Ramadan 2020

Bolehkan Berhubungan Badan di Siang Hari Saat Puasa Ramadan? Begini Kata Ustadz Abdul Somad ( UAS )

Editor: Adiana Ahmad
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi

Bolehkah Berhubungan Badan di Siang Hari Saat Puasa Ramadhan? Begini Kata Ustadz Abdul Somad ( UAS )

POS-KUPANG.COM - Puasa Ramadan sebentar lagi. Ketahuilah apa yang halal dan haram saat puasa ramadan. 
Salah satunya berhubungan badan di siang hari saat puasa ramadan.
Lalu bagaimana hukumnya berhubungan badan saat puasa ramadan? Begini penjelasan Ustaz Abdul Somad dan para ulama

Sebuah artike berjudul 'Kafarat atau Denda Hubungan Badan saat Puasa Ramadhan' di nu.or.id mengupas tuntas tentang hal ini. 

Artikel tersebut ditulis oleh Ustadz M. Tatam Wijaya, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin”, Sukanagara, Cianjur, Jawa Barat.

Inilah isi lengkap artikel tersebut : 

Diketahui bahwa orang yang sengaja merusak puasanya di bulan Ramadhan dengan senggama atau hubungan seksual, wajib menjalankan kifarah ‘udhma (kafarat besar), dengan urutan kafarat (denda) sebagai berikut.

Pertama, ia harus memerdekakan hamba sahaya perempuan yang beriman, tak boleh yang lain. Sahaya itu juga harus bebas dari cacat yang mengganggu kinerjanya. Kedua, jika tidak mampu, ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Ketiga, jika tidak mampu, ia harus memberi makanan kepada 60 orang miskin, masing-masing sebanyak satu mud (kurang lebih sepertiga liter). Kafarat di atas berdasarkan hadits sahih berikut ini:

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ، وَقَعْتُ عَلَى أَهْلِي فِي رَمَضَانَ، قَالَ: أَعْتِقْ رَقَبَةً قَالَ: لَيْسَ لِي، قَالَ: فَصُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ: لاَ أَسْتَطِيعُ، قَالَ: فَأَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا

Artinya: Abu Hurairah meriwayatkan, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ﷺ lantas berkata, “Celakalah aku! Aku mencampuri istriku (siang hari) di bulan Ramadhan. Beliau bersabda, “Merdekakanlah seorang hamba sahaya perempuan.” Dijawab oleh laki-laki itu, “Aku tidak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut.” Dijawab lagi oleh laki-laki itu, “Aku tak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berikanlah makanan kepada enam puluh orang miskin,” (HR al-Bukhari).

Atas dasar itu pula, para ulama fiqih—terutama ulama fiqih Syafi‘i—sepakat untuk menetapkan kafarat tersebut. Antara lain yang dilakukan Syekh Salim ibn Sumair al-Hadhrami dalam kitabnya Safînah al-Najâh, (Terbitan Darul Ihya, Cetakan pertama, Tanpa tahun, halaman 112), sebagaimana petikan berikut:

يجب مع القضاء للصوم الكفارة العظمى والتعزير على من أفسد صومه في رمضان يوما كاملا بجماع تام آثم به للصوم

Artinya, “Selain qadha, juga wajib kifarah ‘udhma disertai ta‘zir bagi orang yang merusak puasanya di bulan Ramadhan sehari penuh dengan senggama yang sesungguhnya dan dengan senggama itu pelakunya berdosa karena puasanya.”

Mengingat pentingnya pembahasan kafarat tersebut, kiranya perlu dirinci model (pelanggaran) senggama seperti apa yang mengakibatkan pelakunya harus terkena sanksi sebagaimana di atas.

Dalam Kâsyifah al-Sajâ (Terbitan Darul Ihya, Cetakan pertama, Tanpa tahun, halaman 112), Syekh Nawawi al-Bantani merinci sebelas persyaratan jatuhnya kifarah ‘udhma. Berikut adalah sebelas persyaratan dimaksud disertai penjelasan secukupnya dari kitab Asnâ al-Mathâlib fî Syarh Raudh al-Thâlib karya Syekh Zakariya ibn Muhammad ibn Zakariya al-Anshari, (Cetakan Darul Kitab al-Islami, Tanpa Tahun, Jilid 1, mulai dari halaman 425).

