksaan dan pengiriman surat permintaan keterangan ahli.

Sebelumnya, Iptu Donatus ditemui Pos Kupang, mengungkapkan kronologis kasus itu. Menurut Iptu Donatus, ANG pulang ke kampungnya tanggal 14 juli 2022, setelah empat tahun bekerja di Bali. Selama itu ANG menjalin hubungan asmara dengan WB yang sama-sama bekerja di Bali. ANG pulang ke kampungnya untuk mengabarkan kepada keluarga kalau WB akan melamar dan menikahinya.

Proses pelamaran menurut adat Sumba akan dilakukan tanggal 25 Juli 2022, sehingga ANG dan keluarga mengundang kerabat dan tetangga untuk menanti kedatangan WB dan keluarganya. "Korban bersama keluarga telah menunggu kedatangan WB dan keluarganya dengan berbagai persiapan termasuk acara adat," kata Iptu Doni Sare, Sabtu (30/7).

Namun hingga sore hari, WB dan keluarganya tak kunjung datang sehingga ANG dan keluarganya kecewa dan malu. ANG berusaha menghubungi WB melalui telepon seluler tetapi tidak ada jawaban dari WB.

Melihat kondisi itu, salah satu keluarga korban, BN, menawarkan kepada LB yang adalah sepupu dari ANG agar bersedia menggantikan posisi WB untuk melamar ANG sebagai istrinya. Tindakan itu dilakukan untuk menutupi malu dan mengangkat harga diri keluarga ANG.

LB pun menyanggupinya dan berdasarkan adat dan kebiasaan di Sumba, LB mengambil seekor kuda milik salah satu perangkat desa lalu mengikat kuda tersebut di depan rumah ANG sebagai tanda ia hendak melamar ANG.

Setelah itu, LB langsung masuk ke dalam kamar ANG bersama tiga orang lainnya. Di kamar itu, LB langsung mengangkat tubuh ANG secara paksa dan membawa ke rumah LB. Saat dibawa para pelaku, ANG sempat berteriak dan menangis karena merasa malu dan sakit hati dengan WB yang tidak menepati janjinya.

Melihat hal itu, NN (60), ayah kandung ANG, hanya bisa diam menyaksikan anak gadisnya diambil LB dan tiga pria lainnya. Sementara ibu ANG histeris dan pingsan menyaksikan anak gadisnya diperlakukan sedemikian rupa.

Kemudian pelaku manaikan ANG ke atas mobil bak terbuka dan dibawa ke rumah LB. Saat itu ANG melawan karena merasa dilema dan tidak bisa mengendalikan diri terhadap situasi yang sedang dialaminya. Akibatnya, ANG mengalami beberapa luka lecet di pergelangan tangan kiri, punggung tangan kanan, dan memar di kaki kanan, akibat genggaman dari para pelaku saat membopongnya naik ke mobil.

Ketika tiba di rumah pelaku LB, ANG dinaikkan ke atas rumah. Disana, sesuai budaya Sumba, ANG diberikan sebilah parang oleh LB sebagai tanda lamaran. "Saat itu korban menerimanya dengan terpaksa," kata Iptu Doni Sare.

Pada malam hari, ANG menginap di rumah pelaku LB dan tidur bersama tante pelaku. Selama berada di dalam rumah pelaku, ANG tetap diperlakukan secara baik.

Pelaku mengaku melakukan hal tersebut karena berniat untuk mengangkat kembali harkat dan martabat ANG, yang merupakan saudara sepupunya. Namun, cara mengambil atau membawa korban untuk dijadikan sebagai istri, bertentangan dengan undang-undang. Kini, penyidik Polres Sumbar masih menangani kasus itu. (pet)

* Sepakat Damai

Pelaksana tugas Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP5A) Kabupaten Sumba Barat, Khatarina Dade, menjelaskan, pihaknya turun langsung ke lokasi untuk bertemu dan berdialog dengan kedua belah pihak.

Hal itu dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada korban. Sekaligus memberikan pemahaman kepada kedua belah pihak bahwa perbuatan kawin tangkap itu melanggar hukum.

Menurut Khatarina, video viral itu beredar pada Senin (25/7) lalu sehari kemudian, Selasa (26/7), pihaknya langsung ke lokasi bersama Unit PPA Polres Sumba Barat (Sumbar) untuk bertemu dengan kedua belah pihak, keluarga perempuan dan keluarga laki-laki termasuk korban dan pelaku.

Hal itu dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada mereka dan kedua belah pihak keluarga menerima dan memahaminya. Pihaknya juga mendatangi keluarga Laki-laki untuk menjemput ANG dan pertemuan berlangsung dengan baik.

