Oleh Vinsen Belawa Making, SKM, M.Kes
Wakil Ketua STIKES CHMK -Anggota Tim Validator SIRKESNAS 2016
POS KUPANG.COM - Pos Kupang menurunkan berita yang cukup menggemparkan dunia kesehatan. "Bidan Lari Ketakutan Saat Lihat Darah", Rabu (8/6/2016). Ada banyak tanggapan yang datang, apalagi adanya data 1.200 bayi meninggal tahun 2015. Wah, ini berita tidak benar! Demikian celoteh beberapa orang di media sosial. Jika hal ini benar adanya, maka kesimpulan sementara yang dapat kita ambil adalah dukun beranak jauh lebih hebat dari bidan.
Ada hal menarik ketika penulis dan tim (Validator Sirkesnas 2016) melakukan validasi di beberapa tempat di Provinsi NTT. Salah satu tempat tersebut adalah Desa Nule, yang jaraknya sekitar 3 km dari puskesmas Nule. Pada tempat ini masih ditemukan keluarga yang melakukan tradisi Se'i atau panggang.
Rata-rata mereka tidak melakukan pertolongan persalinan di fasilitas kesehatan, tetapi oleh dukun beranak. Setelah melahirkan, mereka tidak boleh keluar dari rumah bulat selama 40 hari. Dalam rumah bulat tersebut, api terus bernyala di bawah tempat tidur Ibu. Mengapa mereka masih melakukan tradisi ini?
Mengapa mereka lebih memilih dukun ketimbang bidan? Bukankah Revolusi KIA sudah "berhasil" di NTT? (semua ibu melahirkan di fasilitas kesehatan).
Jawabannya telah diungkapkan oleh Ketua Komisi V DPRD NTT, Winston Rondo, bahwa banyak bidan di NTT yang belum "berkualitas"! Menjamurnya sekolah tinggi kesehatan di Indonesia dan NTT menjadi salah satu penyumbang para bidan yang "takut melihat darah". Memang tidak semua, tetapi dalam praktik "ada" beberapa sekolah kesehatan yang "abal-abal" dalam memberikan pendidikan.
Mengejar lulus tepat waktu dengan tidak memperhatikan aspek pengetahuan dan keterampilan lulusan (tahu tidak tahu, terampil atau tidak, intinya lulus). Menerima mahasiswa melebihi daya tampung dan tenaga dosen dan proses instan hingga jual beli ijazah membuat tenaga kesehatan yang dihasilkan termasuk bidan menjadi "bodong". Hingga pada titik ini siapa yang harus bertanggung jawab?
Solusi
Jalan keluar harus segera kita temukan bersama sehingga kita jangan tersesat lagi dalam lingkaran gelap ini. Bidan harus jauh lebih hebat dari dukun dan bukan sebaliknya! Hasil wawancara dengan beberapa responden yang melakukan pertolongan persalinan di dukun serta melakukan se'i di rumah bulat mengatakan, mereka memiliki kedekatan emosional dengan dukun (setiap hari mereka ada dengan dukun tersebut di lingkungan itu dan dukun 24 jam bisa dihubungi).
Selain itu apa pun yang diberikan sebagai imbalan akan diterima oleh dukun tersebut. Budaya se'i tidak dapat mereka lepaskan karena ini merupakan budaya yang sudah melekat secara turun- temurun dan untuk mengubahnya diperlukan waktu yang tidak singkat. Bagaimana bidan mampu menggantikan peran dukun beranak dengan budaya seperti ini, sedangkan dia sendiri "lari" ketakutan ketika melihat darah?
Bagaimana bidan mampu memberikan edukasi kepada masyarakat berbudaya se'i, sedangkan dia sendiri tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang promosi kesehatan?
Kuncinya ada pada institusi pendidikan kesehatan (yang mendidik para calon bidan). Sekali lagi tidak semua bidan kalah dari dukun beranak, hanya ada beberapa oknum yang menghancurkan nama baik bidan dan profesinya (IBI -Ikatan Bidan Indonesia). Setiap calon bidan yang dihasilkan oleh institusi pendidikan kesehatan sudah mampu dan seharusnya tidak boleh lagi diberikan pelatihan. Ia telah memenuhi syarat kompetensi seorang bidan di institusi pendidikan!
Apabila ia tidak berkompeten, maka yang harus disalahkan adalah institusi pendidikan di mana ia dididik dan dibekali keterampilan. Pihak yang paling mengetahui kompeten atau tidaknya seorang bidan adalah institusi di mana ia dididik. Uji kompetensi sesungguhnya belum menguji seluruh keterampilan peserta (hanya kasus dan pemecahan secara pengetahuan dan bukan praktik). Filter utama sebenarnya ada di institusi pendidikan.
Alangkah bijaknya pihak institusi apabila tidak melepaskan mereka yang benar-benar tidak mampu ke lapangan. Sebaliknya menggembleng mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang benar-benar memadai. Sebab sebuah dosa besar apabila ingin mengejar nama baik institusi lantas melepaskan "para pembunuh" ke tengah masyarakat. Pada sisi lain, peran pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap institusi pendidikan kesehatan sangat lemah. Khusus NTT, semua pihak melimpahkan pada Kopertis Wilayah VIII dan Dikti.
Proses penilaian lebih pada sektor administrasi (laporan dan tata kelola administrasi) yang mana bisa dimanipulasi dengan cukup gampang (jika punya modal yang cukup). Tidak ada pihak eksternal yang dapat melihat dan menilai bagaimana proses KBM dan praktik yang dilakukan di institusi pendidikan setiap harinya. Sekali lagi mampu atau tidak, bisa atau tidaknya seorang anak didik hanya diketahui oleh pihak institusi pendidikan kesehatan tersebut. Sampai pada titik ini, apa yang harus kita lakukan sekarang?
Apabila IBI tidak mau organisasi profesinya tercoreng, apabila institusi pendidikan kesehatan tidak dicap sebagai pembunuh dan apabila pemerintah tidak mau dipersalahkan terus, maka mari kita bergandeng tangan. Bidan adalah profesi yang sangat mulia. Jangan nodai profesi ini sebab setiap hari profesi ini berhadapan dengan peluh bercampur darah di ambang hidup dan matinya beberapa nyawa.
Bidan adalah malaikat tanpa sayap yang mengorbankan semuanya demi hidup Ibu dan anak. Mari, tingkatkan profesionalitas demi sehat dan sejahteranya bangsa ini. Salam Sehat!*