Sekolah dan Ide Pluralisme

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi

Oleh Arie Putra
Staf Guru pada SMA Bina Karya -Atambua

POS KUPANG.COM - Telah menjadi fakta sosiologis bahwa Indonesia merupakan negara yang berciri plural. Hampir dalam segala dimensi kehidupan -- agama, bahasa, ras, budaya, wilayah geografis, dan kebiasaan --pluralitas itu telah bercokol di Bumi Pertiwi tercinta ini.

Pluralitas itu perlu secara terbuka diterima dan dihayati sebagai kekayaan bangsa nomor wahid di samping kekayaan alam dan sumber daya manusia. Namun dalam konteks yang lebih luas, seperti pernah diungkapkan almarhum Nurcolish Madjid, bahwa pluralitas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tidak layak untuk dibangga-banggakan secara berlebihan, pluralitas itu tidaklah istimewa.

Mengapa demikian? Jawaban yang diberikan oleh Siti Musdah Mulia layak diketengahkan di sini. Menurut Mulia, adalah sebuah keniscayaan bahwa tidak ada suatu masyarakat pun yang benar-benar tunggal (uniter) tanpa ada unsur-unsur lain di dalamnya. Intinya tidak ada masyarakat tanpa pluralitas (Siti Musdah Mulia, 2012). Atas dasar itu, pluralitas menjadi elemen dasar, factum, kehidupan sosial yang perlu untuk disadari oleh setiap individu. Sebab, meluruhkan pluralitas dari kenyataan sosial membawa akibat yang tidak kecil bagi harmonisasi sosial bangsa Indonesia.

Upaya memperkenalkan dan menerapkan ide pluralitas ini perlu dimulai di sekolah sebagai lembaga formal pendidikan manusia dalam setiap jenjangnya. Setiap subjek pendidikan di sekolah, baik yang langsung: guru, siswa, para pegawai sekolah, pun yang tak langsung: orang tua, pemerintah, dan masyarakat, harus memiliki pemahaman yang baik tentang pluralisme dalam segala konteksnya.

Guru -- untuk tidak menyebutnya sebagai aktor penting di sekolah -- harus mampu menunjukkan dan menjadi teladan para murid dalam mengakomodasi pluralitas di sekolah. Siswa sebagai subjek yang terpenting di sekolah mesti lebih giat dalam pencarian makna pluralisme bersama guru sebagai rekan dan mentor dalam mengeksplorasi sumber-sumber ilmu pengetahuan.

Ide dan Kenyataan Sejarah
Secara literal, pluralisme merujuk pada keadaan masyarakat yang majemuk dalam bidang sosial dan politik. Ide pluralisme ini mencuat ke permukaan bersamaan dengan isu politik identitas di Eropa dan Amerika. Perubahan politik dan didukung oleh perkembangan peradaban, kelompok-kelompok marjinal diberi ruang yang luas untuk mengekspresikan diri di ruang publik. Hal ini dimungkinkan ketika pengakuan terhadap pluralitas telah menjadi gejala umum dalam kehidupan sosial dan politik di dunia Barat.

Dalam konteks Indonesia, menurut analisis para pakar, pluralisme menguat sejak masa sebelum kemerdekaan. Hal ini terbukti dalam deklarasi Sumpah Pemuda 1928. Pengakuan terhadap pluralisme secara implisit terakumulasi dalam Sumpah Pemuda itu. Pengakuan tersebut mencapai titik maksimalnya dalam Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Meskipun demikian, pasca kemerdekaan tetap muncul gerakan-gerakan bernuansa agama dan politis merongrong kembali semangat pluralisme itu. Akan tetapi peran besar para tokoh agama dan intelektual yang berpikiran terbuka memperkokoh sendi-sendi pluralisme di bumi Indonesia.

Pluralisme di Sekolah
Sangat sulit untuk dipungkiri bahwa pluralitas telah menjadi esensial di sekolah. Pluralitas bersumber dari berbagai sisi: cara berpikir, sifat, bahasa (daerah), agama, suku, status sosial ekonomi, orientasi seksual, dan sebagainya. Unsur pembangun pluralitas ini telah menjadikan sekolah sebagai taman indah yang ditumbuhi beragam jenis tanaman dan bunga. Setiap komponen pembentuk pluralitas ini perlu diterima dan dijadikan sebagai bahan belajar oleh para murid dan guru untuk kemudian diolah secara bertanggung jawab sesuai visi dan misi sekolah.

Dengan itu, pluralitas menjadi sebuah dialektika positif antara guru dengan guru, murid dengan murid lalu pada tataran lain yang serius antara guru dengan murid dalam suasana demokratis di ruang-ruang kelas. Tentu dalam dialektika itu setiap subyek berada pada posisi yang sejajar.

Prinsip dasarnya adalah tidak ada stratifikasi pikiran dan kecerdasan di sekolah. Semua model dan cara berpikir diakomodasi dan kemudian dikaji secara terbuka oleh guru sebagai mentor. Oposisi biner seperti cerdas-bodoh, kaya-miskin, nakal-penurut, menjadi tidak relevan dalam suasana dialog yang bebas dan terbuka. Oposisi biner tersebut hanya menumbuhkan mental hamba yang selalu menyembah status quo. Yang cerdas memperhamba yang bodoh, yang kaya menguasai yang miskin, yang nakal menjadi proyek para pengamat tingkah laku. Relasi ini terus akan dipelihara manakala sekolah tidak terbuka pada dialog.

Ketika sekolah terbuka pada kenyataan pluralitas yang ada di dalamnya, iklim pencarian ilmu pengetahuan yang menjadi salah satu tujuan sekolah semakin diperkokoh. Hasrat untuk mencari informasi dan ilmu baru bertumbuh kuat dalam diri para peserta didik. Sebab mereka diberi ruang untuk berekspresi dan bereksperimentasi dengan penemuan-penemuan mereka yang baru dalam dialog dengan guru dan sesama murid.

Hanya dalam proses ini, sebuah generasi dapat diberi kepercayaan untuk mengubah dosa dan kelakuan buruk para pendahulu mereka yang gagal memberikan teladan dalam mengubah wajah bangsa.

Ide tentang pluralisme yang di dalamnya mengandung semangat solidaritas dan persaudaraan harus dihidupi di sekolah. Meskipun tidak bisa dielak berbagai persoalan struktural dan ekonomi yang melilit lembaga penting ini, namun untuk kepentingan masa depan kemanusiaan, setiap siswa sebagai subjek pendidikan harus memahami secara lengkap tentang ide pluralisme. Guru dalam upaya ini tetap menjadi pionir yang patut diandalkan.*

Berita Terkini