Perempuan NTT di Persimpangan Jalan
Oleh : Yeftha Yerianto Sabaat
Dosen Ilmu Politik, FISIP Undana
PEREMPUAN NTT dalam judul di atas maksudnya adalah posisi perempuan NTT dipersimpangan jalan modernisasi dan tradisional, antara menjaga kearifan lokal dan mengikuti perkembangan zaman.
Kearifan lokal yang dimiliki NTT salah satunya adalah tenun ikat. Di tengah pengaruh modernisasi, kita sebagai manusia yang berbudaya selalu dituntut untuk menjaga kearifan lokal.
Beberapa bulan yang lalu masyarakat NTT sempat dihebohkan dengan wacana peraturan Gubernur (Pergub) NTT pelegalan miras, perlu diketahui bahwa miras lokal yang ada di NTT juga tak kalah nikmatnya dengan miras lokal di daerah lain.
Itu baru bicara soal rasa belum lagi kualitasnya yang juga tak kalah bagusnya dengan wine atau red label.
Tapi sekali lagi apabila sebuah peraturan ingin ditegakkan perlu dilakukan kajian-kajian yang nantinya akan menjadi ukuran untuk menguji peraturan tersebut bisa diterapkan atau tidak.
Pro dan kontra tentang pergub tersebut semakin mewarnai diskusi di ruang-ruang publik dan turut mempengaruhi opini publik dan akhirnya pergub tersebut tidak jadi diterapkan.
Setelah rencana pergub tentang miras lokal gagal dicanangkan, hadir lagi pergub tentang wajib berbahasa Inggris di hari Rabu (english day) yang sekarang sementara dijalankan Pemprov NTT.
Tidak hanya itu, bahkan sekarang lahir lagi wacana baru tentang perempuan NTT menenun.
Wacana yang dicetuskan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat
terkait perda Perempuan NTT Menenun.
Bagi saya ada baiknya, dalam konteks menjaga, mempertahankan dan melestarikan kearifan lokal yang mana tenun ikat sebagai salah satu potensi besar atau kekayaan NTT yang tidak dimiliki daerah lain, patut diapresiasi pemikiran gubernur yang satu ini.
Semangat kemandirian seorang perempuan NTT diukur dari keahliannya menenun.
Menenun pada umumnya menjadi pekerjaan perempuan NTT saat musim kemarau, dulunya menenun hanya dilakukan untuk kebutuhan sandang.
Tetapi karena perubahan zaman dan tuntutannya, menenun berevolusi menjadi industri rumahan (home iindustry).
Tenun merupakan salah satu kain tradisional Indonesia yang banyak diproduksi di seluruh nusantara, salah satunya adalah Nusa Tenggara Timur.
Tenun juga sebagai salah satu warisan budaya leluhur yang mencerminkan jati diri bangsa atau setiap daerah dimana tenun tersebut dibuat.
Tenun memiliki nilai, makna, sejarah dari segi warna, motif dan bahan yang digunakan.
Selain itu sudah seharusnya menenun dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran di sekolah atau semacam kegiatan ekstra kulikuler, supaya mengenalkan tenun ikat sejak dini pada generasi muda.
Seperti yang dimaksud oleh gubernur bahwa perda terkait perempuan NTT menenun dimaksudkan agar perempuan-perempuan di NTT dapat memiliki kemampuan dasar dan keutamaan dalam menenun kain tenun.
Pemikiran gubernur yang visioner ini tentunya beralasan, merujuk pada usaha untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan lokal yang ada di NTT.
Seirama dengan deskripsi tersebut, perempuan NTT pada hakikatnya tidaklah asing dengan tenun ikat, sebab tenun ikat merupakan budaya yang secara turun-temurun diwariskan nenek moyang kita sampai saat ini.
Hanya saja wacana tentang perda perempuan NTT menenun perlu dikaji lagi sebab tidak semua perempuan NTT tahu menenun, apalagi dengan sanksi tidak boleh menikah bagi perempuan yang belum bisa menenun.
Ini seakan perempuan telah dilabeli dengan tanda penenun (perempuan yang tidak tahu menenun menjadi momok di masyarakat).
Antara Menjaga Budaya dan Ketidakadilan Gender
Masalah urgent yang patut kita pahami dalam rangka membahas tentang masalah perempuan adalah bagaimana kita mampu membedakan konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender (kontruksi sosial).
Pemahaman terkait kedua hal ini sangat dibutuhkan untuk melakukan kajian atau analisis dalam memahami persoalan mengenai ketidakadilan gender.
Wacana pergub tentang perempuan NTT menenun seperti mengingatkan kita kembali pada konsep gender yang selama ini sudah diperkenalkan.
Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam beberapa bentuk keadilan yakni; marginalisasi perempuan, subordinasi, stereotype, memang sangat sensitif apabila dibawa ke dalam ranah publik.
Sehubungan dengan wacana pergub perempuan NTT menenun memberi gambaran bahwa di satu sisi kita ingin sekali menjaga kebudayaan kita yang selama ini menjadi primadona.
Namun di sisi yang lain kita seakan mau mengembalikan perempuan pada perannya sebagai kaum yang lemah dan hanya berorientasi pada hal-hal domestik atau rumah tangga saja.
Situasi ini juga sekaligus memberikan stereotype bagi perempuan yang tidak tahu menenun.
Sebab akan ada anggapan bahwa perempuan yang tidak bisa menenun belum pantas untuk menikah dan sebaliknya akan ada pujian bagi setiap mereka yang pintar menenun.
Sesungguhnya hal inilah yang melahirkan konstruksi budaya baru yang kemudian diterjemahkan ke dalam peran, fungsi dan status dalam masyarakat.
Sampai di sini, menjadi pertanyaan reflektif bagi kita bahwa dimanakah peran laki-laki dalam konteks menjaga kearifan lokal?
Agar terlihat adil antara peran laki-laki dan perempuan dalam konteks gender yang tersalurkan dalam wacana pergub perempuan NTT menenun.
Apakah mungkin laki-laki dalam konteks masyarakat tradisional haruslah orang yang sudah tahu bagaimana mengelolah tanah untuk dijadikan kebun atau sawah supaya ditanami jagung dan padi (bertani).
Atau contoh lainnya, seorang laki-laki NTT haruslah orang yang mampu bahkan mahir membuat sopi atau moke (miras lokal) apabila perempuannya sudah diharuskan menenun. (*)