Secara kekeluargaan, kedua keluarga sudah bersepakat secara adat untuk mengembalikan hewan adat pertanda resmi berpisah. Kedua keluarga bersepakat kembali tetap menjalani hubungan baik sebagai om dan tante.

Korban ANG kemudian dibawa dan dimintai keterangannya oleh penyidik di Polres Sumbar. Setelah selesai menjalani pemeriksaan dan hendak pulang, korban ANG mengaku merasa tidak aman bila kembali ke keluarganya dan korban juga masih trauma.

Karena itu, pihaknya langsung membawa mengamankan yang bersangkutan di rumah aman DP5A milik Pemerintah Kabupaten Sumbar. Khatarina menambahkan, korban ANG juga mendapatkan pendampingan psikolog untuk memulihkan traumatiknya.

Khatarina mengatakan, kepada tim DP5A dan unit PPA Polres Sumbar, korban ANG mengaku, LB adalah sepupunya dan dia tidak memiliki rasa cinta sama sekali kepada LB, yang adalah anak dari tantenya itu.

Korban ANG juga mengaku bahwa selama dua malam berada di rumah keluarga laki-laki, dia diperlakukan baik oleh keluarga laki-laki. Sebab mereka masih memiliki hubungan kekeluargaan dekat yakni sebagai anak om dan anak tante. Korban ANG adalah anak om, sedangkan LB adalah anak tante.

Selama dua hari berada di rumah aman, demikian Khatarina, korban ANG meminta pulang ke rumah salah satu anggota keluarganya. Dan setelah difasilitasi, akhirnya korban ANG dibawa ke rumah keluarganya itu.

Khatarina berharap kasus kawin tangkap ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk tidak melakukan hal yang sama di kemudian hari. Jika ada pemuda yang memiliki perasaan terhadap seorang pemudi maka hal itu diutarakan dengan baik dan jika ada kesepakatan lakukan proses lamaran dengan baik sebelum menikah.

Lebih lanjut dikatakan Khatarina, kejadian itu bermula saat ANG berpacaran dengan WB. Lalu WB berjanji akan datang melamar ANG secara resmi di kediaman orang tuanya, Senin (25/7).

Pada Hari H, seluruh keluarga ANG sudah siap. Tapi hingga sore hari, WB tak kunjung datang. Setiap kali ditelepon ke handphonenya tidak aktif.

Ditengah situasi demikian, pihak keluarga memandang sikap WB tersebut, telah melecehkan keluarga ANG. Karena itu, keluarga berunding untuk mengangkat kembali nama baik keluarga dengan tetap memproses adat itu. Selanjutnya, keluarga menghubungi keluarga LB untuk menggantikan WB melamar ANG.

"Niat ini baik, sayang cara yang dilakukan LB kurang baik sehingga menimbulkan permasalahan seperti saat itu," kata Khatarina.
Khatarina bersyukur karena kini kedua keluarga besar ANG dan LB, yakni keluarga om dan tante bersepakat mengakhiri hubungan tersebut dan kembali baik seperti sedia kala. (pet)

DPRD Sumba Barat : Bukan Zamannya Lagi

TIGA Anggota DPRD Kabupaten Sumba Barat (Sumbar), Lazarus Jaga Lede Wula yang juga adalah Ketua Komisi A DPRD Sumba Barat, Christian Ndelo, S.P dan Dominggus Bayo menegaskan bahwa kawin tangkap sudah bukan zamannya lagi dilakukan sekarang.

"Kalau dulu, mungkin ya. Tetapi pada zaman modern seperti sekarang, hal itu harusnya tidak perlu terjadi lagi," kata Lazarus dibenarkan Christian dan Dominggus, Senin (1/8).

Menurut Lazarus, perkawinan harus berlandaskan rasa saling cinta dan saling menyayangi antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Seorang perempuan berhak menentukan pilihan pasangan hidupnya.

Bukan berdasarkan paksaan orang tua apalagi pihak lain. Sebab, yang menjalani perkawinan adalah seorang perempuan dengan pasangannya, yang menjalani perkawinan adalah anak perempuannya, Bukan si orang tua yang menjalani perkawinan itu nantinya.

Karena itu, mereka berharap masyarakat bisa menghentikan niat untuk melakukan proses kawin tangkap sebelum melakukan perkawinan itu. Sebab, perbuatan itu justru melanggar hak asasi manusia karena melecehkan seorang perempuan.

Ketiganya juga mendukung langkah Polres Sumbar yang memproses hukum kasus kawin tangkap tersebut hingga tuntas. Hal ini dilakukan agar bisa meningkatkan penegakan hukum di wilayah Polres Sumbar.

Ketiganya mengomentari viralnya video kawin tangkap yang beredar di media sosial tanggal 25 Juli 2022 lalu.

