Terungkap Keberadaan Soeharto Saat Malam Para Jenderal ABRI Dibantai PKI, Ini Fakta Sebenarnya
POS KUPANG.COM -- Sempat beredar isu jika Soeharto tengah bersemedi jelang para jenderal ABRI dibantai PKI.
Keberadaan Soeharto saat itu sempat menjadi tanda tanya besar.
Hingga akhirnya muncul kabar salah satunya Soeharto diisukan bersemedi saat pemberontakan terjadi.
Dilansir melalui isi "Anak Desa Biografi Presiden Soeharto" karya OG Roeder, Soeharto disebut tidak menghadiri rapat di Istana Olahraga pada malam 30 September 1965.
"Ia tidak mendengarkan radio, dan juga tidak dekat televisi.
Macam-macam pendapat tersebar kemudian tentang di mana ia berada di malam kejadian itu," tulis OG Roeder pada bukunya.
Buku itu juga menyebutkan jika Soeharto ada di sebuah tempat di mana air sungai bertemu.
"Bahwa pada malam itu ia berada di suatu tempat di mana air sungai bertemu.
Bersemedi menyembah Tuhan, atas nasihat mendadak seorang dukun," tulis OG Roeder.
OG Roeder menceritakan jika dukun itu meminta Soeharto agar tidak pulang sebelum jam dua menjelang dini hari.
"Ini tentunya akan menimbulkan malapetaka, oleh karena detik-detik sekitar jam empat pagi itu adalah saat-saat pemimpin-pemimpin TNI diculik dan dibunuh oleh gerombolan Gerakan 30 September," lanjut Roeder.
Masih menurut Roeder, cerita lainnya menyebutkan Soeharto juga mengikuti nasihat dukunnya.
Tepatnya, untuk menghabiskan waktu di tempat pertemuan dua arus air.
"Oleh karena itu ia mengajak anaknya pergi memancing ke suatu tempat di mana air sungai bermuara ke laut," ungkap Roeder.
Meski demikian, menurut Roeder semua cerita itu hanyalah isapan jempol.
Sebab, Roeder berpendapat sebenarnya Soeharto sedang berada di RSPAD.
Fakta keberadaan Soeharto saat peristiwa G30S/PKI dikisahkan di dalam buku otobiografi Ibu Tien Soeharto berjudul 'Siti Hartinah Soeharto Ibu Utama Indonesia'
Ibu Tien, istri Seoharto sengaja berkumpul di markas Persit untuk mendengarkan penjelasan dari Menteri/Panglima AD Achmad Yani.
"Pak Yani dalam pertemuan tersebut menjelaskan situasi politik pada waktu itu yang makin gawat.
Selama saya menjadi istri prajurit, baru pertama kali itulah saya menerima uraian politik yang menyangkut nasib negara dan bangsa.
Seusai mengikuti acara itu, Ibu Tien pulang ke rumahnya di Jalan H Agus Salim.
Melihat ibunya pulang, anak-anaknya meminta dibuatkan sup kaldu tulang sapi.
• Kabar Bahagia, Nadia Saphira Resmi Dilamar Pengusaha Mikael Mirdad, Ini Momen Bahagia Bintang AADC
• Simak ini Kisi-kisi Lengkap Seleksi Kompetensi Dasar/SKD CPNS 2019, Ikuti Tahapan Seleksinya
• Akhirnya Jubir Presiden Ralat Pernyataan: Ahok BTP Tak Harus Mundur dari PDIP jika Pimpin BUMN
Ibu Tien lalu membuatkannya.
Namun, ketika dirinya sedang membawa panci berisi sup panas yang hendak ditaruh di ruang makan, tiba-tiba Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) yang saat itu berusia empat tahun, menabrak tangan ibunya.
Akibatnya, sup itu tumpah dan mencelakai Tommy.
"Air sup tumpah dan mengguyur sekujur tubuhnya. Kulitnya terbakar dan melepuh-lepuh. Saya ingat pelajaran PPPK di Kostrad.
Kalau luka bakar obatnya leverstraan salf. Kebetulan ada persediaan di rumah. Maka obat itulah yang saya oleskan ke kulitnya.
Setelah itu saya bawa Tommy ke RS Gatot Subroto untuk dirawat," tuturnya sambil menambahkan Soeharto sempat menjaga Tomy bersama dirinya.
Sekitar pukul 00.00, Ibu Tien meminta Soeharto agar segera pulang ke rumah karena pada waktu itu Mamiek, putri bungsu Soeharto sedang sendirian di rumah.
Apalagi ketika itu usia Mamiek baru satu tahun.
Saat Soeharto berada di rumah, tiba-tiba seorang pria bernama Hamid mengetuk rumah Soeharto yang kebetulan menjadi Ketua RT.
