Pandemi Corona

Bangkit di Tengah Pademi Corona, Aroma Teri Hadakewa Menembus Nusantara, Begini Cikal Bakalnya SIMAK

Penulis: Benny Dasman
Editor: Benny Dasman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, Kades Hadakadewa dan Bupati Lembata, Eliaser Jentji Sunur sedang menunjuk ikan teri Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com dengan judul Bermula dari SORGA Tercium Istana, Aroma Teri Hadakewa Menembus Nusantara, https://kupang.tribunnews.com/2020/11/07/bermula-dari-sorga-tercium-istana-aroma-teri-hadakewa-menembus-nusantara?page=4. Penulis: Benny Dasman Editor: Benny Dasman

POS KUPANG, COM KUPANG - PELUH bercucuran. Siang itu, Theresia Bota Wulo (49), beristirahat di bale-bale rumahnya. Baru saja usai menjual sayur. Dari pintu ke pintu menawarkannya kepada warga Desa Hadakewa. Mengaiz rezeki. Mencari lembaran-lembaran rupiah. Agar asap dapur tetap mengepul. Terus mengepul.

Selain menjual sayur, Theresia menjual kayu api. Berjuangan sendirian. Tanpa suami, yang juga mencari rupiah di seberang sana. Di Malaysia. Negeri Jiran. Pendapatan sang suami di rantau, pun pas-pasan. Tak cukup membuat Theresia tersenyum. Membiayai anak sekolah bahkan harus hutang.

Tatkala pandemi Covid-19 datang 'menyapa', kondisi ekonomi keluarga Theresia semakin tiarap. Tidak menentu. Namun Theresia tetap gigih berjualan sayur dan kayu api. Hasilnya cukup untuk makan sehari. Besok? Jualan lagi! "Syukur-syukur bawa pulang Rp 30 ribu setiap hari," ujar Theresia sembari membatin agar Tuhan menyehatkan raganya. Tak 'tersentuh' corona.

Tak hanya keluarga Theresia. Banyak keluarga lain di Hadakewa, juga tergolong miskin. Hidup pas-pasan. Namun mereka tidak menyerah pada keadaan. Desa yang dihuni 1.053 jiwa ini terletak di pesisir timur Pulau Lembata. Tercatat sebagai salah satu desa miskin di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Jaraknya kurang lebih 13 kilometer dari Lewoleba, kota kabupaten. Desa ini masuk Kecamatan Lebatukan.

Bermental 'petarung'. Esi, sapaan akrab Theresia, mencari peluang kerja lain agar tetap produktif di masa pandemi ini. Benar! Mama Esi diterima bekerja pada usaha ikan teri. Usaha ini dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Hadakewa. Saban hari Mama Esi, dan ibu-ibu lainnya sekitar 30 orang, 'menyerbu' Kantor BUMDes. Pukul 08.00 Wita tinggalkan rumah. Tugas mereka di Kantor BUMDes menjemur ikan teri. Hingga pukul 16.00 Wita.

"Tuhan, mudah-mudahan usaha ini mengatasi kesulitan ekonomi keluarga saya pada masa pandemi ini," Mama Esi bersyukur. Pada hari pertama bekerja, Mama Esi sumringah. Tersenyum. Sang ibu rumah tangga ini bisa membawa pulang uang lebih dari Rp 100.000. Tak pernah dialami sebelumnya.

Mama Esi dan kawan-kawan diupah sesuai kemampuan kerja. Jika berhasil menjemur satu kilogram ikan teri, mendapat Rp 1.000. "Saya puas dan bersyukur. Tak hanya mengandalkan uang kiriman dari sang suami di tanah rantau. Sekarang saya bisa beli beras, minyak goreng, dan lain-lain dari usaha ikan teri ini. Bahkan saya bisa sisihkan untuk biaya anak sekolah," tutur ibu dua anak ini.

Bermula dari SORGA

Gebrakan pertama. Usaha ikan teri ini berawal dari gagasan cerdas Kepala Desa Hadakewa, Klemens Kewa Aman. Sosok energik, berusia 35 tahun, ini berobsesi membebaskan warganya dari belenggu kemiskinan. Hadakewa sangat tertinggal.

Klemens memanfaatkan potensi di desanya untuk mendulang rupiah. Sejengkal pun tak boleh disia-siakan. Pada tahun 2017, Klemens menyulap lokasi kumuh di bibir pantai desa setempat menjadi pusat 'sorga' (sarana olahraga). Membangun lapangan futsal dan taman baca. Juga balai pelatihan.

Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com dengan judul Bermula dari SORGA Tercium Istana, Aroma Teri Hadakewa Menembus Nusantara, https://kupang.tribunnews.com/2020/11/07/bermula-dari-sorga-tercium-istana-aroma-teri-hadakewa-menembus-nusantara.

Luar biasa! Tempat yang dulunya menggunung sampah, beraroma tak sedap, dijauhi warga, kini menjadi asri. Warga beramai-ramai bermain futsal. Menggunakan fasilitas taman baca untuk 'menaklukkan' dunia. Gratis? Tidak, ada retribusinya.

Klemens tak berhenti berkreasi. Menggebrak lagi. Pada tahun yang sama, membangun infrastruktur berupa jembatan titian (jeti/dermaga). Lokasinya dekat Pasar Hadakewa. Tempat tambat perahu-perahu nelayan, sekaligus tempat bongkar muat ikan. Sistem satu pintu. Juga membangun Tempat penampungan ikan (TPI). Dilengkapi cool box berukuran besar.

Alasannya sederhana. Penduduk Hadakewa didominasi nelayan. Klemens memberikan perhatian serius agar nelayan setempat produktif. Setiap kapal yang labuh tambat di dermaga ditarik retribusi. Memanen rupiah.

Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Dana hasil retribusi pada tahun 2017 menembus angka Rp 85 juta. Jumlah yang terbilang fantastis dari tahun sebelumnya. Klemens pun memutuskan membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Hadakewa. Dibaptis dengan nama 'Tujuh Maret." Dana Rp 85 juta sebagai modal awal BUMDes Tujuh Maret.

Tahun 2018, Klemens mulai beraksi. Bersama para perangkat desa, disepakati BUMDes Tujuh Maret Hadakewa melakoni usaha produk ikan teri kemasan. Alasannya sederhana. Memanfaatkan potensi lokal. Hadakewa penghasil ikan teri. Letaknya di dekat pantai, membuat potensi ikan di desa ini berlimpah.

Hadakewa dipatri sebagai penghasil ikan tertinggi di Lembata. Rata-rata produksi 10 ton ikan basah dan kering setiap dua bulan. Setahun bisa mencapai ratusan ton. Namun bertahun-tahun lamanya tak berdampak pada kehidupan warga. Tetap miskin. Anak-anak sekolah dasar banyak yang drop-out. Membantu orangtua (melaut, ke kebun) memperkuat ekonomi keluarga.

Mirisnya, ikan teri tangkapan nelayan banyak menyasar tengkulak. Harganya murah. Posisi tawar para nelayan lemah. Tak berdaya. Karena butuh uang, ikan teri dilego dengan harga tak wajar. Pulang rumah dengan kepala tertunduk. Nelayan buntung, menjerit. Tak ada keuntungan untuk anak-istri.

Sang Kades, Klemens Kewaaman, tak tinggal diam. Memutar otak. Bagaimana agar ikan teri sebagai ikon Hadakewa itu bernilai jual tinggi. Nelayan untung. Di baliknya ada obsesi besar. Menggaungkan, menggemakan Hadakewa menjadi terkenal. Tak hanya di Lembata tetapi di seantero nusantara. Bahkan dunia.

Klemens pun membangun sejumlah infrastruktur. Menunjang profesi nelayan agar produktif. Dananya? Memanfaatkan dana desa. Beberapa sarana pendukung pun dibangun. Mulai dari tempat pengeringan, pengadaan bahan baku hingga bahan kemasan ikan teri. Para nelayan disuport habis-habisan. Klemens tak mau setengah-setengah. Total untuk rakyat.

Hasilnya nyata. Para tengkulak tak berkutik. Gigit jari. Klemens meminta semua nelayan penerima bantuan dana desa menjual ikan terinya ke BUMDes Tujuh Maret. Di sini, kaum ibu, antara lain Mama Esi, sigap melakukan pengeringan. Sesudahnya teri diolah dan 'didandani' (dikemas) menarik. Diproduksi tanpa bahan pengawet.

Ikon ikan teri kemasan dengan label "Teri Hadakewa" diluncurkan. Dari sebuah desa yang dulunya kumuh, tertinggal. Beragam ukuran kemasan. Ada 100 gram, 250 gram, 500 gram, dan satu kilogram. Tinggal pilih. Sesuai kantong.

Pun sesuai selera. Teri Hadakewa tersedia dalam berbagai pilihan. Ada Mao Merah, Mao Putih, Peseng-Peseng dan Pahada. Pembelian dapat dilakukan secara langsung. Pun pemesanan secara online melalui website desa http://hadakewa.desa.id. Hebat!

Awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal. Namun siapa sangka. Karena pemasaran dan promosi semakin gencar, respons pasar sangat bagus. Kades Klemens pun tak menyangka gebrakannya berbuah manis.

Tercium Istana Negara

Hadakewa. Nun jauh di sana. Tak menyangka. Sang Kades Klemens, lulusan Fakultas Teknik Elektro, Universitas Hassanudin Makassar, ini mendapat kabar gembira. Aroma usaha ikan teri yang dirintisnya menyembur, tercium 'mengharumi' Istana Negara. Menembus Nusantara. Sampai ke telinga orang nomor satu di negeri ini. Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Presiden Jokowi mengajak Kades Klemens menghadiri acara Benchmarking di India, 3-12 September 2019. Para forum itu, Klemens diminta membagikan pengalamannya mengelola potensi desa (ikan teri) kepada aparatur desa di India. Sekaligus mengabarkannya kepada dunia.

Kades Klemens klepek-klepek. Seperti mimpi di siang bolong. Tak pernah terlintas sebelumnya bersama Jokowi mengikuti acara bergengsi dunia. Sontak, cerita sukses sang kades, seperti aroma teri, terus menggelinding. Semakin tenar. Dibahas di warung-warung kopi Lembata. Nama Desa Hadakewa pun mengudara.

Bak mendapat amunisi baru, sepulang dari India, Kades Klemens semakin bergairah membangun Hadakewa. Pada tahun 2019, Klemens mengalokasikan dana desa senilai Rp 128 juta untuk pengadaan tiga unit kapal. Memperkuat pasokan bahan baku teri. Sebelumnya para nelayan Hadakewa bekerja di kapal milik orang luar. Pembagian hasil diatur pemilik kapal. Lagi-lagi para nelayan rugi.

Kabar baik. Agenda Klemens membeli tiga unit kapal mendapat mendapat dukungan Pemkab Lembata. Terpilih sebagai desa tematik, Hadakewa mendapat suntikan dana sebesar Rp 200 juta. Klemens menyisihkannya untuk menambah dana pembelian kapal.

Pada September 2019, Klemens memberikan tiga unit kapal itu kepada nelayan. Ada kriteria untuk tiga nelayan penerima pertama. Skemanya, nelayan membeli kapal itu dengan cara mencicil. Bukan dengan uang. Dengan ikan teri.

Kini, dampaknya terlihat. Produksi ikan teri kemasan Hadakewa terus 'menggurita.' Tenaga kerja lokal, terutama ibu-ibu rumah tangga untuk melakukan penjemuran, terus bertambah. Kini mencapai 30-an orang. Kebanyakan suami mereka merantau. Mereka tetap produktif di tengah pandemi corona, yang hingga kini belum melandai.

Kades Klemens tidak membantah jika awalnya produksi teri kemasan Hadakewa hanya untuk memenuhi pasar lokal, Lembata, dan NTT. Namun seiring pertambahan sarana dan prasarana, Klemens bangga saat ini teri Hadakewa menembus pasar nasional. Menggebrak Nusantara. "Puji Tuhan. Semua ini bukan terjadi secara instan. Hasil kerja keras masyarakat Hadakewa," ujar Klemens merendah, belum lama ini.

Klemens bangga permintaan teri kemasan dari desanya terus meningkat. Bahkan, sejak Juli 2019 lalu pengiriman teri ke Jakarta mencapai 100 bungkus setiap minggu. Nilai per bungkus Rp 25 ribu. "Katanya rasa teri kita rasa lautnya kentara. Ini bedanya," ujar Klemens.

Klemens bertangan dingin. Usaha mengangkat dan mengelola potensi desanya membuahkan hasil. Pantas berbangga, pada tahun 2019, Hadakewa bertengger dalam posisi 10 besar  pengelolaan BUMDes terbaik tingkat nasional. Satu-satunya dari NTT. Karena kemiskinan yang mendera, selalu diplesetkan dengan Nanti Tuhan Tolong.

Sistem Digitalisasi

Kades Klemens menyebut kiat sukses BUMDes Tujuh Maret masuk nominasi 10 besar nasional karena pemasaran ikan teri Hadakewa dilakukan secara digital. Terintegrasi dengan beberapa market place. Fungsinya mempromosi dan memasarkan Teri Hadakewa.

