Oleh: Andrew Donda Munthe
ASN pada BPS Kota Kupang, Mahasiswa Pascasarjana IPB Bogor
POS-KUPANG.COM - Tanaman jagung merupakan salah satu tanaman pangan primadona bagi sebagian besar petani di Indonesia. Kegunaan jagung adalah sebagai bahan baku untuk industri makanan dan minuman, bahan pakan ternak serta diolah menjadi berbagai produk lainnya.
Meskipun banyak petani lokal yang mengusahakan jagung, ternyata jumlah produksinya secara nasional belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Potensi komoditas tanaman pangan ini yang sangat besar ternyata belum dikelola secara maksimal.
Setiap tahun, pemerintah Indonesia masih saja melakukan impor jagung. Dengan kondisi ini, layakkah Indonesia bermimpi untuk menjadi negara yang mampu swasembada jagung?
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa impor jagung periode Januari hingga September 2018 mencapai nilai yang fantastis yaitu sebesar US$101,37 juta. Impor tersebut merupakan produk komoditas jagung dengan kode HS10059090 yang mencakup maize, other than seed, dan juga other than popcorn (Media Indonesia, 16/10/2018).
Jalan menuju swasembada jagung bukanlah hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan. Banyak faktor yang mempengaruhinya. Keadaan alam, penggunaan bibit unggul, pupuk, pola tanam, maupun penanganan serangan hama merupakan beberapa faktor utama yang mempengaruhi tinggi rendahnya produksi jagung.
Berbagai kendala tersebut perlu diatasi dengan menghadirkan kebijakan yang tepat dan mampu di implementasikan hingga ke tingkat petani.
Kebijakan yang digulirkan pemerintah terutama terkait dengan komoditas jagung masih perlu dikaji dan dievaluasi secara lebih mendalam serta komprehensif.
Kebijakan yang digulirkan idealnya mendengarkan "suara" dan melibatkan peran aktif dari para petani. Hal ini penting agar keluhan serta masukan dari petani dapat melahirkan kebijakan yang mampu meningkatkan produksi jagung dengan kuantitas dan juga kualitas yang unggul.
Kebijakan yang tepat hanya dapat "lahir" dari data yang akurat. Permasalahan data menjadi salah satu persoalan yang sangat penting untuk dibenahi oleh pemangku kepentingan baik di tingkat pusat maupun daerah. Tanpa data akurat, mustahil melahirkan kebijakan yang "benar" bagi para petani.
Koordinasi dan kolaborasi diantara lembaga dan instansi terkait harus terus menerus diaplikasikan. Dengan demikian saling klaim data yang paling benar di antara instansi yang berwenang menangani data pertanian dapat dihindari.
Apabila hal ini dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan maka kebijakan-kebijakan yang digulirkan menuju swasembada jagung niscaya akan tepat sasaran, tepat tujuan, dan tepat guna.
Potensi Jagung NTT
Komoditas jagung di NTT apabila dikelola secara optimal dan konsisten akan menjadi faktor penting keberhasilan Indonesia menuju swasembada jagung. Produksi jagung di NTT merupakan salah satu yang tertinggi dibandingkan provinsi-provinsi lain di kawasan timur Indonesia.
Pada periode tahun 2017, nilai produksi jagung di NTT telah mencapai 809.830 ton. Beberapa kabupaten yang menjadi lumbung produksi jagung di NTT adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Ngada, Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Kupang, dan Kabupaten Malaka (Publikasi Profil Sektor Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Timur 2017, BPS NTT).
Ada beberapa faktor penting agar produksi jagung di NTT dapat terus ditingkatkan. Faktor-faktor tersebut yaitu luas areal penanaman, pola bercocok tanam modern, penggunaan pupuk, maupun juga penggunaan bibit unggul.
Apabila pemerintah dan petani abai terhadap faktor-faktor tersebut maka jalan menuju swasembada jagung hanyalah angan yang takkan mampu direalisasikan.
