POS-KUPANG.COM, JAKARTA – Seekor ular piton merobek tendon lengan kiri Robert Nababan (37), seorang warga Desa Belimbing, Kecamatan Batang Gangsal Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Provinsi Riau.
Kini, ia masih dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Indrasari Rengat, di Kelurahan Pematang Rebah, Kecamatan Rengat Barat.
Nasib sial Robert bermula saat dia mendapati ular piton melintang di jalan di area PT Sumber Sawindo Kencana pada Sabtu (30/9/2017) pukul 10.00 WIB. Warga pun tak berani lewat.
Dengan inisatif sendiri, Robert menghubungi sejumlah temannya yang merupakan pemburu ular. Robert mendapat bagian menangkap kepala dan diserang oleh piton tersebut.
Herpetolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amir Hamidy mengatakan, piton yang ditemukan termasuk ular dengan tubuh luar biasa besar yang hidup di hutan.
Ular tersebut diperkirakan berumur lebih dari 15 tahun.
“Bisa 20-30 tahun. Yang tercatat ular tumbuh di Kendang itu sampai sembilan meter. Di alam lebih kecil. Dulu, pernah ada ular yang menelan buaya di Kalimantan Timur sebesar 7,5 meter, tapi tidak ada lebih dari itu,” kata Amir saat dihubungi Kompas.com, Rabu (4/10/2017).
Menurut Amir, meski telah menyerang manusia, ular tak bisa begitu saja disalahkan. Sebab, habitatnya telah lebih dulu diganggu dengan alihfungsi hutan menjadi lahan sawit.
Sawit sendiri mendatangkan cukup banyak tikus. Hewan pengerat itu menjadi santapan ular untuk bertahan hidup.
“Biasanya kalau ular besar seperti itu, dia tidak berburu, tapi dia menunggu seperti di perlintasan babi hutan,” kata Amir.
Selain itu, Amir juga mengingatkan kepada masyarakat agar tak menempuh tindakan berbahaya.
Dalam konteks ini, lebih baik menunggu ular tersebut pindah dari jalan yang dilalui warga.
Aksi tanpa perhitungan bisa berujung fatal, seperti yang pernah dialami seorang laki-laki yang dikenal sebagai pawang buaya di Kutai Kartanegara.
Pada mulanya, sang pawang buaya hendak menolong Arjuna (16) yang diduga telah dimangsa buaya. Namun, nasib sial juga mengantarkan tubuhnya ke dalam perut buaya.
“Banyak orang mengaku pawang, pakar, tapi belum paham betul dengan perilaku satwa liar, baik itu ular maupun buaya. Kalau sampai ular ini menggigit, saya ragu dia paham perilaku ular. Ular 5,2 meter itu sudah bisa menelan manusia dewasa,” kata Amir.
Pakar toksikologi dan bisa ular DR. dr. Tri Maharani, M.Si SP.EM mengatakan, ada pemahaman masyarakat soal penanganan pertama ketika mengalami gigitan ular yang salah besar.
Umumnya, tindakan pertama dilakukan dengan mengikat daerah di sekitar area gigitan ular. Tujuannya adalah untuk menghentikan pergerakan bisa ular agar tak menyebar ke seluruh tubuh.
Tindakan lainnya yang sering dilakukan adalah membuat sayatan di dearah gigitan untuk mengeluarkan darah. Tujuanya pun sama, menghindari penyebaran bisa ular.
Menurut Tri, kedua tindakan tersebut salah besar, tidak membantu sama sekali. Bisa ular akan tetap menyebar ke bagian tubuh lainnya.
“Kalau diikat hanya membuat kondisi seolah-olah bisa ular berhenti. Padahal yang diikat adalah pembuluh darah. Akibatnya pembekuan darah hingga amputasi,” kata Tri saat dihubungi, Minggu (10/9/2017).
Tri menjelaskan, cara penanganan yang tepat adalah dengan membuat bagian tubuh yang terkena gigitan tak bergerak.
Caranya sebenarnya tak sulit. Anggota tubuh dihimpit dengan kayu, bambu, atau kardus layaknya orang patah tulang.
“Betul-betul tidak bergerak sehingga bisa ular hanya ada di tempat gigitan, tidak menyebar ke seluruh tubuh,” kata Tri.
Bila bagian yang digigit ular telah berhasil diimobilisasi, waktu yang dimiliki untuk pergi ke rumah sakit atau klinik guna mendapatkan perawatan dan antibisa ular sebenarnya cukup lama.
"Anak teman saya di Papua dia kena neurotoksin. Karena tinggal di base camp di atas gunung untuk turun ke Puskesmas butuh 2 hari. Anak ini selamat dengan imobilisasi. Masih hidup sampai sekarang,” ujar Tri.
Tri menambahkan, bila klinik atau tempat kesehatan tak mengetahui jenis bisa ular, siapa pun bisa menghubungi dirinya pada Remote Envenomation Consultan Service (RECS) melalui blog recsindonesia.blogspot.com atau melalui pesan WhatsApp di nomor 085334030409.
Kesalahan penangan pertama terjadi pada Ananda Yue Riastanto (8) yang digigit ular weling (Bungarus candidus) pada 5 Januari 2017 lalu.
Anak asal Peduhukan Dhisil, Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Khusus Yogyakarta itu diberikan pertolongan pertama dengan mengikat bagian yang tergigit.
Beruntung, dengan jenis bisa neurotoksin, Ananda masih selamat dari kematian meskipun mengalami enselofati yang berakibat pada kelumpuhan dan ketidakmampuan bicara.
“Neurotoksin memang berakibat lebih fatal karena bisa menimbulkan kelumpuhan otot pernafasan yang berakibat kematian. Kalau hemotoksin kan racunnya menyerang, membuat pendarahan, jadi matinya itu lama. Kalau neurotoksin matinya cepat,” ucap Tri.
Tri menuturkan, saat seseorang dengan luka gigitan ular, tenaga medis harus dapat mengatur jalannya pernafasan. Pasien harus segera dibawa ke inkubasi, dipasang fentilator dan dibantu dengan pernapasan buatan. Jika terjadi gagal jatung, tenaga medis dapat melakukan pijat jantung. (*)