Renungan Harian Kristen Protestan

Renungan Harian Kristen Selasa 11 Juni 2019 ''Keberhasilan Orangtua yang Terkubur dalam Makam''

Editor: maria anitoda
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Renungan Harian Kristen Selasa 11 Juni 2019 ''Keberhasilan Orangtua yang Terkubur dalam Makam''

Renungan Harian Kristen Protestan

Selasa 11 Juni 2019

Oleh Pdt. Dina Dethan Penpada, MTh

2 Tawarikh 29: 1-2 dan 33: 1-10

''Keberhasilan Orangtua yang Terkubur dalam Makam"

Saudara-saudara…

Waktu bersama anak-anak terasa begitu cepat.

Anak-anak kita bertumbuh begitu cepat dan tak terasa mereka sudah besar dan kita makin tua.

Ketika kita menyadari bahwa waktu berlalu begitu cepat, maka kita juga mesti berusaha untuk mengisinya dengan sebaik mungkin sebab bisa saja waktu berlalu dan ketika kita menyadarinya, semuanya telah terlambat.

Seperti besi yang sudah bengkok, sulit untuk diluruskan.

Bacaan kita yang pertama, sekilas menceriterakan tentang Raja Hizkia, seorang raja yang sukses, ayah yang baik dan takut Tuhan, namun sayang anaknya menjadi raja yang jahat, raja yang membuat hati Tuhan Allah terluka.

Tentu sangat disayangkan. Sekilas kita melihat kehidupan Hizkia: mengapa ia disebut Raja dan ayah yang baik dan takut Tuhan?

Pertama: Hizkia membersihkan kembali Bait Allah yang telah menjadi tempat pembuangan sampah akibat perang.

la merenovasi dan memperbaiki Bait Allah supaya layak digunakan sebagai tempat ibadat.

Kedua: la menata kembali Liturgi dengan cara mengatur kembali para penyanyi di Bait Bait Allah.

Keturunan dari Asaf, Heman dan Yedutum, diminta untuk berperan kembali.

Ketiga: Di bidang politik, ekonomi dan perdagangan juga mendapat perhatian penting dari Hizkia, sehingga Israel bukan hanya kembali menjadi negara yang maju tapi juga takut akan Tuhan.

Kita ingat, ketika Hizkia sakit dan dia meminta kepada Tuhan untuk memperpanjang umurnya, Tuhan mengabulkannya dengan menambahkan usianya 15 tahun lagi. (Mazmur 32)

Dalam masa anugerah itu, lahirlah anaknya Manasye.

Pada waktu Manasye berusia 12 tahun, ia diangkat menjadi raja menggantikan ayahnya, karena ayahnya Hizkia telah meninggal.

Sayang sekali, Manasye bertumbuh menjadi anak yang sangat berbeda dengan ayahnya.

la menjadi raja yang jauh dari hati Tuhan.

la tidak seperti ayahnya Hizkia, tetapi beberapa hal buruk dilakukan oleh Manasye.

Di bacaan yang kedua dapat kita lihat:

Pertama: Manasye mendirikan tempat-tempat penyembahan kepada dewa- dewa dan karena itu mereka tidak lagi menyembah Tuhan.

Kedua: Kalau ayahnya menghancurkan patung-patung berhala, maka Manasye justru meletakkannya dalam bait Allah.

Ketiga: la bahkan mempersembahkan anak-anaknya sebagai korban persembahan kepada dewa-dewa.

Keempat: Ayat 9: la menyesatkan Bangsa Israel.

la tidak melanjutkan hal-hal baik yang telah dilakukan ayahnya Hizkia, tetapi ia malah melakukan hal-hal yang lebih jahat.

Bayangkan ia memerintah 55 tahun, dan selama itu Umat Tuhan dibawa ke jalan yang salah.

Lalu pertanyaannya: Siapa yang salah?

Pertama: Sebagai orangtua. Hizkia melewatkan begitu banyak waktu tanpa mendidik Manasye menjadi anak yang baik.

Hizkia membawa segala kebaikan kebaikan dan keberhasilannya sebagai seorang pemimpin ke dalam liang kubur dan membiarkan anaknya memporak-porandakan generasi selanjutnya.

