Selama 9 Bulan Polres TTS Tangani 74 Kasus Pencabulan dan Persetubuhan Anak

Penulis: Dion Kota
Editor: Kanis Jehola
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kasat Reskrim Polres TTS, Iptu Jamari, SH., MH

Selama 9 Bulan Polres TTS Tangani 74 Kasus pencabulan dan Persetubuhan anak

POS-KUPANG.COM | SOE - Angka kasus persetubuhan dan pencabulan terhadap anak di Kabupaten TTS terbilang tinggi dan sudah sangat memprihatikan.

Terhitung sejak Januari hingga September 2019, unit PPA, Polres TTS sudah menangani 74 kasus persetubuhan dan pencabulan terhadap anak. Korbannya tak tanggung-tanggung, mulai dari anak usia 4 tahun hingga 16 tahun.

Mirisnya lagi, pelakunya merupakan orang terdekat korban, mulai om, sepupu, guru hingga tetangga korban.

Selama 10 Hari Warga Ulung Baras Akan Mendapat Suplai Air Bersih dari Tangki Pemerintah

Hal ini diungkapkan Kasat Reskrim Polres TTS, Iptu Jamari, SH., MH didampingi Kanit PPA Polres TTS, Bripka Adelina Ma'akh kepada pos kupang.com, Senin (7/10/2019) di ruang kerjanya.

Jamari mengatakan, kebanyak motif pelaku melakukan aksi bejatnya karena mabuk dan terpengaruh film porno.

Ada juga yang bermotif pacaran sehingga meminta pembuktian cinta dan ada juga karena diimingi-imingi sesuatu. Dari 74 kasus yang ditangani, 20-an diantaranya sudah dinyatakan lengkap atau P21, sedangkan sisanya masih dalam proses pemberkasan.

Peringati Bulan Pengurangan Risiko Bencana Tahun 2019, Forum PRB Sumba Timur Gelar Donor Darah

"Berdasarkan pengakuan para pelaku, kebanyakan melakukan aksinya karena terpengaruh film porno dan mabuk," ungkap Jamari.

Untuk Kabupaten TTS sendiri lanjut Jamari, angka kasus persetubuhan anak cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Tidak sedikit kasus yang tidak naik hingga kepolisian karena keluarga korban memilih untuk menyelesaikannya secara adat.

Faktor hubungan keluarga antara korban dan pelaku, serta rasa malu membuat korban dan keluarga enggan melaporkan kasusnya kepada pihak keamanan.

Pihak keluarga memilih menikahkan anaknya dengan pelaku untuk menutupi rasa malu.

"Kalau dari kasus yang kita tangani kebanyakan para korban sendiri hamil usai menjadi korban persetubuhan. Karena pelaku tidak mau tanggungjawab akhirnya pihak keluarga korban melaporkan kepada pihak kepolisian. Tidak sedikit pelaku yang lolos dari jeratan hukum karena keluarga korban memilih untuk menyelesaikan secara adat," bebernya.

Untuk menekan angka kasus persetubuhan dan pencabulan terhadap anak dikatakan Jamari, perlu kerja sama semua pihak, mulai dari pihak kepolisian, Pemda TTS, tokoh agama, sekolah, tokoh masyarakat dan terpenting adalah orang tua.

Selama ini, kasus kekerasan seksual terus meningkat karena semua pihak tabu/ pantang ketika berbicara terkait pendidikan seksualitas. Padahal, kenyataannya walau tabu dibicarakan namun gencar dilakukan secara terselubung.

Oleh sebab itu kedepan, mulai dari orang tua, sekolah, tokoh agama dan pemerintahan harus gencar berbicara terkait pendidikan seksual. Hal ini penting untuk menjaga anak-anak dari ancaman kekerasan seksual.

"Saya pikir sudah saatnya semua pihak harus bergandengan tangan melawan tindakan kekerasan seksual dengan memberikan pemahaman tentang pendidikan seksual dan ancaman hukuman jika menjadi pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. Di mimbar gereja harus mulai bicara hal ini. Di sekolah harus berbicara hal ini. Jika ini dilakukan saya optimis angka kasus kekerasan seksual bica ditekan," pungkasnya.

Untuk diketahui pelaku pemerkosaan terhadap anak dijerat dengan Pasal 81 ayat (1) UU RI Nomor 17 Tahun 2016 perubahan kedua atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang UUPA dengan ancaman pidana 15 tahun penjara dan denda paling banyak 5 milyar. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Dion Kota)

Berita Terkini