Pada masa pendemi corona saat ini, Kades Klemens terus meretas pasar. Bahkan menyasar pasar digital, Tokopedia dan Shoopie. "Siapa tak kenal Tokopedia dan Shoopie. Semua, siapa saja, bisa akses. Kami sangat bangga. Kami juga memiliki halaman desa bersponsor untuk pasarkan. Selain itu melalui instagram desa dan whatsapp," Klemens promosi.

Gara-gara ikan teri, Kades Klemens mengaku diwawancarai langsung Presiden Joko Widodo pada 1 Juli 2020 lalu. Bersama sembilan kepala desa lainnya di Indonesia. Kepada Jokowi, Kades Klemens melitanikan singkat profil usaha ikan teri yang digagasnya.

"Bapak presiden sangat mendukung. Memotivasi kami menggunakan dana desa untuk kesejahteraan rakyat, terutama untuk tetap produktif selama masa pandemi ini. Kepada bapak presiden saya komit berkreasi agar warga Hadakewa tetap produktif di masa pandemi corona ini. Ini janji saya kepada bapak presiden. Asap dapur warga harus tetap mengepul," terang Klemens.

Presiden Jokowi, diakui Klemens, sangat bangga ketika dirinya memaparkan bahwa
semua bagian pekerjaan usaha ikan teri ini diambil alih masyarakat Hadakewa sendiri. Mulai dari bagian penjemuran, sortir hingga pengemasan.

"Untuk pekerja di bagian sortir, digaji berdasarkan tingkat kesulitan pekerjaan. Ikan teri yang disortir tujuh jenis. Tingkat kesulitan sortir tinggi karena jenis ikan tercampur. Maka satu kali sortir itu, pekerja dibayar Rp 5.000 per kilogram. Mereka senang. Pada masa pandemi ini warga yang bekerja selalu bawa uang ke rumah. Usaha ini menjadi sumber pendapatan bagi warga pekerja yang berjumlah berkisar 20-30 orang. Terutama ibu-ibu rumah tangga. Dampak ekonominya benar-benar dirasakan masyarakat," paparnya.

Klemens pun mengadvokasi semua pengelola BUMDes Tujuh Maret agar memanfaatkan momen digitalisasi saat ini karena sangat efektif dan praktis untuk memasarkan ikan teri kemasan Hadakewa. "Semua warga, tak terkecuali, agar melakukan aktifitas secara online berbasis aplikasi. Dengan demikian, kita tetap produktif di masa pandemi ini," bebernya.

Dampak promosi pada masa pendemi ini, diakui Klemens, BUMDesa 7 Maret-Hadakewa sudah miliki beberapa reseller pemasaran di Jakarta. Klemens senang karena pemasaran terus menggurita. Dia berobsesi pemasaran menembus nusantara, di semua daerah di Indonesia.

"Kita sedang menyiapkan MoU dengan beberapa reseller pemasaran di Jakarta. Pengusaha di Jakarta sudah siap memasarkan produk kami. Selama ini mereka akrab dengan produk teri dari Medan. Sampel produk teri kita sudah kirim. Kita juga terus meningkatkan kualitas produk agar tergerus produk sejenis lainnya, terutama dari Medan," tukas Klemens.

Tentang pengalamannya pada acara Benchmarking di India, Klemens memaparkan proses pengolahan ikan teri sampai jadi produk yang layak dijual ke pasaran melalui media teknologi informasi. "Saya bangga berada di forum itu. Terima kasih Bapak Jokowi," kenangnya.

Setelah sukses dengan inovasi ikan teri dan menjadi salah satu desa tematik di Lembata, Klemens bertekad mengembangkan pariwisata di desanya. Pariwisata menjadikan warga Hadakewa tetap produktif di masa pandemi. Banyak peluang usaha yang digarap. Lulusan Universitas Kristen Indonesia Paulus Makassar ini menjadikan Hadakewa sebagai desa wisata dengan potensi laut yang indah. Fokusnya pengembangan wisata kuliner.

Anggota DPRD NTT Bonifasius Jebarus sedang melihat proses pengeringan ikan teri di Desa Hadakewa, Kecamatan Lebatukan Kabupaten Lembata, Kamis (23/9/2029) Area lampiran (Foto/Ricko Wawo/)
Keunggulan NTT

Pemkab Lembata bangga memiliki kades yang kreatif dan cerdas mengelola dana desa serta potensi desa. Bupati Lembata, Eliaser Jentji Sunur tidak basa-basi meminta desa-desa lain di daerah itu belajar dari Desa Hadakewa. Mengembangkan potensi desa menjadi produk unggulan desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pada tahun 2019 lalu, Bupati Jentji Sunur menyuntik dana kepada BUMDes Tujuh Maret Hadakewa sebesar Rp 400 juta. Misinya jelas, agar usaha ikan teri berkembang pesat, bahkan menggurita. Dengan demikian rakyat ikut menikmati hasilnya.