Pertama, kewajiban kifarah ‘udhma dijatuhkan kepada orang yang sengaja menyenggama melalui kemaluan atau anus. Sedangkan kepada orang yang disenggama tidak dijatuhkan, baik laki-laki maupun perempuan. Hal itu seperti yang dikemukakan dalam Asnâ al-Mathâlib: 

لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهَا لِأَنَّهُ لَمْ يُؤْمَرْ بِهَا فِي الْخَبَرِ إلَّا الرَّجُلُ الْمَوَاقِعُ

Artinya: “Tidak kafarat bagi wanita yang disenggama, sebab ia tidak diperintah melakukannya, kecuali laki-laki yang menyenggamanya,, berdasarkan hadits.”

فَيَخْتَصُّ بِالرَّجُلِ الْوَاطِئِ كَالْمَهْرِ فَلَا يَجِبُ عَلَى الْمَوْطُوءَةِ وَلَا عَلَى الرَّجُلِ الْمَوْطُوءِ كَمَا نَقَلَهُ ابْنُ الرِّفْعَةِ

Artinya, “Tak beda dengan mahar, sanksi kafarat ini hanya dikhususkan bagi laki-laki yang menyenggama. Sehingga, tidak ada kewajiban bagi wanita yang disenggama, juga kepada laki-laki yang disenggama, sebagai yang dikutip oleh Ibnu al-Rif‘ah.”

Kedua, kafarat ini tidak dijatuhkan kecuali kepada orang yang merusak puasanya dengan senggama, dilakukannya secara sengaja, menyadari sedang berpuasa, tahu keharamannya, kendati dirinya tidak tahu kewajiban kafarat itu. Sehingga, jika ia merusak puasanya terlebih dahulu dengan yang lain, seperti makanan, kemudian bersenggama, maka tidak ada kafarat baginya, sebagaimana dalam Asna al-Mathalib:

وَقَوْلُنَا بِجِمَاعٍ احْتِرَازًا مِمَّنْ أَفْطَرَ أَوَّلًا بِغَيْرِهِ ثُمَّ جَامَعَ فَإِنَّهُ لَا كَفَّارَةَ فِي ذَلِكَ

Artinya, “Maksud kami dengan ‘senggama’ mengecualikan orang yang sebelumnya membatalkan puasa dengan selain senggama, kemudian ia bersenggama, maka tidak kewajiban kafarat di dalamnya.”

Begitu pula jika ia dipaksa melakukannya, karena lupa, dan karena ketidaktahuan yang diampuni, maka tidak perlu kafarat baginya.

Ketiga, yang dirusak adalah ibadah puasa. Selain ibadah puasa, seperti ibadah shalat atau i'tikaf, tidak ada kewajiban kafarat.

Keempat, yang dirusak adalah puasa diri sendiri. Berbeda halnya jika yang dirusak adalah puasa orang lain, seperti seorang musafir atau orang sakit merusak puasa istrinya.

لَوْ كَانَ بِهِ عُذْرٌ يُبِيحُ الْوَطْءَ مِنْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ فَجَامَعَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ صَائِمَةٌ مُخْتَارَةٌ فَإِنَّهُ لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ بِإِفْسَادِ صَوْمِهَا

Artinya, “Andai ada udzur yang membolehkan senggama seperti perjalanan jauh atau yang lain, kemudian seseorang bersenggama dengan istrinya, padahal istrinya sedang berpuasa dan menginginkan itu, maka tidak ada kewajiban kafarat bagi orang tersebut walau telah merusak puasa istrinya.”

Kelima, senggama dilakukan di bulan Ramadhan, walaupun masuknya bulan Ramadhan karena hasil pengamatan diri sendiri terhadap hilal atau karena informasi orang yang dipercaya.
وَقَوْلُنَا مِنْ رَمَضَانَ احْتِرَازًا مِنْ الْقَضَاءِ وَالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ) فَلَا كَفَّارَةَ فِي إفْسَادِهَا لِوُرُودِ النَّصِّ فِي رَمَضَانَ وَهُوَ مُخْتَصٌّ بِفَضَائِلَ لَا يُشْرِكُهُ فِيهَا غَيْرُهُ

Artinya, “Maksud kami dengan ‘bulan Ramadhan’ adalah mengecualikan puasa qadha, puasa nazar, dan sebagainya. Sehingga tidak ada kafarat karena rusaknya puasa-puasa tersebut berdasarkan nas yang ada. Sebab, bulan tersebut diistimewakan dengan sejumlah keutamaan yang tak tertandingi oleh bulan-bulan yang lain.”

