Catatan Sepakbola Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM - Final Piala Dunia yang menghibur. Meski sedikit paradoks, Prancis vs Kroasia tidak menyajikan antiklimaks. Enam gol dalam 90 menit. Buah sepakan bersih serta aksi konyol dan ceroboh. Skor 4-2 untuk Les Bleus.
Mario Mandzukic 'menyumbang' dua gol pada akhir pesta 15 Juli 2018 di Moskwa. Satu gol bunuh diri dan satu gol ceroboh 'pemberian' kiper Prancis, Hugo Lloris. Ivan Perisic bikin dunia berisik riuh memuji untuk golnya yang sangat indah. Tapi sesaat berselang tangannya nakal menyentuh bola di kotak terlarang. Prancis mendapat hadiah gol penalti Antoine Griezmann.
Paul Pogba dan Kylian Mbappe menunjukkan levelnya sebagai bintang muda yang bersinar terang. Gol keduanya buah keterampilan kelas dunia. Pemain muda terbaik layak bagi Mbappe.
Gol briliannya di babak Final Piala Dunia 2018 menempatkan Mbappe sebagai pemain remaja pertama di bawah 20 tahun yang mencetak gol di final Piala Dunia setelah pemain legendaris Brasil, Pele pada final Piala Dunia 1958. Pemain nomor 10 Prancis itu membuat gol keempat Prancis lewat sepakan jarak jauh.
Saat mencetak gol di final Piala Dunia 2018, Mbappe berusia 19 tahun 207 hari. Memang lebih tua dibandingkan Pele yang berusia 17 tahun 249 hari saat mencetak gol di final Piala Dunia 1958.
Kinerja Mbappe selama putaran Final Piala Dunia 2018 menawan. Dia mengoleksi empat gol, 1 gol ke gawang Peru, 2 ke gawang Argentina dan satu gol di final melawan Kroasia. Untuk anak muda seusianya pencapaian ini luar biasa.
Menurut statistik Whoscored, serangan Mbappe cukup menonjol dalam laga melawan Kroasia 15 Juli 2108. Pemain klub Paris St Germain kelahiran20 Desember 1998 itu melepaskan dua tembakan yang mengarah gawang dan empat dribel sukses, yang terbanyak dari tim Prancis.
Mbappe berpeluang mencapai level terbaik dunia. Menurut Spectator Index, dia telah membuat 56 gol sepanjang kariernya yang belia. Sementara Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo masing-masing hanya membuat 14 dan 13 gol saat berusia 19 tahun 207 hari. Artinya Mbappe lebih baik. Tinggal bagaimana dia menjaga konsistensi dan disiplin. Banyak pemain muda yang bagus justru meredup bila tidak mampu mengelola diri dengan baik.
Pencapaian Prancis merebut trofi Piala Dunia kedua setelah 1998 menjadikan Didier Claude Deschamps sebagai orang ketiga di planet ini yang memenangi Piala Dunia sebagai pemain sekaligus pelatih sesudah Mario Zagallo (Brasil) dan Franz Beckenbauer (Jerman).
Piala Dunia 2018 meninggalkan kisah yang akan dikenang lama. Betapa tim-tim unggulan dan pemain hebat meredup muram. Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Neymar tidak berkutik. Konser nyinyir ala medsos malah menobatkan Neymar sebagai bintang sinetron berjudul diving.
Ketangguhan Manuel Neuer di bawah mistar sudah berakhir. Jerman pulang kampung paling lekas, terburuk dalam sejarah 80 tahun partisipasi negeri itu di Piala Dunia. Perpecahan tim mendera Der Panzer. Inggris lumayan baik namun, belum cukup kompak untuk menjadi juara dunia lagi. Belgia memperkuat julukan tim kuda hitam langganan semifinal.
Seiring penerapan teknologi VAR (wasit tayang ulang) pertama kali, Piala Dunia 2018 melahirkan sejumlah rekor yang perlu dicatat. Total tendangan penalti sebanyak 29 dan merupakan yang terbanyak di ajang Piala Dunia.
Sejak babak penyisihan grup sampai final tercipta 169 gol atau rata-rata 2,64 gol setiap pertandingan. Wasit mengeluarkan 4 kartu merah dan 219 kartu kuning atau 3,42 kartu per laga.
Runner-up Piala Dunia 2018 Kroasia tercatat sebagai tim paling lama memeras peluh di lapangan hijau. Selama 777 menit waktu yang dijalani para pemain Kroasia dalam 7 laga dengan 3 kali perpanjangan waktu. Pemain Inggris, John Stones bergerak sejauh 69 km, jarak tempuh terjauh oleh seorang pemain di World Cup 2018.
Gol tercepat Piala Dunia pada detik ke-57 dicetak Mathias Jorgense dari Denmark saat melawan Krosia. Dan nasib sial melanda wakil benua Afrika. Pertama kali sejak tahun 1982 tak satupun tim Afrika yang lolos ke babak 16 besar.
Bola emas untuk kapten Kroasia, Luka Modric sebagai pemain terbaik Piala Dunia 2018 adalah penghargaan yang pantas. Dia menyisihkan pemain Belgia, Eden Hazard dan penyerang Prancis, Antoine Griezmann.