Hamid adalah seorang juru kamera. Ia mengaku baru saja mengambil gambar tembak-tembakan yang terjadi di sejumlah tempat.
Tak lama kemudian datang Mashuri SH, tetangga Soeharto. Kepada Soeharto, Mashuri mengaku mendengar suara tembakan.
Soeharto pun mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Di tengah tanda tanya itu, muncul Broto Kusmardjo. Lelaki itu mengabarkan bahwa telah terjadi penculikan terhadap sejumlah jenderal.
Sekitar pukul 06.00 Letkol Soedjiman datang ke rumah Soeharto. Lelaki itu mengaku diutus Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, Panglima Kodam V Jaya.
Kepada Soeharto, Soedjiman memberitahukan bahwa ada konsentrasi pasukan di sekitar Monas.
Mendengar cerita itu, Soeharto bergegas mengenakan pakaian loreng lengkap, bersenjata pistol, pet dan sepatu.
Sebelum berangkat ke markasnya Soeharto berpesan kepada Soedjiman, "Segera kembali saja lah dan laporkan kepada Pak Umar saya akan cepat datang ke Kostrad dan untuk sementara mengambil pimpinan Komando Angkatan Darat."
Tak lama kemudian Soeharto terlihat berjalan menuju Jeep Toyota, kendaraan dinasnya.
Tanpa seorang pengawal, Soeharto tancap gas menuju markas Kostrad di Jl Merdeka Timur.
Di sisi lain, Bu Tien masih menjaga anak kesayangannya Tommy di RSPAD. Sementara suasana di RSPAD terlihat agak berbeda dari hari biasanya.
Tak lama kemudian Ibu Tien baru mengetahui kalau semalam telah terjadi penculikan terhadap jenderal-jenderal yang dilakukan pasukan Cakrabirawa.
"Mendengar berita ini saya jadi gelisah dan ingin pulang ke rumah dengan segera. Saya pamit pada dokter kepala rumah sakit, tapi beliau berkeberatan jika tidak ada izin dari Pak Harto. Saya bilang tidak usah menunggu perintah. Pokoknya saya mau pulang," kenang Ibu Tien.
Hingga 1 Oktober sore, Soeharto belum memberikan kabar kepada istrinya apa yang sesungguhnya terjadi di Jakarta. Sementara detik demi detik, pikiran Ibu Tien semakin gelisah.
"Maka saya nekad saja untuk pulang karena saya gelisah dan tidak betah lebih lama di rumah sakit. Saya pikir, nanti kalau terjadi hal-hal yang lebih gawat anak-anak di rumah, saya di RS, nanti saya tidak bisa berbuat apa-apa."
Hari itu juga, Ibu Tien membawa Tommy pulang ke rumahnya diantar Probosutedjo dan ajudan Soeharto bernama Wahyudi.
Mengatisipasi keselamatan istri Pangkostrad, Probosutedjo meminta izin kepada Bu Tien untuk membawa senjata.
"Saya minta permisi pada ibu apakah boleh senjata-senjata yang ada di rumah, kita bagi pada Ibnu Hardjanto dan Ibnu Hardjojo. Ibu setuju. Saya sendiri pegang dua jenis senjata," kenang Probosutedjo.
• Saat Soeharto Abaikan Teguran Panglima ABRI Benny Moerdani Soal Bisnis Cendana, Akui Menyesal
Sesampainya di rumah, Bu Tien tak melihat suami tercintanya. Kabarnya, Soeharto masih berada di markas Kostrad.
Sementara Soeharto sendiri hanya memberikan amanat untuk disampaikan kepada istrinya, agar segera mengungsikan anak-anaknya ke rumah ajudannya di Kebayoran Baru.
Mendapat amanah itu, Bu Tien semakin penasaran. Ia tanya kepada ajudan senior Pangkostrad Bob Sudijo yang ikut mempersiapkan pengungsian. "Ini rahasia Bu," jawab Bob.
Karena Bob dianggap tidak mau terbuka, Probosutedjo sempat ngamuk.
"Bob kamu jangan begitu. Kalau terjadi apa-apa pada Bapak yang akan menderita dan kehilangan adalah istrinya dan semua keluarga termasuk saya," jelas Probo.
Akhirnya Bob buka kartu bahwa Soeharto saat ini berada di markas Kostrad. Setelah itu, keluarga Soeharto boyongan ke Kebayoran Baru.
Sedangkan Probosutedjo tidak ikut. Selama sehari semalam berada di rumah ajudannya, Ibu Tien mendadak mendapat kabar yang mengelisahkan hatinya.
"Waktu saya di pengungsian, tiba berita dan diberitahukan kepada saya bahwa ada seorang anak perempuan sedang mencari ayahnya yang bernama Soeharto. Ia sedang menunggu di rumah Chaerul Saleh," tuturnya.
