Renungan Pagi Kristen
Jumat 7 Juni 2019
Oleh Pdt Dina Dethan Penpada, MTh
--
II Samuel 21: 8-10
“Berbicara dalam Diam”
Di zaman sekarang ungkapan “Diam itu emas” rasanya sudah tidak cocok. Semua orang, baik laki maupun perempuan, orang dewasa maupun anak-anak memiliki kesempatan untuk menyuarkan keinginannya. Kran-kran kebebasan terbuka begitu lebar sehingga siapa saja boleh berpendapat.
Dalam situasi ini diam malah dianggap sebagai kelemahan.
Hari ini kita berjumpa dengan Rizpa, seorang gundik yang berjuang dalam diam bagi anak-anaknya yang dibunuh untuk menebus dosa ayah mereka Saul.
Kisah itu berawal dari kemarau panjang yang terjadi selama tiga tahun berturut-turut di Israel. Daud segera mengambil keputusan untuk mempersembahkan korban kepada Tuhan dengan cara mempersembahkan 7 orang laki-laki dari keturunan Saul, oleh karena menurut orang-orang Gibeon, Saul adalah penyebab dari semua itu.
7 orang yang dikorbankan yaitu Armoni dan Mefiboset(anak-anak dari Rizpa) dan dan 5 anak laki-laki dari Merab binti Saul. Mereka tidak hanya dibunuh, tetapi digantung di atas bukitdan dibiarkan hingga tubuh mereka hancur di sana.
Rizpa sebagai ibu dari Armoni dan Mefiboset tidak dapat berbuat apa-apa untuk menyelamatkan anak-anaknya dari nasib malang itu karena ia tidak dapat melawan kekuasaan Raja, maupun orang-orang Gibeon yang mendesak Daud untuk melakukan hal itu.
Apalagi Saul telah mati dalam peperangan, sehingga Rizpa tidak hanya berstatus gundik, tetapi juga sbagai janda yang tidak memiliki hak seperti seorang seorang istri syah.
Namun dalam berbagai keterbatasannya, Rizpa terus berjuang dengan caranya untuk membela anak-anaknya. Ia mengambil kepututsan untuk menjaga ke tujuh mayat yang tergantung itu agar tubuh mereka jangan dimakan binatang.
Ia naik ke atas bukit batu dan tinggal di sana selama kurang lebih 6 bulan. Rizpa belajar untuk bertahan walaupun harus merintih dalam diam. Rizpa berbicara dalam diamnya.
Tindakan Rizpa pada akhirnya menggugah hati Daud sehingga Daud memutuskan untuk menurunkan mayat-mayat itu untuk memakamkan mereka dengan cara yang layak.
Rizpa tak bisa berbicara dengan mulutnya, tetapi kesetiaan dan cintanya kepada anak-anaknya telah berbicara dengan keras dan memaksa Daud mengubah keputusannya.
Saudaraku… beberapa hal dapat kita renungkan:
Pertama: Dalam siatuasi yang seolah-olah tak berpengharapan, kita belajar dari Rizpa untuk terus berjuang, sebab dalam diam kita dapat berbicara dengan Allah untuk menyatakan isi hati dan pergumulan-pergumulan kita.
Kedua: Ada saat dimana kita tak dapat mengubah sebuah keadaan dengan bicara, tetapi dalam diam kita mendapat kesempatan untuk mendengarkan Allah berbicara kepada kita.
Dalam diam kita memiliki kesempatan untuk menilai sikap dan tindakan- tindakan kita agar kita makin hari makin bijaksanana dalam berkata-kata dan bertindak.
Agar kita punya waktu untuk mendengar suara orang lain, agar keputusan-keputusan yang kita ambil baik untuk pribadi, keluarga maupun masa depan banyak orang, lahir dari batin yang tenang dan penuh hikmat.
Ketiga: Rizpa mewakili kaum marginal seperti para pekerja anak, kaum penyandang disabilitas, korban kekerasan sosial dan politik, para penyintas perdagangan orang, dan kelompok rentan lainnyayang tidak mampu bersuara, tetapi memiliki spiritualitas yang luar biasa.
Oleh karena itu dalam siatuasi yang tidak berpengharapan oleh karena ketidakadilan, diskiminasi dan eksploitasi, iman orang-orang percaya tidak boleh padam.
Keempat: Kadang kita memandang kaum orang marjinal yang ada di sekitar kita sebagai objek dan tidak tahu apa, sebaliknya kitalah yang paling tahu tentang mereka.
Hari ini kita belajar dari Rizpa bahwa Ia tahu apa yang harus ia lakukan dana pa yang ia lakukan mampu memerdekakan anak-anaknya sebagai Gambar Allah.
Para marginalpun paling tahu tentang hidup dan pengalaman mereka. Oleh karena itu ketika kita hendak menolong, merekalah yang harus menjadi subjek dari perjuangan untuk menolak diskriminasi dan eksploitasi, pemiskinan dan pembodohan.
Kaum marjinal itu bisa jadi adalah para pekerja anak, kaum penyandang disabilitas, korban kekerasan sosial dan politik, para penyintas perdagangan orang, dan kelompok rentan lainnya.
Gereja mesti berada di sana, terlibat dalam perjuangan kaum pinggiran untuk harkat, hak, dan martabat mereka yang menderita dan tereksploitasi. Amin
(*)