Pemerintah NTT harus terus-menerus secara konsinten memonitor dan melakukan intervensi program pada faktor-faktor penting yang mempengaruhi produksi jagung di daerah ini.
Kebijakan untuk menyelamatkan kawasan lahan potensi tanaman pangan harus segera dilakukan karena tingginya alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman maupun industri di NTT. Jika lahan untuk mengusahakan komoditas jagung semakin berkurang apakah mungkin produksinya bisa ditingkatkan?
Pola bercocok tanam tradisional para petani lokal pun harus mulai segera ditinggalkan. Peran penyuluh menjadi krusial untuk mengedukasi petani agar menggunakan pola bercocok tanam "kekinian" dan modern. Penyuluh harus jadi garda terdepan dalam mentransfer pengembangan ilmu pengetahuan di bidang pertanian kepada para petani NTT.
Hal lain yang tak kalah penting agar produksi jagung semakin meningkat adalah terkait penggunaan pupuk. Effendi et al. (2017) melakukan penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jagung. Penelitian dilakukan di salah satu sentra penghasil jagung di NTT yaitu Kabupaten Kupang.
Hasil penelitiannya didapatkan bahwa dari delapan variabel yang diteliti terdapat tiga variabel yang berpengaruh terhadap produksi jagung. Variabel tersebut adalah jumlah tanaman (batang/hektar), pestisida (liter), dan pupuk Nitrogen (kg).
Hasil penelitian yang menyatakan pentingnya penggunaan pupuk untuk meningkatkan nilai produksi ternyata belum sepenuhnya diaplikasikan oleh petani di NTT. Mahalnya harga pupuk, ketersediaan stok dipasaran, hingga kurangnya pengetahuan petani terhadap takaran dosis pupuk adalah beberapa kendala yang dihadapi petani lokal NTT.
Penggunaan bibit unggul jagung juga jadi problematika yang dihadapi petani NTT. Meskipun ada bibit unggul yang dikembangkan di NTT namun cakupan arealnya masih terbatas. Pengembangan bibit unggul jagung jenis NASA29 oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kupang "cuma" diusahakan diatas lahan seluas 5 hektar.
Pada tanggal 12 Oktober 2018, Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat telah melakukan panen perdana jagung varietas unggul tersebut yang berlokasi di Oesao, Kabupaten Kupang (Pos Kupang, 14/10/2018). Perluasan cakupan areal penanaman bibit unggul jagung menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah NTT agar petani lokal mampu meningkatkan produksi dan mutu jagung yang dihasilkan.
Selain padi, jagung adalah komoditas strategis tanaman pangan di NTT yang banyak diusahakan oleh petani lokal. Hanya saja, masih banyak persoalan dan kendala yang dihadapi petani untuk dapat meningkatkan hasil produksi jagung di bumi Flobamora.
Oleh karena itu, dukungan kebijakan pemerintah daerah sangat diperlukan untuk mendongkrak nilai produksi komoditas tanaman pangan ini hingga ke titik optimum. Akan tetapi, tidak cukup bila hanya pemerintah saja yang proaktif.
Petani dan seluruh elemen masyarakat juga harus bersama-sama mendukung dan mengawasi setiap program yang digulirkan. Kebijakan yang tepat dari pemerintah, peran serta petani, pengawasan program oleh masyarakat, dan juga sumbangsih ilmu pengetahuan dari para akademisi adalah perpaduan ideal mewujudkan NTT sebagai propinsi sentra jagung.
Tidak hanya tersohor di kawasan Indonesia Timur tetapi juga sejajar dengan provinsi sentra jagung lainnya di Pulau Sumatera, Pulau Jawa, maupun Pulau Sulawesi. Mampukah NTT menjawab tantangan menjadi provinsi "penopang" dalam mewujudkan mimpi Indonesia swasembada jagung? *