Seketika itu juga Bu Tien angkat kaki menuju ke rumah Chaerul Saleh. Mengenakan jaket tentara dan dikawal ajudannya, ia berangkat dari Kebayoran Baru menuju ke Jalan Teuku Umar. (TribunNewsmaker/*)
Artikel ini telah tayang di Tribunstyle.com dengan judul Misteri Isu Soeharto Semedi Jelang Para Jenderal ABRI Dibantai PKI Terungkap! Ini Fakta Sebenarnya,
* Kondisi Rumah Soeharto di Cendana
POS-KUPANG.COM - Lihat rumah soeharto di Cendana Jakarta, Dulu Sangat Dibanggakan, Sekarang Sepi dan Terbengkalai
Beginilah penampakan terkini rumah soeharto di Cendana pasca wafatnya Presiden Soeharto.
Ya rumah Soeharto di Cendana yang dulu menjadi kebanggan saat mendiang Soeharto masih hidup kini terlihat sepi dan terbengkalai.
Kepergian Presiden Soeharto pada tahun 2008 silam menyisakan banyak kenangan terlebih lagi di rumah bersejarah yang sering disebut sebagai rumah soeharto di Cendana.
Rumah Cendana yang dulu ditinggali oleh Soeharto dan keluarganya tersebut memiliki kesan militer yang begitu kuat.
Rumah Cendana sendiri berlokasi di Jalan Cendana nomor 6-8, Menteng, Jakarta Pusat.
Kini, rumah bersejarah tersebut nampak sepi tak berpenghuni bak rumah kosong.
Rumah Cendana sendiri memiliki cat berwarna hijau khas militer yang menghiasi sebagian dinding.
Tak hanya warna cat, desain arsitektur Rumah Cendana sendiri juga kental akan nuansa militer.
Yang beda hanya bagian pagar depan rumah sepanjang lebih 20 meter. Bagian pembatas depan rumah sang jenderal dengan jalan hanya teralis besi setinggi 1,5 meter dengan cat kuning.
Kondisi Rumah Cendana setelah kepergian Presiden Soeharto (Intisari-online.com/ Ade Sulaeman)
Sebelumnya, cat pagar rumah milik Presiden Republik Indonesia Ke-2 itu berwarna putih.
Berjalan sekitar 10 meter dari pintu masuk utama, berdiri kokoh sebuah pos penjagaan yang juga didominasi warna cat hijau militer.
Bentuk pos tersebut pun tidak beda dengan pos penjagaan di markas-markas militer.
Empat tiang setinggi sekira 2,5 meter berdiri kokoh menopang keempat sisi atap pos penjagaan tersebut.
Sebuah meja panjang setinggi 1 meter di pos menjadi tempat bagi sang petugas berjaga.
Enam mobil terparkir di halaman aspal depan rumah. Sedan swift, dua unit Kijang 1800 cc, Innova, minibus SUV Escudo dan All New Xenia berplat nomor B 805 EVE terparkir membentuk siku.
Dua pohon Beringin nan rindang yang menjadi saksi bisu perjalanan hidup sang pemilik rumah masih berdiri kokoh di taman kecil depan rumah.
Sementara itu, bagian atap rumah berbahan genteng. Namun, warna oranye bagian atap sang jenderal terlihat kusam dan berlumut.
Tak banyak detail yang bisa dilihat dari depan rumah. Hanya ada kandang burung bercat putih selebar sekitar 1 meter berdiri di sudut kanan depan rumah.
Cat putih yang menempel di rangka kandang itu pun terlihat memudar.
Melongok ke bagian atap rumah bagian belakang terdapat bangunan dengan dua lantai dengan arsitek bangunan dan warna dinding yang sama.
Jalur mobil selebar 3 meter terhampar mulai pos jaga hingga depan lobi utama rumah.
Dua daun pintu berbahan kayu cokelat muda dengan posisi terbuka di depan lobi rumah seolah siap menyambut para tamu.
Namun, sore itu tak ada seorang tamu yang datang ke dalam rumah tersebut.
Gelap, sepi nan tenang. Begitulah kesan pertama muncul saat kaki menginjak halaman rumah tersebut.
Kini, rumah Cendana yang pernah menjadi pusat pengambil kebijakan semasa Soeharto berkuasa itu tak berpenghuni pasca-Soeharto wafat pada 27 Januari 2008.
Tak seorang dari enam anak mendiang Soeharto yang menghuni rumah bersejarah itu.
Perjuangan Presiden Soeharto untuk Bertahan Hidup Pernah Jadi Tukang Selokan
Soeharto yang sangat mengagumi pakliknya, Prawirohardjo, paling jago menanam bawang bombai dan bawang putih.
Setelah lulus SD, Soeharto meneruskan ke Schakel School, sebuah sekolah menengah pertama di Wonogiri.