Kedua: Manasye melakukan segala hal menurut keinginannya sendiri.

Teladan ayahnya, tidak membuat Manasye tertarik.

la malah menghancurkan banyak hal yang telah diletakkan ayahnya Hizkia.

Beberapa hal dapat direnungkan:

Pertama: Banyak orang membawa pergi kesuksesan mereka dan membiarkan anak-anak mereka menghancurkan apa yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun.

Kedua: Waktu kita bersama anak-anak terbatas karena itu pakai sebaik mungkin untuk mendidik mereka, sebab waktu yang berlalu tidak akan kembali.

Memang tantangan saat ini, ialah; Keluarga-keluarga Kristen sedang terancam  oleh perkembangan dunia yang sangat cepat.

Di jaman sekarang, membesarkan anak-anak dan menanamkan iman Kristiani dalam diri mereka menjadi lebih sulit, karena kondisi dunia sekarang memang sering bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani.

Bahkan dinamika kehidupan di dalam rumah kita sendiri sering menambah sulitnya penerapan nilai- nilai Kristiani.

Kesibukan masing-masing anggota keluarga (baik orangtua maupun anak),  pengaruh media, pola hidup konsumtif, mental ‘tidak mau repot’, adalah beberapa contohnya, mengapa orang tua menghadapi tantangan yang besar untuk melaksanakan peran mereka sebagai pendidik utama bagi anak- anak dalam keluarga, terutama dalam hal iman.

Dewasa ini rumah hanya sebagai tempat transit untuk melanjutkan lagi berbagai aktivitas karena tiap-tiap anggota keluarga sangat sibuk dengan urusan mereka masing- masing sehingga tidak ada waktu yang cukup untuk saling berkomunikasi, berdoa bersama dan mendalami Firman Tuhan.

Kurangnya perhatian dari orang tua mengakibatkan anak- anak mencari kesenangannya sendiri, asyik dengan dunia mereka sendiri, dan mencari pemenuhan kebutuhan mereka untuk diperhatikan dan dikasihi dengan cara mereka sendiri.

Seiring dengan perkembangan jaman, ruang dialog dalam keluarga kita justru dipenuhi dengan hal-hal lain.

Bukan lagi orangtua yang bercerita kepada anak, namun televisi, gadget yang sekarang menjadi pencerita.

Ketiga: Keluarga harus menjadi sekolah pertama untuk menanamkan kebajikan Kristiani.

Dalam suasana kasih inilah, keluarga harus menjadi sekolah yang pertama untuk menanamkan nilai- nilai dan kebajikan Kristiani, seperti: memaafkan kesalahan orang lain, belajar meminta maaf jika berbuat salah, saling menghormati, saling berbagi, saling menolong, saling menghibur jika ada yang kesusahan, saling memperhatikan terutama kepada yang lemah, sakit, dan miskin, saling mengakui kelebihan dan kekurangan tiap- tiap anggota keluarga, rela berkorban demi kebaikan orang lain, dan seterusnya.

Orang tua selayaknya memberikan teladan dalam nilai- nilai Kristiani tersebut, dan bukan hanya dengan perkataan, tetapi terlebih dengan perbuatan.

Anak- anak akan dengan lebih cepat belajar melalui teladan perbuatan orang tua daripada dari apa yang diajarkannya melalui perkataan saja.

Orang tua tidak boleh enggan untuk memberi koreksi jika anak melakukan kesalahan, namun tentu saja koreksi itu diberikan dengan motivasi kasih.

Jadi dalam penerapannya adalah, orang tua boleh tegas, tetapi jangan sampai kehilangan pengendalian diri pada waktu menegur anak kita.

Selanjutnya, setelah memberikan koreksi, dan anak telah menyadari kesalahannya; penting sekali anak itu kembali dirangkul dan menerima peneguhan bahwa kita sebagai orang tua tetap mengasihinya.

Maka tujuan koreksi tersebut adalah pertama-tama bukan supaya mereka takut kepada kita orang tuanya, tetapi supaya anak- anak dapat mengetahui bahwa  perbuatan salahnya itu mendukakan hati Tuhan. Amin.

Berita Terkini