Renungan Harian Kristen Protestan

Renungan Kristen Sabtu 7 Desember 'Merawat Relasi Persaudaraan dalam Semangat Bertolong-tolongan'

Editor: maria anitoda
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Renungan Kristen Sabtu 7 Desember 'Merawat Relasi Persaudaraan dalam Semangat Bertolong-tolongan'

Renungan Harian Kristen Protestan

Sabtu 7 Desember 2019

Oleh Pdt. Dina Dethan Penpada, MTh 

“Merawat Relasi Persaudaraan dalam Semangat Bertolong-tolongan ”

Yesaya 44:21-28

Saat ini ada kecenderungan untuk masing-masing orang hidup untuk dirinya sendiri, sehingga yang nampak bukanlah semangat bertolong-tolongan, melainkan roh individualisme yang mengarahkan kita untuk hidup bagi diri kita sendiri.

Kenyataan ini makin diperkuat oleh banyak hal di sekitar kita. Misalnya: Demi alasan keamanan, kita membangun pagar rumah, (tujuannya sudah baik, tetapi dengan adanya pagar, makin membatasi ruang gerak kita dengan orang-orang di sekitar kita.

Demi lancarnya mobilitas keluarga, masing-masing anggota keluarga punya kenderaan sendiri.\

Tapi dengan begitu, makin mempertegas ego masing-masing anggota keluarga. Demi lancarnya komunikasi, masing-masing anggota keluarga punya HP sendiri-sendiri. Tapi banyak hal bisa membatasi relasi diantara mereka,apalagi masing-masing HP punya PIN rahasia.

Kondisi hidup kita yang seperti ini makin membentuk kita untuk hidup bagi diri kita sendiri dan sikap tolong-menolong makin kita abaikan. Bahkan ada uangkapan-ungkapan yang sering kita dengar atau kita ucapkan sendiri: Di tidak punya pengaruh bagi saya. Tanpa dia saya bisa.

Firman Tuhan hari ini mau menawarkan sekaligus menantang kita untuk menyatakan kehadiran kita di tengah persekutuan sebagai pribadi yang selalu siap menolong dalam kerangka iman yang membebaskan.  

Kitab Yesaya menampilkan Allah sebagai pihak yang sangat bertanggungjawab terhadap umat manusia.

Allah berulang kali menegaskan bahwa Dia yang telah membentuk umatNya, oleh karena itu tidak pernah sekalipun Allah melupakan mereka.

Umat Allah bukanlah orang-orang yang terlupakan, apalagi terhilang.

Allah berkenan menyelamatkan mereka. Dan dasar pertolongan Allah adalah belaskasihan (compassion). Dan jika Alkitab berulangkali berbicara tentang belaskasih Allah, itu bukan sebuah perasaan emosional sesaat, tetapi Allah berbelaskasihan karena itulah sifat Allah.

Seorang teolog mengatakan: “ Allah tidak memiliki kasih seperti kita memiliki uang, tetapi Allah adalah kasih itu sendiri karena hakekat Allah adalah kasih. Ia menolong kita tanpa syarat (uncondisional).

Ia mengasihi kita apa adanya. Kasih yang tanpa syarat itulah yang menjadi dasar bagi Allah untuk menolong kita.

Sifat dasar dari Allah ini bukan saja menjadi berita penghiburan dan pengharapan bagi umat Tuhan, tetapi sekaligus menyadarkan mereka manakah Allah yang sejati.
Jika allah-alah yang mereka sembah hanya berdiam dir idan harus didatangi, Allah Israel justru mendatangi mereka.

Nabi Yesaya mau katakana bahwa Allah yang selama ini mereka sembah adalah Allah yang berbelaskasihan. Yang mengasihi mereka habis-habisan dengan kasihNya yang luar biasa.

Dengan pemahaman itu, maka sebagai keluarga Allah (Familia Dei), kita mesti secara sadar mengatakan bahwa penggerak utama hidup kita, bukanlah persaingan melainkan tolong-menolong.

Yang menjadi penggerak hidup kita bukanlah permusuhan, tetapi cinta kasih. Belaskasihan Allah menjadi landasan bagi keluarga Kristen untuk terus menyadari bahwa kita hidup karena belaskasihan Allah, oleh karena itu kita perlu saling tolong menolong dan membebaskan kita hidup dalam persaingan yang tidak sehat.

Di tengah dunia yang digerakkan oleh semangat individualisme dan persaingan yang tidak sehat, keluarga-keluarga Kristen dipanggil untuk menumbuhkan sikap belaskasihan dan selalu mau hadir bagi yang lain.

Saya pernah mendampingi seorang ibu yang sakit parah (kanker rahim) dan sudah dinyatakan oleh dr, hidupnya tidak akan lama lagi.

Apa yang ia lakukan menjelang kematiannya? Iamengumpulkan anak-anaknya (anaknya ada 4 orang, dua laki-laki dan dua perempuan) Yang dua orang ada di Jawa, mereka semua kembali dan ingin mendampingi mama mereka sekaligus mendengarkan pesan-pesan terakhirnya.

Setelah anak-anaknya bersama menantu dan cucu-cucunya berkumpul, ibu ini meminta saya mendampinginya karena dia ingin menyampaikan pesan-pesan terakhir.

Kami semua sangat sedih, karena ada begitu banyak selang di tubuh ibu ini, tapi dia berusaha untuk menyampaikan pesan terakhirnya.

Kami semua diam, napas kami seperti mau berhenti, karena cukup lama baru ibu ini bicara.

Ternyata hanya satu pesan singkat yang ia sampaikan: Mama sayang kamu semua. Mama sudah lakukan yang terbaik menurut kemampuan mama. Mama minta kalian semua satuhati. Jangan hidup untuk diri sendiri, tetapi usahakan supaya satu orang punya susah, semua pung susah, satu punya senang, semua punya senang.

Itu saja pesan terakhirnya, Mama minta kalian semua satu hati dan tidak hidup untuk diri sendiri, dan tidak lama sesudah itu ia meninggal.

Pesan itu sederhana, tapi sangat mendalam. Sejauh mana kehadiran kita menolong orang lain dan bukan untuk menghancurkannya.

Dalam dunia yang sibuk oleh kemajuan tekhnologi informasi dan komunikasi, bisa saja ada bagian dari persekutuan kita yang diabaikan dan dibiarkan sendirian dalam pergumulan hidup.

Mereka itu bisa saja kelompok lansia, mereka yang mengalami krisis karena sakit-penyakit, kehilangan orang-orang yang dikasihi, terlilit hutang, kerugian dalam usaha, dan berbagai tantangan lainnya.

Mari kita berkomitmen untuk merawat relasi diantara kita dengan cara bertolong-tolongan.Tuhan memberkati kita. Amin (*)

Berita Terkini