Karena jaraknya jauh dari rumah buliknya, dia pun harus pindah.
Demi bisa terus sekolah, Soeharto rela menumpang tinggal di rumah kakak Sulardi, sahabatnya, di Selogiri.
Soeharto dan Sulardi dapet jatah sekamar berdua.
Cuma, belum lama tinggal di sana, kakak Sulardi cerai dengan suaminya.
Terpaksalah Soeharto mencari tempat "numpang tidur" yang baru.
Oleh bapaknya, Soeharto dititipkan pada sahabatnya, Hardjowijono.
Seorang pensiunan yang enggak dikarunia anak, yang tinggal di Wonogiri.
Tahun 1939, Soeharto menamatkan sekolah menengah pertamanya.
Menjelang ujian kelulusannya, gelombang protes bangsa Indonesia terhadap penjajahan pemerintah kolonial Belanda mulai kencang.
Tapi, Soeharto enggak peduli lantaran sedang berkonsentrasi penuh pada ujian kelulusannya.
Setelah tamat, Soeharto memutuskan kembali ke Wuryantoro, tempat buliknya.
Soeharto kembali ke sana karena bapaknya enggak mampu membiayainya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Makanya, Soeharto berniat minta tolong dicarikan pekerjaan oleh pakliknya.
Dapat! Soeharto kerja sebagai juru tulis di sebuah bank desa.
Seragam kerjanya: blangkon, beskap, dan sarung.
Gara-gara seragam kerjanya inilah Soeharto ketiban apes!
Ceritanya, sarung yang dipakenya tiap hari udah lusuh.
Terus, ia dipinjami oleh buliknya sarung kesayangannya.
Eh, sarung sarung itu ternyata enggak sengaja nyangkut di jari-jari sepeda yang sedang ia tunggangi.
Peristiwa tadi mengakhiri kariernya sebagai juru tulis bank desa.
Menganggur, Soeharto mencoba peruntungan ke Solo.
Sebab, seorang teman menginformasi bahwa Angkatan Laut Belanda sedang mencari juru masak.
Tapi, ternyata begitu sampai di Solo lowongan yang dimaksud enggak ada.
Dengan kecewa, Soeharto kembali ke Wuryantoro.
Dia bekerja serabutan (dari ikut membangun langgar sampai membersihkan selokan air), supaya bisa menyambung hidup.
Enggak lama Soeharto mendengar informasi lowongan kerja lagi!
Kali ini lowongan bergabung dengan Angkatan Perang Belanda (KNIL).
Daripada enggak ada pekerjaan tetap, tanggal 1 Juni 1940 Soeharto mantap mendaftar sebagai prajurit.
Soeharto mendapat pelatihan kemiliteran yang superkeras.
Tiap hari dari Subuh sampai larut malam, dia enggak henti-hentinya digembleng fisik dan mental.
Toh, Soeharto enggak merasa tertekan.
Kehidupan masa kecilnya yang serba enggak pasti justru membuatnya kepincut dengan disiplin keras dan keteraturan yang diajarkan di sana.
Makanya, Soeharto sukses lulus sebagai kadet terbaik di angkatannya!
Selesai pelatihan, Soeharto dikirim ke Batalyon XIII di Rampal, Malang.
Pada 2 Desember 1940 dia diberi gelar kopral.
Kemudian dia dikirim ke Gombong buat menjalani latihan lanjutan.
Dan, begitu lulus dinaikkan pangkatnya jadi sersan.
Baru saja menyandang gelar sersan, tahu-tahu Jepang udah merapat ke Indonesia.
Jepang menyerang Belanda untuk merebut Indonesia.
Belanda kalah, karier Soeharto sebagai prajurit ikut terhenti.
Dia lalu memutuskan pergi ke Yogya, mencari pekerjaan baru.
Di Yogya, awalnya Soeharto belajar mengetik supaya punya bekal mencari kerja lain.
Cuma, enggak lama dia jatuh sakit.
Saat dia sedang memulihkan kesehatannya, dia membaca pengumuman kalo satuan polisi Jepang, Keibuho, membuka lowongan.
Langsung Soeharto mendaftar!
Diterima di Keibuho, karir Soeharto cepat melesat.
Performanya yang bagus tercium ke mana-mana.
PETA (Pembela Tanah Air, sebuah kekuatan sosial yang didirikan oleh putra-putri negeri untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, RED.) membujuk Soeharto bergabung.
Terdorong rasa patriotisme yang besar, Soeharto setuju dan mulai melakukan "dualisme": tetap jadi anggota Keibuho, namun diam-diam ikut PETA.
Nah, dari PETA inilah karier militer dan politik Soeharto di Indonesia bergulir.
Sampe klimaksnya, dia bisa jadi Presiden ke-2 Rl dan berkuasa selama 32 tahun.