Dengan dukungan Rp 400 juta dari Pemkab Lembata, kini BUMDes Tujuh Maret Hadakewa memiliki 30 kapal bagan pemasok ikan teri. Dari hasil usaha ikan teri, BUMDes Tujuh Maret, sebagaimana diakui Kades Klemens, akan menerapkan program bantuan bergulir untuk pengadaan kapal agar semua nelayan setempat memilikinya. Optismisme terus digaungkan.

Prestasi ini pun juga mengundang decak kagum dari berbagai kalangan. Adalah Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi NTT, Sinun Petrus Manuk, turut mengapresiasi.

"Saya kagum Hadakewa sudah memiliki Sorga atau sarana olahraga yang cukup lengkap untuk semua cabang olahraga seperti futsal, badminton dan voli. Mereka juga sudah memiliki gedung untuk bengkel kerja sekaligus taman baca," Sinun Manuk bangga.

Usaha ikan teri Hadakewa yang telah menembus pasar nasional, pun menuai pujian
dari Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat. Viktor melukiskan usaha teri Hadakewa ini sebagai inovasi yang luar biasa dan diyakini ke depan menjadi salah satu keunggulan NTT.

Gubernur Viktor menyaksikan langsung aktivitas usaha teri Hadakewa dalam kunjungan kerjanya ke Kabupaten Lembata akhir Juli 2020 lalu. Tak henti-hentinya Gubernur Viktor menyatakan mendukung pengembangan usaha teri Hadakewa. Bahkan menjanjikan bantuan fasilitas seperti rumah pengering dan armada kapal ketinting.

Gubernur Viktor meminta setiap BUMDes di NTT perlu mengembangkan model ekonomi kreatif dan inovatif seperti yang dilakukan di Hadakewa. Dengan cara itu mendukung program pemerintah provinsi daam mewujudkan masyarakat NTT yang mandiri secara ekonomi. Bebas dari belenggu kemiskinan.

Hasil analisa Badan Pusat Statistik (BPS) NTT selama kurun waktu bulan September 2018 hingga Maret 2019 menyebutkan penduduk miskin di daerah perkotaan di NTT pada September 2018 sebesar 9,09%, turun menjadi 8,84% pada Maret 2019. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2018 sebesar 24,65%, naik menjadi 24,91% pada Maret 2019.

Secara rata-rata, rumah tangga miskin di NTT pada Maret 2019 adalah 5,84 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya garis kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata sebesar Rp 2.183.704/rumah tangga miskin/bulan.

Untuk garis kemiskinan, pada Maret 2019 tercatat sebesar Rp 373.922/kapita/bulan dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp 292.305/kapita/bulan (78,17 persen). Sementara dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp 81.617/kapita/bulan atau 21,83 persen.

Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di NTT pada Februari 2019 mengalami kenaikan 3,10% dibandingkan Februari 2018 dan Agustus 2018 dengan kenaikan masing-masing sebesar 0,12% poin dan 0,09% poin. Tingkat pengangguran terbuka di NTT juga mengalami peningkatan mencapai 3%.

Tak ketinggalan Koordinator P3MD Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) wilayah NTT, Kandidatus Angge, melontarkan pujian terhadap usaha ikan teri Hadakewa yang dikelola melalui BUMDes Tujuh Maret.

"Usaha ikan teri di Hadakewa ini adalah bukti nyata bagaimana pemerintah dan masyarakat desa berhasil memanfaatkan dana desa dari APBN untuk menggeliatkan potensi ekonominya," katanya.

Kandidatus berharap, keberhasilan BUMDes Tujuh Maret Hadakewa dapat merangsang BUMDes lainnya di seluruh NTT untuk berani berinovasi memanfaatkan dukungan dana desa yang dikucurkan pemerintah pusat. Terutama, membangkitkan ekonomi warga di tengah pandemi corona. Itu misi utamanya.

Kini, mendengar nama Hadakewa, terlintas di pikiran sebagai 'oase' penghasil ikan teri nasional. Bermula dari inovasi Hadakewa, NTT akan menjadi Nikmat Tiada Tara. Bukan Nanti Tuhan Tolong. Ikut bangga. (Laporan wartawan Pos Kupang, com, benny dasman)

Berita Terkini