Keenam, kafarat dijatuhkan karena aktivitas senggama meskipun aktivitasnya berupa anal seks, baik dengan manusia, dengan mayat, maupun dengan hewan, walaupun tak sampai keluar sperma. Berbeda halnya dengan aktivitas seksual yang lain, seperti onani, masturbasi, dan oral seks walaupun hingga keluar sperma. Maka beberapa aktivitas seksual terakhir ini tidak mewajibkan kafarat.

Ketujuh, sang pelaku berdosa karena membatalkan puasanya dengan senggama. Berbeda halnya jika sang pelaku masih anak-anak (belum ditaklif), atau orang yang musafir dan orang sakit, lalu keduanya bersenggama karena merasa memiliki keringanan (rukhshah). Pasalnya, mereka tidak berdosa dengan senggama mereka.

لَوْ كَانَ بِهِ عُذْرٌ يُبِيحُ الْوَطْءَ مِنْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ فَجَامَعَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ صَائِمَةٌ مُخْتَارَةٌ فَإِنَّهُ لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ بِإِفْسَادِ صَوْمِهَا

Artinya, “Andai ada udzur yang membolehkan senggama seperti perjalanan jauh atau yang lain, kemudian seseorang senggama dengan istrinya, padahal istrinya sedang berpuasa dan menginginkan itu, maka tidak ada kewajiban kafarat bagi orang tersebut walau telah merusak puasa istrinya.”

Kedelapan, dosa senggama pelaku hanya karena puasa.

ـ )وَقَوْلُنَا لِأَجْلِ الصَّوْمِ احْتِرَازًا مِنْ مُسَافِرٍ( أَوْ مَرِيضٍ )زَنَى( أَوْ جَامَعَ حَلِيلَتَهُ بِغَيْرِ نِيَّةِ التَّرَخُّصِ فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ )فَإِنَّهُ أَثِمَ لِأَجْلِ الزِّنَا( أَوْ لِأَجْلِ الصَّوْمِ مَعَ عَدَمِ نِيَّةِ التَّرَخُّصِ

Artinya, “Maksud pernyataan kami ‘karena puasa’ adalah mengeluarkan orang yang bepergian jauh atau orang sakit lalu berzina, atau mencampuri istrinya tanpa merasa punya rukhshah, maka tidak ada kafarat baginya. Sebab, ia berdosa karena zina atau karena puasa tapi tak merasa punya rukhshah (keringanan).”

Kesembilan, yang dirusak haruslah puasa sehari penuh dan pelakunya dikategorikan sebagai orang yang wajib berpuasa dalam sisa hari setelah senggamanya. Sehingga, orang yang pada suatu hari bersenggama tanpa ada alasan kemudian mengalami tunagrahita atau meninggal dunia pada sisa hari tersebut, berarti ia tidak dianggap merusak sehari penuh.

Kesepuluh, waktu yang dipakai pelaku bersenggama tidak samar dan tidak diragukan. Berbeda halnya jika ia mengira waktu masih malam, waktu sudah masuk malam, atau meragukan salah satunya, namun ternyata waktu sudah siang atau masih siang. Begitu pula bila ia makan karena lupa, lantas mengira puasanya sudah batal, lalu bersenggama secara sengaja. Maka tidak ada kafarat.

كَمَا لَوْ جَامَعَ ظَانًّا بَقَاءَ اللَّيْلِ فَبَانَ خِلَافُهُ )وَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ( لِأَنَّهُ جَامَعَ مُعْتَقِدًا أَنَّهُ غَيْرُ صَائِمٍ وَهَذَا خَارِجٌ بِقَوْلِهِ لِأَجْلِ الصَّوْمِ

Artinya, “Demikian halnya seandainya ada seseorang mencampuri istrinya karena mengira masih malam, namun ternyata sudah siang, maka tidak ada kewajiban kafarat baginya, karena ia melakukan itu atas dasar keyakinan dirinya belum berpuasa. Kesimpulan ini keluar dari pernyataan penulis matan ‘karena tujuan puasa.’”

Dengan demikian, orang yang mengetahui waktu sudah siang atau masih siang, maka mestinya ia seketika menghentikan senggamanya dan kembali berimsak disertai qadha di hari yang lain. Sebab, jika tidak, ia akan dijatuhi kewajiban kafarat karena sengaja melanjutkannya.