 

- NEWS ANALYSIS
Veronika Ata, SH MHum, Ketua LPA NTT : Pelanggaran HAM

Pada prinsipnya budaya atau tradisi yang tidak mendiskriminasi perempuan dan anak serta tidak ada unsur kekerasan, akan selalu kami dukung. Sebaliknya, jika ada tradisi atau budaya yang tidak ramah terhadap permepuan dan anak maka budaya atau tardisi seperti itu harus ditinjau kembali.

Sebagaimana tindakan kawin tangkap yang katanya merupakan tradisi atau budaya yang ada di Kabupaten Sumba Barat (Sumbar) yang terjadi beberapa waktu lalu. Secara hukum, tindakan kawin tangkap seperti itu merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dari perempuan tersebut apalagi jika tak persetujuan dari yang bersangkutan.

Tindakan kawin tangkap bisa juga disamakan dengan kawin paksa jika perempuan dimaKSUD tidak menyepakati hal. Artinya kawin paksa itu melanggar ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dimana UU ini menghendaki terjadinya perkawinan atas persetujuan kedua belah pihak laki-laki dan perempuan.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak NTT, Veronika Atta (POS-KUPANG.COM/CHRISTIN MALEHERE)

Artinya ketentuan UU Perkawinan itu mengatur bahwa perkawinan itu terjadi jika ada persetujuan dari kedua belah pihak yang telah dewasa menurut hukum dan mampu bertanggungjawab keputusan yang diambilnya.

Sedangkan kondisi lapangan, menunjukkan bahwa kasus kawin tangkap atau kawin paksa telah merampas kemerdekaan perempuan dan juga terjadi tindakan eksploitasi terhadap seorang perempuan dalam menentukan pasangan hidupnya.

Sebaiknya, kawin tangkap itu perlu ditinjau kembali oleh pihak terkait karena terkesan sangat mengeksploitasi hak perempuan. Perempuan seakan tidak dapat memilih pasangan hidupnya secara bebas dan bertanggungjawab, ketika dia ditangkap lalu akhirnya mungkin secara terpaksa menyetujui untuk menikahi orang yang menjalankan proses kawin tangkap itu.

Karena itu, pihak terkait seperti tokoh adat, tokoh masyarakat dan pemerintah bahkan tokoh agama, mesti duduk bersama untuk membahas keberlangsungan proses dan kegiatan kawin tangkap yang biasanya digelar di Pulau Sumba. Bagaimana para pihak menghasilkan rumusan pelaksanaan kawin tangkap yang tidak menceredai hak asasi manusia si perempuan atau keluarga perempuan.

Jika itu adalah tradisi dan budaya di Sumba maka hal itu mesti ditinjau lagi. Jika kawin tangkap itu bukan tradisi dan budaya Sumba maka pelaku tindakan kawin tangkap itu mesti diproses hukum.

Karena tak jarang akibat dari kawin tangkap itu, perempuan menjadi malu, terganggu priskologisnya, trauma bahkan mengalami luka fisik saat berlangsung proses tangkap itu. Dan jika hal ini terjadi maka hak asasi manusia perempuan itu telah dilanggar. Dan perempuan dimasud bisa saja melaporkan hal ini ke aparat penegak hukum dan pelaku bisa diproses hukum.

Budaya dan tradsi memang harus dijaga dan dilestarikan, namun jika budaya atau tradisi itu melangar hak asais manusia, maka perlu ditinjau keberlangsungannya. Mungkin akan lebih baik jika budaya kawin tangkap itu ingin terus dilestarikan namun disesuaikan dengan perkembangan jaman, dan tidak melanggar hak asasi manusia.

Kapolda NTT menerima kunjungan dari Komnas Perempuan NTT, Jumat (20/11/2020). (POS-KUPANG.COM/RAY REBON)

Misalnya saja, sudah ada kesepakatan terlebih dahulu antara calon pasangan pengantin, lalu proses kawin tangkap, atau melakukan penangkapan dan membawa perempuan itu perempuan ke rumah si pria disepakati lalu dilakukan dengan memperhatikan hak asasi agar si permepuan tidak mengalami kekerasan fisik atau psikis misalnya.

Mungkin hal seperti itu yang bisa dilakukan agar budaya tradisi kawin tangkap itu bisa tetap dilakukan, dilestarikan dengan tetap memperhatikan hak asasi manusia. Jangan mengatasnamakan menjalankan budaya untuk bisa melegalkan tindakan melawan hukum atau melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dalma hal ini perempuan hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau keuntungan tertentu.

Pihak kepolisian mesti memproses hukum pelaku. Meski sudah berdamai, proses hukum terhadap pelaku mestinya tetap berjalan karena tindakan itu bukan bukan delik aduan. (cr14/vel)

 

Berita Terkini