Modrid tidak sekadar gelandang pengatur srangan, tapi dia memang pemimpin di lapangan. Kharismanya luar biasa. Modric sudah menjadi pemain legendaris Kroasia yang namanya tak kalah harum dibandingkan Davor Suker dan Boban
Adapun kiper Belgia, Thibaut Courtois, terpilih menjadi kiper terbaik. Tak ada yang meragukan kemampuannya. Courtois menginspirasi rekan-rekannya tampil penuh percaya diri sepanjang turnamen. Juara tiga Piala Dunia 2018 merupakan pencapaian terbaik Belgia.
***
PELATIH Prancis Didier Deschamps pada akhirnya membuka kunci sukses menghantar Les Bleus menjadi juara 2018. "Jika kamu seorang pesepakbola profesional, kamu akan menyadari tak ada yang lebih berharga daripada mengangkat trofi juara dunia. Gaya bermain kami mungkin tak indah dan memuaskan tapi telah memberikan hasil sempurna," ujar Deschamps sebagaimana dikutip media internasional.
Secara umum penampilan Prancis di Rusia 2018 jauh dari semangat attacking football indah yang dirindukan pemuja sepakbola sejagat. Deschamps meracik tim yang cenderung defensif. Andalannya adalah serangan balik cepat memanfaatkan stamina dan kecepatan para pemain muda.
Prinsip Didier adalah efektivitas. Percuma bermain ofensif seperti Belgia, Argentina atau Jerman, misalnya, tetapi tidak mencetak gol kemenangan.
Filosofi bertahan itu terlihat jelas saat menghadapi Kroasia di final 15 Juli 2018. Luka Modric dkk menguasai aliran bola 61 persen, dengan 15 kali melepaskan tendangan ke gawang. Sedangkan Prancis hanya 39 persen menguasai bola dan hanya mengirim delapan tendangan ke gawang. Tapi hasilnya jitu.
Gol pertama lahir dari bunuh diri Mario Mandzukic. Sempat dibalas gol menawan Ivan Perisic, tapi Prancis unggul lagi melalui penalti Antoine Griezmann karena keteledoran Perisic di kotak penalti sendiri.
Babak kedua pun pejuang spartan dari Semenanjung Balkan lebih agresif. Namun, Les Bleus menggila lewat gol jarak jauh Paul Pogba dan Kylian Mbappe. Blunder kiper Hugo Lloris yang dimanfaatkan Mario Mandzukic membuat laga berkesudahan 4-2.
Sebelumnya jurus parkir bus dipakai Didier Deschamps untuk menaklukkan Belgia yang sangat ofensif di babak semifinal dengan skor 1-0. Belgia mendominasi penguasaan bola sebanyak 64 persen tapi tak sanggup mencetak gol ke gawang Lloris. Lukaku menangis. De Bruyne meringis sedih. Hazard meradang marah atas cara Prancis meraih kemenangan.
Data FIFA memperlihatkan Prancis menjadi juara Piala Dunia 2018 dengan penguasaan bola terburuk kedua setelah Inggris saat juara pada 1966. Prancis rata-rata hanya menguasai bola 48,6 persen. Bandingkan Spanyol tahun 2010 yang mencapai 65,3 persen dan Jerman pada Piala Dunia 2014 yang mencapai 60 persen.
Bahkan Les Bleus kalah dari Italia yang selama ini dikenal sebagai tim ultra defensive sejagat. Gli Azzurri menorehkan penguasaan bola 48,7 persen di Piala Dunia 2006, dan 48,8 persen saat Piala Dunia 1982.
Deschamps berani menerapkan formula bertahan justru belajar dari kegagalannya di final Piala Eropa 2016 melawan Portugal. Saat itu Les Bleus yang jadi tuan rumah takluk 0-1 atas Portugal. Padahal Prancis menguasai bola 59 persen, elepaskan delapan tendangan akurat, berbanding empat tendangan dari Portugal. Tapi serangan balik Portugal lewat gol Eder di perpanjangan waktu mengubur target Prancis menjadi juara.
“Kami belajar banyak sejak itu. Selama 55 hari, kami telah melakukan banyak pekerjaan. Ini adalah penobatan tertinggi," ujar Deschamps yang melatih timnas Prancis sejak 2012.
Pasca Piala Eropa 2016, dia mencoret 14 dari 23 pemain. Dia mempercayakan para pemain muda dan senior sesuai skema yang baru yaitu bertahan dan menyerang sama baiknya. Kiranya bisa dimengerti bila Didier tak memanggil pemain top seperti Karim Benzema, Anthony Martial, Alexandre Lacazette, dan Dimitri Payet.
"Jika Anda bisa bertahan dengan baik, kamu punya peluang untuk melakukan dua atau tiga serangan balik atau set piece yang punya potensi untuk jadi gol," ujar Deschamps merumuskan filosofinya. Apapun kecaman orang terhadap cara bermain Prancis, Deschamps membuktikan formulanya tepat dan berhasil.
Prancis yang berkali-kali rebah remuk oleh horor teror berdarah untuk alasan yang tak pernah jelas benar, boleh berpesta di bulan Juli 2018. Pesta empat tahunan sudah berakhir tetapi bola tetap di hati. Sampai jumpa di Qatar 2022. *