مَا إذَا طَلَعَ عَلَيْهِ الْفَجْرُ وَهُوَ مُجَامِعٌ فَاسْتَدَامَ فَإِنَّ الْأَصَحَّ الْمَنْصُوصُ وُجُوبُ الْكَفَّارَةِ مَعَ انْتِفَاءِ فَسَادِ الصَّوْمِ فِي هَذِهِ الصُّورَةِ

Artinya, “Jika fajar terbit, sedangkan seseorang sedang bersenggama, namun tetap meneruskannya, maka berdasarkan nas yang paling sahih, ia wajib menjalankan kafarat, walaupun tertolaknya kerusakan puasa dalam kondisi ini (karena puasanya tidak sah).”

Kesebelas, senggama yakin dilakukan di bulan Ramadhan. Berbeda halnya jika pelaku tidak yakin dirinya sudah memasuki bulan Ramaadhan, kemudian ia berpuasa dengan hasil ijtihadnya dan membatalkan puasanya dengan senggama, namun ijtihadnya ternyata salah, maka tidak ada kewajiban kafarat baginya. Wallahu a'lam.

Selain itu, terkait kafarat ini juga sudah pernah dibahas oleh Ustadz Abdul Somad, dan bisa disimak di video dibawah ini : 

Inilah Hukum dan Sanksi Suami Istri Bersetubuh di Siang Hari Saat Bulan Puasa 

Berikut ini hukum dan sanksi bagi suami istri yang bersetubuh di bulan puasa Ramadhan siang hari.

Ramadhan menjadi bulan istimewa yang dinantikan oleh umat Islam.

Saat Ramadhan, seorang muslim diwajibkan menunaikan puasa selama satu bulan penuh.

Ketika berpuasa itulah pahala seorang muslim akan dilipatgandakan oleh Allah SWT.

Di antara manfaat puasa adalah upaya untuk mengendalikan syahwat.


Mengontrol syahwat pun berlaku bagi suami istri yang sedang berpuasa.

Apakah Anda tahu hukum dan sanksi suami istri yang bersetubuh saat berpuasa?

Berikut uraiannya berdasarkan Hadits Nabi:

Abu Syuja penulis kitab Taqrib (al-Ghayah wa at-Taqrib), menjelaskan "Barangsiapa yang melakukan hubungan seks di siang hari Ramadhan secara sengaja di kemaluan, maka ia punya kewajiban menunaikan qodho dan kafarah.

Bentuk kafarah-nya adalah memerdekakan satu orang budak beriman. Jika tidak didapati, maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka memberi makan kepada 60 orang miskin yaitu sebesar 1 mud.”

Hadits dari Abu Hurairah.

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »

Artinya: "Suatu hari kami pernah duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap Nabi.

Lalu pria tersebut mengatakan, 'Wahai Rasulullah, celaka aku.'

Nabi berkata, 'Apa yang terjadi padamu?'

Pria tadi lantas menjawab, 'Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.'

Kemudian Nabi bertanya, 'Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?'

Pria tadi menjawab, 'Tidak.'

Lantas Nabi bertanya lagi, 'Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?'

Pria tadi menjawab, 'Tidak.'

Lantas Nabi bertanya lagi, 'Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?'

Pria tadi juga menjawab, 'Tidak.'

Abu Hurairah berkata, Nabi lantas diam.

Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi.

Kemudian Nabi berkata, 'Di mana orang yang bertanya tadi?'

Pria tersebut lantas menjawab, 'Ya, aku.'

Kemudian Nabi mengatakan, 'Ambilah dan bersedekahlah dengannya.'

Kemudian pria tadi mengatakan, 'Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku.'

Nabi lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya.

Kemudian Nabi berkata, 'Berilah makanan tersebut pada keluargamu.'" (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111).

Dari Hadits Nabi tersebut dan penjelasan Abu Syuja dalam kitab Taqrib, orang yang berjimak saat berpuasa wajib meng-qodho dan membayar kafarah.

Pembayaran kafarahnya antara lain memerdekakan satu orang budak, berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin.

Pendapat dari kalangan ulama Syafi'iyah, istri yang diajak bersetubuh pada Ramadhan tidak punya kewajiban membayar kafarah.

Membayar kafarah hanya diperuntukkan bagi suami.

Demikian hukum dan sanksi suami istri yang bersetubuh di siang hari Ramadhan.

Semoga bermanfaat bagi Anda. (tribunjateng/fajar bahruddin achmad)

Berita Terkini