Opini Pos Kupang

Mari Menghitung Sampah Kota

Editor: Ferry Jahang
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TIGA MINGGU--Tumpukan sampah di Jalan Perintis Kemerdekaan III, samping Warung Makan Abadi, tidak diangkut petugas selama tiga pekan terakhir. Gambar diambil Sabtu (28/12/2013) pagi.

Mari Menghitung Sampah Kota

Oleh: Lodimeda Kini
Peneliti IRGSC sedang belajar di Delft University of Technology, Belanda

POS-KUPANG.COM, KUPANG-Pelajaran matematika sering kali tidak disukai anak-anak, meskipun ilmu ini dibutuhkan dalam hidup sehari-hari, dan termasuk di dalamnya bagaimana cara menghitung volume sampah serta mengkalkulasi sumber daya yang ada.

Pos Kupang (15/1/2019) memberitakan masuknya tiga kota di NTT dalam daftar kota-kota terkotor se-Indonesia.

Bahkan pada penilaian Adipura 2018, Kota Kupang menjadi salah satu kota dengan capaian nilai terendah dalam hal pengelolaan TPA dan kebersihan fisik.

Empat hari kemudian, muncul berita pegawai Pemprov NTT melakukan aksi pembersihan sampah di Kota Kupang.

Kegiatan ini dilakukan di empat titik antara lain Bundaran Penfui, Gua Monyet, Pantai Warna Oesapa dan Perempatan Oesapa (Pos Kupang, 19/1/ 2019).

Memang birokrat merupakan elemen penting keberhasilan tata kelola sebuah kota dan campur tangannya dalam penanganan kebersihan fisik tentu merupakan sebuah contoh yang baik bagi masyarakat.

Namun, porsi penanganannya tentu tidak hanya terhenti di tahap reaktif, karena tidak bisa dipungkiri bahwa kotornya Kota Kupang juga cermin tidak bersih dan rapinya institusi pemerintah dalam melakukan tata kelola sampah.

Untuk mengetahui langkah-langkah yang dapat diambil Pemerintah Kota Kupang dan bagaimana masyarakat dapat turut ambil bagian membenahi Kota Kupang, mari kita hitung tata kelola sampah di Kota Kupang yang telah dilaksanakan sejauh ini.

Pengelolaan Sampah di Kota Kupang

Menurut data Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Kupang tahun 2017, penduduk Kota Kupang yang berjumlah 550 ribu jiwa, memproduksi sampah sebanyak 400 ton/hari atau setara dengan 900 meter kubik.

Dari jumlah tersebut, sekitar 400 meter kubik di angkut ke TPA dan 10 persen di antaranya di daur ulang menjadi pupuk kompos.

Selebihnya, yaitu sekitar 500 meter kubik per hari dikelola secara individual dengan dibakar, ditimbun atau dibuang ke badan air.

Pengelolaan secara komunal dimulai dengan pengumpulan sampah pada TPS dan kemudian diangkut dengan truk sampah menuju ke TPA.

Hingga saat ini, jumlah TPS permanen yang terbangun adalah 262 unit dan 32 di antaranya mengalami kerusakan.

Mengenai jumlah TPS terbangun, DKP Kota Kupang mengungkapkan angka ini masih jauh dari cukup dan masih banyak permukiman warga yang belum memiliki TPS.

Alhasil, sampah-sampah lebih sering dibuang pada lahan-lahan kosong di sekitar permukiman warga.

Untuk mengangkut sampah dari TPS ke TPA, DKP Kota Kupang memiliki unit pengangkutan meliputi arm roll, dump truck, dan bin container yang masing-masing berjumlah 5, 29 dan 13 dan di antaranya terdapat 2 unit arm roll, 20 unit dump truck, 6 bin container yang mengalami beroperasi.

Padahal, agar dapat memberikan memenuhi capaian layanan pengangkutan sampah, setidaknya 10 arm roll, 51 dump truck, dan 30 bin container diperlukan.

Pada saat ini motor sampah adalah sarana yang ketersediaannya sangat tinggi, yaitu 52 unit dari 55 unit yang dibutuhkan.

Namun, pengangkutan dengan motor sampah bukanlah opsi yang efisien karena daya angkut yang kecil namun relatif boros bahan bakar.

Berdasarkan aset beroperasi, maka efisiensi pengangkutan sampah diperkirakan hanya bisa mencapai angka 30 persen.

DKP telah mengatur 19 rute pengangkutan sampah di Kota Kupang dan setiap rute menyediakan dua opsi pengangkutan per hari, yaitu jam 6 pagi hingga jam 9 dan/atau jam 6 sore hingga jam 9 malam.

Oleh sebab itu, pembuangan sampah ke TPS harap dilakukan mulai pukul 6 sore hingga pukul 6 pagi.

Setiap truk dilengkapi oleh satu sopir dan enam orang awak untuk melakukan bongkar-muat.

Namun demikian, kuantitas dan kualitas tenaga kerja tersedia masih belum memenuhi kebutuhan operasional pengelolaan sampah.

Hal ini sering kali menjadikan kegiatan bongkar-muat sampah yang dilakukan sepenuhnya mengandalkan tenaga manusia, menjadi kurang efektif.

Sementara itu, TPA Kota Kupang yang berlokasi di Kelurahan Namosain, Kecamatan Alak memiliki luas lahan sekitar 10 Ha.

TPA tersebut telah mengalami rehabilitasi dari yang semula merupakan sistem open dumping menjadi sanitary landfill.

Namun, karena kendala dalam perawatan aset, sistem yang beroperasi aktif adalah open dumping dan sanitary landfill tidak difungsikan (Profil Cipta Karya, 2016).

Sementara kriteria kunci penilaian Adipura ada pada pengelolaan tempat pemrosesan akhir, seperti yang dijelaskan oleh Rosa Vivien Ratnawati, Dirjen Pengelolaan Sampah Limbah dan B3.

Ia menyatakan bahwa selain fisik kota yang harus bersih, salah satu penilaian penting Adipura ditujukan kepada TPA.

Singkatnya, kota yang masih menggunakan sistem open dumping tidak akan diberikan Adipura (Pos Kupang, 15 Januari 2019).

Hal ini memang senada dengan bunyi pasal 29 ayat 1f UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah yaitu "Setiap orang dilarang melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di tempat pemrosesan akhir."

Bersih dan Iman

Jika kebersihan adalah sebagian dari iman. Lantas siapakah yang imannya kurang jika melihat kondisi Kota Kupang tidak bersih?

Perda Kota Kupang No.3 Tahun 2011 mengenai penanganan sampah mengamanatkan dua kerangka kerja pengelolaan sampah, yaitu: (1) pengurangan sampah, dan (2) penanganan sampah.

Perihal pengurangan dan penanganan sampah, kendala yang sering kali dialami adalah termakannya volume angkut oleh sampah organik yang dapat di kelola pada level rumah tangga.

Di beberapa kota di Belanda, pihak pemerintah kota atau kecamatan menggandeng kelompok pengusaha dalam mengatasi hal ini. Sampah organik dan non-organik diletakkan pada bak sampah yang berbeda dengan jadwal pengangkutan yang berbeda.

Sampah organik akan dikumpulkan oleh pihak swasta untuk dikelola menjadi kompos. Sampah anorganik biasanya di kumpulkan pihak kecamatan untuk diproses pada insinerasi.

Dengan demikian, sampah dapat dikelola menjadi barang dengan nilai ekonomis. Hal ini dapat meringankan beban anggaran penanganan sampah yang konon menjadi penghambat terbesar dalam penanganan sampah di Kota Kupang.

Bicara mengenai anggaran, berdasarkan Pedoman Pengelolaan Persampahan Perkotaan, alokasi pembiayaan untuk pengelolaan sampah adalah sebesar 10 persen dari total APBD.

Selama sepuluh tahun terakhir, alokasi anggaran tidak menunjukkan keseriusan Pemkot dalam menangani masalah ini.

Tahun 2008, sektor persampahan memperoleh alokasi dana sebesar Rp 5 milyar dari total APBD sebesar Rp. 419 miliar.

Tahun 2018, dengan total APDB sebesar Rp. 1.2 triliun dengan kontribusi PAD sebesar 14 persen saja, DPA DKP hanya berkisar di angka Rp. 4 milyar dan hanya sekitar Rp. 2 milyar dialokasikan untuk persampahan.

Singkatnya, alokasi anggaran sektor persampahan hanya mencapai 2 persen dari PAD atau 0.16 persen dari total APBD Kota Kupang.

Memang NTT tidak pernah jauh dari kata tertinggal, tak terkecuali dalam urusan persampahan. Sekalipun, tidak dari segala sudut kita patut naif menerima label ketertinggalan tersebut.

Kendala yang diutarakan mengenai ketersediaan pelayanan publik, menurut dinas terkait pun tidak pernah jauh-jauh dari keterbatasan anggaran. Sisanya, masyarakat pun tidak luput dari kewajiban untuk berbenah.

Untuk mewujudkan Kota Kupang yang bersih dan asri banyak PR yang harus dituntaskan.

Mulai dari pembenahan tata kelola TPA hingga perumusan strategi pengurangan sampah di level terkecil seperti rumah tangga dan usaha perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Momentum ini merupakan kesempatan bagi pemkot, LSM, para akademisi dan aktivis untuk duduk bersama, saling mendengar dalam pencarian jalan keluar bersama-sama.

Artikel ini sudah dimuat di Opini Harian Umum Pos Kupang

Berita Terkini